Monday, August 26, 2013

Membangun Keperecayaan Jakarta-Papua


Membangun Keperecayaan Jakarta-Papua
Oleh David Raja Marpaung

          Salah satu isu atau tema penting dalam politik di Indonesia ialah rendahnya kepercayaan antara Jakarta dan Papua. Dua faktor utama ketidakpercayaan ini adalah rakyat papua menganggap pemerintah pusat atau Jakarta sebagai penipu yang suka mengumbar janji dan tidak konsisten melaksanakan berbagai kebijakan yang telah dibuat. Di sisi lain, pemerintah Jakarta hingga kini masih menaruh rasa curiga yang besar pada rakyat Papua yang dikenai stigma sebagai separatis, serta adanya upaya sistematis menghambat karier orang Papua dalam politik dan pemerintahan.
         
          Kecurigaan ini jelas merupakan hal yang salah. Pemerintah pusat atau Jakarta seharusnya berusaha melindungi setiap warga Negara Indonesia tanpa memandang asal sukunya, serta memberikan kesmpatan yang sama untuk hidup dan berkarya. Di lain sisi, sikap orang Papua yang sudah antipati dan terkesan enggan memberikan kesempatan lagi kepada pemerintah pusat juga tidak benar. Harus ada koordinasi pembagunan antara pusat dan daerah dalam sinergi yang saling menguntungkan.


          Salah kegagalan pembangunan Papua yang memancing banyak konflik dan berujung pada ketidak percayaan adalah pelaksanaan otonomi khusus, yang sebenarnya bertujuan mensejahterakan rakyat. Otonomi khusus (otsus) telah dilaksanakan di Papua sejak 2001. Sejak otsus berjalan, kucuran dana dari pemerintah pusat melalui dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus, serta dana tambahan infrastruktur terus meningkat. Total dana otsus yang telah dikucurkan sejak 2002 sampai 2011 mencapai 32 triliun rupiah, namun mayoritas rakyat di Papua masih bergelut dengan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Papua mencapai 944 ribu jiwa atau 32 persen dari total penduduk. Sementara rata-rata angka penduduk nasional ialah 12 persen. Hal ini berarti  persentase orang miskin di Papua mencapai tiga kali lipat dibandingkan rata-rata provinsi lainnya. Suatu hal yang memilukan bagi daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang begitu melimpah.

          Untuk membangun kembali kepercayaan antara Jakarta dan Papua, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

A. Solusi Jangka Pendek
Dalam periode jangka pendek, ada dua hal yang harus mendapatkan perhatian para pemangku kepentingan dalam konflik di Papua.

