By Ir. Ade muhammad, M, Han.
Pengamat Pertahanan dan Keamanan
Peran AT TNI vs AT POLRI Peran anti teroris diemban oleh kedua badan ini. Terlepas dari kontroversialnya, Indonesia menganut prinsip pembedaan antara Keamanan Nasional dan Pertahanan Nasional, sesuai dengan amanat UU no 2 dan 3 tahun 2002. Dimana tanggung jawab itu diberikan pada Tni untuk masalah Pertahanan Nasional dan POLRI untuk Keamanan Nasional.
Hirarki peran
Jika dikembalikan pada logika mendasar, akan ditemukan hirarki peran itu lebih tinggi dari fungsi. Fungsi adalah kemampuan yang dimiliki oleh sesuatu untuk m emainkan suatu peran. Dari fungsi itu didapatkan kemampuan dan tiap kemampuan pasti mempunyai struktur. Sehingga didapatkan Peran – Fungsi – Kemampuan – struktur.
Peran AT pada POLRI dan TNI harus didasarkan pada berfungsinya masing masing unsur.
Cara untuk mengukur fungsi adalah kemampuan kemampuan yang ada di tiap fungsi tersebut. Dalam TNI misalnya, diperintahkan oleh Strategi Nasional 2009 untuk bisa menjalankan 3 fungsi dasar yaitu fungsi penangkalan (detterent), fungsi operasi militer dan fungsi operasi militer selain perang. Tiap fungsi mempunyai kemampuan, dalam fungsi penangkalan misalnya yang harus dimiliki adalah postur yang cukup dan manuver manuver, sementara fungsi operasi militer biasanya kemampuan yang harus dimiliki adalah sistem senjata, sistem telekomunikasi, sistem transportasi, sistem logistik, sistem medik.
Dalam fungsi operasi selain perang, kemampuan yang harus dimiliki sama dengan fungsi operasi militer, namun kecuali sistem senjata menjadi opsional, tergantung kebutuhan. Dengan berbekal Pasal 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 peran AT TNI misalnya adalah masuk dalam fungsi operasi militer selain perang, dengan kemampuan 5 sistem yang sudah disebut diatas dan dimainkan oleh TNI.
Demikian juga AT POLRI dengan berbekal Undang-Undang No. 15 Tahun 2003masuk dalam fungsinya menegakkan hukum, dengan kemampuan 5 sistem yang mirip dan dimainkan oleh unit Densus 88 POLRI.
Fenomena
Fenomenanya adalah TNI sampai saat ini belum dapat berpartisipasi dalam peran anti terorisme.
Yang menjadi pertanyaan bagaimana seharusnya peran anti terorisme bisa dilaksanakan oleh militer dan polisi? Apakah benar POLRI sudah dapat menangani masalah terorisme?
Sebenarnya sudah dilakukan beberapa usaha untuk menggabungkan kedua potensi bangsa ini untuk menangani masalah anti terorisme. Misalnya Latihan Kesiapsiagaan dan Ketanggapsegeraan TNI - POLRI dalam Penanggulangan Aksi terror 2010 dengan sandi ‘’ Waspada Nusa II ‘’ Kamis (11/3), namun semua melakukan performa penanggulangan dengan tipe perang kota dengan menampilkan keterampilan perang jarak dekat yang sama.
Disini sebenarnya sudah terjadi keganjilan dimana wakil Ketua Komisi I DPR Yusron Ihza Mahendra juga sudah mendesak pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur koordinasi antara TNI dengan Polri dalam penanggulangan teroris.
Pengalaman empirik negara lain
Pengalaman Amerika, dimana mereka menyerahkan fungsi anti teroris mereka sebelum 9/11 pada FBI. Namun ketika berada diluar jurisdiksi FBI, maka militer otomatis mengambil alih, dimana mereka tidak segan segan mengerahkan segala kemampuan militernya untuk dapat menetralkan Al Qaeda di Afganisthan dan Iraq dalam operasi Enduring Freedom dan Iraqi Freedom dalam kurun waktu 2001 sampai dengan sekarang.
Demikian juga dengan pengalaman negara seperti Jerman, yang sejak tahun 1970 menyerahkan masalah anti terorisme pada GSG 9 Bundespolizei.Mereka juga mengirimkan pasukan elit yang baru dibentuk tahun 1996 KSK untuk berlaga di Afghanistan.
Gagasan format AT TNI -POLRI
Sebenarnya bukan gagasan baru, namun kali ini ingin memperdalam dan memperjelas apa yang Sebaiknya dilakukan dalam peran AT TNI-POLRI.
Dimana ada dua dimensi yang harus dipertimbangkan. Dimensi Yurisdiksi dan dimensi Tingkatan Ancaman. Kemudian juga ada filsafat spesifik yang harus dipahami dalam pelaksanaan peran AT kombinasi ini.
Yang dimaksud Yurisdiksi disini adalah wilayah hukum terutama untuk POLRI dapat menegakkan hukum RI pada pelanggaran hukum diwilayah hukumnya.
Sementara TNI harus menjaga berada diluar wilayah jurisdiksi POLRI untuk tidak membingungkan operasi.
Dimensi Yurisdiksi yang utama bagi AT POLRI adalah bertanggung jawab pada daerah URBAN dan sub URBAN dimana terjadi konsentrasi kepadatan penduduk dan latihan perang URBAN memang menjadi ciri khas spesialis AT POLRI.
