Monday, April 18, 2016

Analisis Strategis Kepuluan Natuna

Analisis Strategis Kepulauan Natuna
Oleh David Raja Marpaug

Kepulauan Natuna merupakan salah sayu kepulauan terluar di Indonesia yag memiliki lokasi yag strategis, khususya dalam bidang pertahanan. Peter Thompson dan Robert Macklin dalam buku Kill the Tiger mengungkapkan dua operasi pada masa Perang Dunia II yang dilancarkan dari Kepulauan Riau. Operasi pertama, Jaywick, dilakukan pada 27 September 1943 dari Kepulauan Riau ke Pelabuhan Singapura, yang ketika itu bernama Syonanto. Operasi itu berhasil menghancurkan kapal- kapal Jepang yang berada di Keppel Harbour Singapura.

Operasi kedua, operasi Rimau, dilaksanakan pada Oktober 1944, tetapi berakhir dengan kegagalan. Selain Jaywick dan Rimau, Panglima Sekutu untuk Mandala Asia Tenggara Laksamana Lord Louis Monbatten—paman dari Pangeran Charles, Putra Mahkota Kerajaan Inggris—merancang Operasi Hornbill atau Operasi Burung Rangkong. Operasi itu bertujuan menguasai Kepulauan Natuna untuk basis serangan terhadap Indochina Perancis di sekitar Saigon dan juga menyerang Singapura. Operasi Hornbill di Kepulauan Natuna belum sempat dilaksanakan sekutu karena Jepang telanjur menyerah pada Agustus 1945.

Melihat pentingnya posisi Natuna, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengungkapkan bahwa keamanan dan pemberdayaan wilayah perbatasan akan menjadi salah satu poin penting dalam Kebijakan Pertahanan Negara Tahun 2016.

Atas arahan Menteri Pertahanan, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi menegaskan, keamanan wilayah perbatasan laut di Kabupaten Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, sedang diperkuat. Menurut perencanaan, TNI AL akan memiliki sekurangnya 12 kapal selam baru sebagai lanjutan program pengadaan empat kapal selam kelas Chang Bo Go dari Korea Selatan. Pengembangan pangkalan TNI AL di Natuna sesuai perencanaan strategis.

Potensi Konflik di Natuna 

Seorang analis politik Victor Robert Lee mengatakan bahwa konflik antara pemerintah Indonesia dan Cina di kepulauan Natuna bermula ketika China secara sepihak pada 2009 menggambar sembilan titik ditarik dari Pulau Spratly di tengah Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.Garis putus-putus yang diklaim pembaruan atas peta 1947 itu membuat Indonesia marah. Padahal RI sebenarnya berencana menjadi penengah negara-negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan.
 Ketegangan yang terjadi di Natuna semakin mencekam. Semenjak insiden tepergoknya Kapal Motor Kway Fey 10078 berbendera Tiongkok saat melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan Natuna, pada Maret 2016. Kementerian Kelautan dan Perikanan mendeteksi kapal nelayan Tiongkok pada hari itu pukul 15.14 WIB berada di koordinat 5 derajat lintang utara dan 109 derajat bujur timur yang merupakan Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia.
Insiden itu berbuntut protes resmi dari pemerintah Indonesia karena upaya penindakan yang hendak dilakukan oleh tim KKP dihalang-halangi oleh kapal patroli milik badan keamanan laut (coastguard) Tiongkok. Kapal penjaga pantai (coast guard) milik Angkatan Laut China nekat menerobos perbatasan. Tak hanya itu, mereka juga menabrak dan menarik paksa kapal yang baru saja ditangkap operasi gabungan Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL. Akibat ulah dari kapal coast guard China yang menerabas wilayah perairan Natuna, Indonesia ini belum usai. Hal ini membuat pemerintah Indonesia kini berencana meningkatkan pengamanan wilayah perbatasan itu.
 Kebijakan untuk membangun dan memperkuat pangkalan militer di kepulauan Natuna merupakan langkah konkrit Pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi ancaman yang datang dari konflik laut cina selatan. Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI Agus Supriatna menyatakan bahwa kepulauan Natuna akan dijadikan pangkalan militer terpadu seperti pangkalan militer “Pearl Harbour” milik Amerika Serikat. Sementara itu, Komisi I DPR telah menyetujui realokasi anggaran Rp 450 miliar untuk memperkuat pangkalan TNI di Natuna. Realokasi anggaran diajukan Kementerian Pertahanan karena intensitas ketegangan di Laut China Selatan meningkat beberapa waktu terakhir.