Tahap 1. Desekuritisasi Konflik Papua
·        Harus dicatat bahwa desekuritisasi bukan berarti pengurangan secara total aparat keamanan di Papua. Akan tetapi, desekuritisasi merupakan model pendekatan keamanan yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan resolusi konflik damai. Terkait dengan TNI maka desekuritisasi mencakup TIGA aspek utama. Pertama, setiap penempatan (deployment) personel TNI di Papua harus melalui keputusan politik antara pemerintah dan DPR atau sesuai dengan mekanisme yang diamanatkan UU TNI. Ini penting untuk menghindari terjadinya perilaku/operasi yang illegal. Kedua, penempatan personel TNI di Papua harus terukur baik itu kuantitas, kualitas, durasi dan target operasinya sehingga masyarakat Indonesia secara keseluruhan dapat mengawasi kinerja TNI di Papua. Kemudian, ketiga, TNI harus sedapat mungkin menggunakan pendekatan-pendekatan non-kekerasan (lebih persuasif ketimbang represif) di Papua. Hal ini sangat penting, mengingat wajah ‘Indonesia’ di Papua seringkali dikenali hanya sebatas kekerasan aparat bukan sebagai entitas yang melindungi segenap rakyat Papua.
·        Terkait dengan aparat penegak hukum (kepolisian) maka mereka harus sesegera mungkin mengevaluasi kebijakan pengamanan di Papua. Seringkali, aparat penegak hukum bertindak tidak sesuai dengan identitasnya sebagai aparat negara khususnya dalam konteks kepentingan korporasi asing di Papua. Akibatnya, tidak mengherankan ketika masih ada rakyat Papua yang beranggapan bahwa aparat penegak hukum di Indonesia adalah bentuk ‘penjajahan’ terhadap tanah Papua bukan ‘Ke-Indonesia-an’ karena rasa keadilan mereka dicederai. Praktek diskriminatif oleh aparat ini harus dievaluasi oleh pemerintah karena akan semakin memperburuk wajah ‘Indonesia’ di Papua.
·        Selain itu, Pemerintah dapat menggunakan instrumen kontrol internal dalam mengawasi kinerja aparat negara di Papua, misalnya dengan menempatkan perwakilan/kantor Komnas  HAM,   Ombudsman,  Kompolnas,  LPSK  di  Papua;  Hal ini dapat efektif sebagai lembaga negara yang bertugas memberi koreksi kepada lembaga negara lainnya sekaligus memberi rasa aman bagi rakyat Papua.
·        Secara strategis, desekuritisasi akan menumbuhkan rasa saling percaya baik itu antara pemerintah dan rakyat Papua bahwa konflik dapat diselesaikan tanpa adanya rasa saling curiga lewat dominasi pendekatan keamanan. Hal ini kemudian mendorong terbentuknya tahap berikut.
·         
Tahap 2. Memperkuat wacana Dialog sebagai resolusi konflik 
·        Baik itu pemerintah pusat dan rakyat Papua harus sadar bahwa dialog adalah model resolusi konflik yang menempati prioritas utama. Pemerintah harus berbesar hati untuk menyadari bahwa selama ini telah terjadi marjinalisasi secara politik, sosial, ekonomi dan budaya terhadap rakyat Papua dalam konteks Ke-Indonesia-an. Sementara itu, rakyat Papua juga harus menyadari bahwa jalan kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk mengingatkan kelalaian pemerintah tersebut. Membangun kesadaran ini merupakan kunci bagi kedua belah pihak (pemerintah dan rakyat Papua) untuk dapat duduk bersama dan membicarakan solusi yang bisa ditawarkan.
·        Wacana dialog harus mendapatkan legitimasi dari kedua belah pihak, bukan dari satu pihak semata untuk menghindari terjadinya politisasi upaya damai dari salah satu pihak.
B. Solusi Jangka Panjang
Ketika desekuritisasi konflik Papua telah diterapkan dan wacana dialog semakin menguat, maka tahapan berikutnya adalah melaksanakan dialog yang mencakup tiga tahap:
Tahap 1. Identifikasi aktor dan isu dalam Dialog
·        Dalam konteks dialog, identifikasi aktor menjadi proses awal yang akan menentukan legitimasi dari dialog tersebut. Hal ini penting untuk mencegah adanya pihak-pihak yang merasa disisihkan dari resolusi konflik dan berpotensi mengacaukan dialog.
·        Identifikasi aktor tersebut harus secara hati-hati mempertimbangkan isu yang akan dibicarakan dan kepentingan yang akan dinegosiasikan dalam dialog.
·        Selain itu, perlu juga diperhatikan mengenai lokasi dialog yang representatif serta mediator sebagai pengamat/pihak yang menjaga agar agenda dialog tetap konsisten.
Tahap 2. Pentingnya Rekonsiliasi dalam Dialog
·        Tujuan utama dialog adalah membangun rasa saling percaya antara aktor yang berkonflik agar mau membicarakan solusi konflik yang dapat disepakati bersama.
·        Salah satu unsur utama untuk membangun rasa saling percaya tersebut adalah melalui rekonsiliasi.
·        Rekonsiliasi mensyaratkan adanya pemahaman bersama antara pihak yang berkonflik bahwa mereka adalah ‘korban’ dari konflik dengan kekerasan yang terjadi.
·        Oleh karena itu, upaya menyelesaikan konflik dengan jalan kekerasan hanya akan menambah korban dimasing-masing pihak tanpa ada solusi yang konstruktif untuk masa depan Papua.
Tahap 3. Membangun Pemahaman bahwa Dialog bersifat keberlanjutan (kontinuitas)
·        Dialog bukanlah cara cepat (instant) untuk menyelesaikan konflik. Akan tetapi, dialog adalah cara mengelola konflik yang lebih bermartabat ketimbang menggunakan kekerasan yang hanya akan menimbulkan kerugian pada masing-masing pihak.
·        Model cara berpikir (mindset) seperti ini harus mendominasi setiap aktor dalam dialog agar tidak kembali lagi menggunakan kekerasan ketika terjadi deadlock dalam negosiasi. Diharapkan ketika terjadi deadlock dalam negosiasi, maka setiap aktor harus menahan diri dan mengagendakan kembali dialog dengan pikiran yang lebih jernih.

Kunci Keberhasilan Resolusi Konflik di Papua
·        Resolusi konflik di Papua bukan hanya milik pemerintah Pusat dan Rakyat Papua semata, akan tetapi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Disini, pentingnya memperkuat kesadaran dari seluruh rakyat Indonesia bahwa identitas ‘Ke-Indonesia-an’ di Papua telah tersandera oleh aksi kekerasan dalam konflik. Oleh karenanya, upaya perdamaian non-kekerasan untuk konflik di Papua harus mendapatkan dukungan penuh dari seluruh rakyat Indonesia.
·        Sebagai sebuah negara yang demokratis, maka cara-cara penyelesaian konflik lewat kekerasan di Indonesia sudah sepatutnya tidak menjadi prioritas. Sebaliknya, penyelesaian konflik harus menempatkan cara-cara damai khususnya melalui dialog. Baik itu pemerintah maupun kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik di Papua harus menghentikan semua aksi kekerasan dengan alasan apapun.

Catatan Penutup
·        Penyelesaian konflik di Papua adalah salah satu ujian besar bagi Bangsa Indonesia untuk mampu menyelesaikan konflik secara bermartabat. Dalam konteks ini, setidaknya Indonesia telah memiliki pengalaman dalam menyelesaikan konflik di Aceh secara damai.
·        Bertumpu hanya pada pemerintah semata tidak akan menjamin bahwa masalah Papua dapat diselesaikan secara damai. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah memperkuat solidaritas dan soliditas seluruh elemen Bangsa Indonesia untuk mendukung dan terlibat secara nyata (konkret) dalam upaya resolusi konflik yang bermartabat untuk saudara-saudara kita di Papua.