Mulai wilayah wilayah RURAL peran AT TNI lebih sesuai dilakukan. Bukan hanya saja sudah tidak beroperasi pada wilayah yang bersentuhan dengan penduduk yang padat, namun juga latihan latihan TNI tidak asing dengan perang hutan atau pantai bahkan tengah lautan.
Dengan menggunakan peralatan yang pasti tidak dimiliki oleh POLRI seperti heli gunship, atau kapal fregat. Demikian juga ketika sudah diluar wilayah teritorial RI, AT TNI akan jauh lebih berperan dalam melakukan perannya. Misalnya dia harus menyergap dan menculik buronan di Mindanao secara rahasia, itu adalah sangat cocok dilakukan oleh Kopassus atau Denjaka, kemudian dilarikan dengan kapal selam.
Sehingga wilayah permainan TNI bisa diarahkan benar benar untuk menghadang ancaman dari luar, kembali ke fungsi sejati militer, tidak lagi “jagoan kandang” istilahnya seperti peran KAMDAGRI ABRI era lampau.
Kemudian dimensi berikutnya adalah level ancaman. Ini artinya jika terjadi peristiwa bom, atau penyanderaan biasa di wilayah yurisdiksi POLRI, ini masih bisa ditangani oleh AT POLRI dengan mengerahkan Densus 88 nya.
Namun jika sudah pada tingkatan perang nubika misalnya, maka AT TNI akan otomatis turun tangan karena sudah terlatih untuk itu.
Demikian juga misalnya pada tingkatan ancaman perang elektronika atau serangan simultan sehingga melumpuhkan birokrasi sipil.
Maka dalam kondisi negara disfungsi tersebut, AT TNI dapat berperan, bahkan bisa juga TNI dalam artian luas berperan, misalnya mengambil alih peran transportasi, evakuasi, mendirikan telekomunikasi darurat dan sebagainya.
Intinya militer adalah satu satunya institusi yang didesain untuk kondisi negara yang abnormal,
baik karena perang maupun bencana.
Kemudian filsafat AT Polisi pada intinya mengharuskan membawa pihak pihak yang terlibat ke meja hijau.Baik korban, pelaku maupun saksi. Sehingga tidak boleh jatuh korban jiwa, termasuk pada polisi itu sendiri. Jika terjadi korban jiwa, maka operasi AT Polisi itupun dinyatakan sebagai sebuah kegagalan operasi.
Sementara filsfat AT Militer pada intinya mengharuskan untuk menghancurkan atau membunuh ancaman teroris (kecuali ada perintah lain) dan menyelamatkan korban tanpa memperdulikan korban dari pihak militer.
Karena secara filsafat dasarnya militer memang adalah berfungsi menghancurkan lawan. Kedua perbedaan filsafat ini harus dapat dimanifestasikan pada training, peralatan, protap pada masing masing AT TNI dan POLRI.
Sehingga didapat kejelasan operasional yang lebih baik dari bentuk BKO TNI pada POLRI, yang mempunyai sejumlah kelemahan karena terletak perbedaan filsafat antara Polisi dan Militer.
Untuk dimensi tingkatan ancaman, dibutuhkan deklarasi Darurat Militer untuk penggunaan TNI yang lebih masif dari Kepala Negara, sementara untuk dimensi yurisdiksi bisa dibutuhkan bisa juga tidak untuk deklarasi Darurat Militer, karena bisa dimasukkan dalam fungsi operasi militer nir perang karena bersifat perang intensitas rendah.
berikut adalah gambar dimana ada dua dimensi (ancaman dan yurisdiksi) akan membentuk sebuah wilayah peran AT TNI-POLRI bisa mungkin dilakukan sesuai dengan kemampuan alamiah masing masing.
(lihat gambar).
Pada dimensi ancaman di ilustrasikan dibagi 3 level ancaman (namun bisa disesuaikan sesuai kebutuhan), dimana level satu itu jika dalam konteks terjadi di wilayah jurisdiksi urban-sub urban akan otomatis ditangani oleh AT POLRI, namun jika terjadi diluar itu, maka otomatis diambil alih oleh peran AT TNI.
Pada level I ini termasuk pemboman, penculikan, pembajakan dsb. Pada level II, jika terjadi dalam wilayah jurisdiksi urban-suburban, maka akan ditangani oleh AT POLRI, namun jika terjadi diluar wilayah jurisdiksi AT POLRI akan otomatis ditangani oleh peran AT TNI. Pada level II ini termasuk penggandaan ancaman level II, misalnya pemboman simultan (tapi tidak sampai melumpuhkan kota misalnya), atau penculikan simultan atau pembajakan fasilitas yang lebih besar dsb.
Sementara itu level III , adalah level yang paling parah dan harus dikeluarkan deklarasi Darurat Militer untuk mengerahkan seluruh kemampuan TNI untuk menghentikan kegiatan Terorisme baik yagn berada di domestik maupun internasional.
Termasuk ancaman level III ini adalah, pembajakan pesawat udara untuk ditabrakkan ke istana negara, perang nubika, sabotase strategis dsb.
Demikian dimensi dimensi ini dapat memberikan sekelumit pemikiran untuk mendorong harmonisasi peran Anti Terorisme oleh TNI dan POLRI dinegara kita yang tercinta ini.
No comments:
Post a Comment