Thursday, January 14, 2021

 

Mempertimbangkan Penggunaan Vaksin Sinovac bagi Indonesia

Oleh David Raja Marpaung


Pemerintah telah memutuskan untuk menggunakan Vaksin Sinovac sebagai upaya mengatasi pandemic COVID 19 di Indonesia. Selain Indonesia, negara-negara yang menyatakan memakai vaksin  Sinovac adalah Brasil, Turki, Kamboja, dan Filipina.

Pemerintah Indonesia akan mulai melakukan vaksinasi Covid-19 pada 13 Januari 2021. Presiden Joko Widodo dan para menteri Kabinet Indonesia Maju akan jadi yang pertama disuntik vaksin Covid-19. Indonesia sudah memiliki 3 juta dosis vaksin, dan sudah disebar ke 34 provinsi

Penggunaan vaksin Sinovac tentu bukanlah perkara sederhana. Ada berbagai pertimbangan yang harus diambil pemerintah, seperti biaya yang dibutuhkan, penguasaan teknologi, hingga jaminan bahwa vaksin tersebut ampuh untuk menangkal penyebaran Virus Corona.

 

Pemilihan Vaksin Sinovac

Pemerintah telah memilih vaksin dari Sinovac untuk didistribusikan kepada masyarakat Indonesia. Salah satu alasan uatamanya adalah  platform ataupun metode pembuatan vaksin tersebut telah dikuasai oleh Bio Farma. Vaksin Sinovac tersebut dibuat dengan menggunakan platform inactivated atau virus yang sudah dilemahkan. Selain itu, juru Bicara vaksin Covid-19 Bambang Heriyanto menjelaskan alasan pemerintah mendatangkan vaksin Sinovac lebih dulu, karena aman dan cepat.

Faktor berikutnya yang diklaim pemerintah ialah masalah harga. Biofarma menyebutkan bawa harga vaksinsinovac ialah duaratus ribu rupiah per dosis. Sedangkan harga vaksin lainnya seperti Moderna mencapai enamratus ribu rupiah per dosis, dan Pfizer juga dikisaran empat ratus ribu rupiah per dosis. Bila dilihat dari factor harga, memang Sinovac yang berasal dari Cina, memiliki harga yang lebih murah dibandingkan vaksin yang diproduksi di Eropa dan Amerika Serikat.

Pertimbangan lainnya yang menjadi alasan utama pemerintah, terkait masalah penyimpanan atau storage. Vaksin Sinovac hanya membutuhkan mesin pendingin minus dua hingga minus delapan derajat. Tentunya hal ini sangat mudah dilakukan, karena mayoritas lemari pendingin sudah mampu melakukan hal tersebut. Hal ini berbeda dengan vaksin Moderna dan Pfizer yang harus disimpan dalam suhu minus tujuh puluh derajat dan minus duapuluh derajat. Mayoritas rumah sakit pasti belum memiliki pendingin yang dibutuhkan

 

Tantangan Pemerintah

Dengan berbagai pertimbangan di atas, tentunya public dapat memeahami alas an pemerintah akhirnya memilih Vaksin Sinovac. Namun demikian, terdapat beberapa tantantan yang juga harus diperhatikan oleh pemerintah. Reputasi perusahaan Sinovac menjadi ujian pertama; Washington Post pernah menerbitkan bahwa Sinovac ternyata memiliki sejarah penyuapan di China. Skandal penyuapan terjadi pada 2016 silam, di mana Sinovac menyuap Badan Pengawas Obat dan Makanan China. Suap tersebut ternyata terkait dengan izin pengembangan vaksin SARS pada 2003 dan flu babi pada 2009. Weidong Yin yang merupakan pendiri dan kepala eksekutif perusahaan mengaku telah membayar suap lebih dari US$ 83.000 periode 2002-2011. Sebagai imbalannya, pejabat regulasi akan mengupayakan sertifikasi vaksin Sinovac untuk SARS, flu burung, dan flu babi.

Akan menjadi bencana besar, apabila dikemudian hari ditemukan adanya korupsi dalam pengadaan vaksin sinovac. Fakta bahwa perusahaan memiliki sejarah penyuapan menimbulkan keraguan panjang atas klaim keampuhan vaksin, dan kemungkinan terjadinya kasus penyuapan ini pun amat mungkin bisa terjadi.

Tantangan kedua ialah bagaimana bila vaksin ini tidak terlalu efektif atau gagal.  Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyataka Vaksin Virus Corona buatan perusahaan asal China, Sinovac, menunjukkan efikasi atau tingkat keampuhan vaksin corona Sinovac sebesar 65,3 persen. Sinovac akhirnya tetap diputuskan dipakai karena telah melampaui standar minimum efikasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 50 persen.

Dibandingkan dengan vaksin lainnya, tingkat keampuhan atau efikasi Sinovac masih  kalah dibandingkan vaksin-vaksin lainnya. Vaksin moderna memiliki tingkat keampuhan atau efikasi sebesar 95 persen. Vaksin Pfizer-BioNTech juga memiliki tingkat efikasi 95 persen, disusul Aztrazaneca dengantingkat keampuhan 90 persen. Bahkan vaksin Sputnik asal Rusia yang banyak diragukan banyak pihak pun memiliki tingkat keampuhan hingga 92 persen (walaupun banyak pihak yang mempertanyakan validitasnya).

Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa anggaran untuk pengadaan Vaksin Covid 19 diIndonesia mencapai 54,4 triliun rupiah. Jumlah tersebut bukanlah suatu angka yang sedikit. Pemerintah tentunya harus mempunyai plan b atau alternative apabila vaksin Sinovca tidak bekerja sesuai yang diharapkan.

Tantangan lainnya ialah resistensi atau penolakan masyarakat atas penggunaan vaksin. Untuk menyelenggarakan vaksinasi, tantangan pemerintah bukan hanya soal mendapatkan vaksin yang aman dan efektif saja, tetapi juga bagaimana meyakinkan masyarakat agar mau divaksinasi. Resistensi sebagian masyarakat terhadap vaksin ini perlu menjadi perhatian pemerintah.

 Sebagian masyarakat tidak mau diimunisasi karena berbagai faktor penyebab. Salah satunya adalah mitos mengenai vaksin yang disebut menyebabkan efek samping berat. Penggunaan isu agama untuk menolak penggunaan vaksin juga harus diwaspadai. Sudah ada selentingan bahwa vaksin yang diproduksi Cina mengandung protein babi, atau kualitasnya buruk seperti halnya motor cina.  Isu-su liar seperti inilah yang harus diwaspadai pemerintah. Padahal untuk meningkatkan kekebalan komunitas atau herd immunity, maka cakupan vaksinasi harus tinggi.