Wednesday, November 26, 2014

                                     Threats Against State Sovereignty

                                     TNI VS Police Clashes

                                           By David Raja Marpaung


          The problem of conflict between the armed forces and the police  now reached the chronic stage. In the past year alone has happened five times clashes between troops, and at least 10 people died in the conflict, both within the police and military. This of course brings its own concerns. It turns out that the process of reform in the defense and security sector is not yet finished and can be said to be largely unsuccessful.

             Reform era emphasize to put TNI out of social political role. Dual Function role already abolished and as a consequence, a very dominant role of the army in the field is now replaced by the Police. Police, who had been a part of the military, now have enormous power. On the other hand, the officers, who had been to school together at the academy, now the engagement between of the two bodies is also automatically also stretchable

          With the issuance of Law defense, military law, and the law firm path beckons Police dichotomy between defense and security. Police put the Police Act as authority for security and law enforcement, much wider than its role before 1998. While the TNI reform era can be said to go back to the barracks, and only holds the only defense functions.

                Based on the facts available, the military and police clash caused by the accumulation of disappointment and aggravation of soldiers in the field who failed to anticipate the work unit. This is also compounded by the lack of a chain of command that should be held centrally by the executor center or headquarters.

            On the other hand, the clashes between members of the military and the National Police are caused by competition partner between the two security officers. On the other hand, the position of the military who made the object of the law, often make the soldiers feel to discrimination in a legal proceeding.

Solution

           As threats both in defense and security sector, the task of the military and police would also be more severe in the future. Both these institutions must not only counteract the growing domestic threat, but also must be able to anticipate the social politics dynamics, both domestically and internationally. This inevitably requires professionalism military personnel and police are increasingly higher.

           To address the chronic condition that has occurred then the lack of education and lack of supervision in the ranks in the field should be followed up with efforts to improve the existing system, both education and supervision. Without it, will still be a gap between assets available human resources and the demands of existing .

             Furthermore, the leadership ranks of the military and police clear sense of mission and a great responsibility to perform the functions of education and supervision of subordinates. Going forward, the chain of command must also clearly held, so there is no longer a search scapegoat or the reasons for unsuccessful the command leader both at national and local levels to control the behavior of the soldiers in the field.

Ancaman Terhadap Kedaulatan : Bentrok TNI VS Polri

Ancaman Terhadap Kedaulatan
Bentrok TNI VS Polri

Oleh David Raja Marpaung

         Masalah konflik antara pasukan di tubuh Polri dan TNI kini sudah mencapai tahap kronis. Dalam setahun terakhir saja sudah terjadi  lima kali bentrok antar pasukan, dan setidaknya 10 orang menjadi korban dalam bentrok tersebut, baik di tubuh Polri maupun TNI. Hal ini tentunya membawa keprihatinan tersendiri. Ternyata proses reformasi di sektor pertahanan dan keamanan belumlah selesai dan dapat dikatakan sebagian besar gagal.
            Era reformasi meletakkan TNI keluar dari peran sosial politiknya. Dwi Fungsi Tni dihapuskan dan sebagai konsekuensinya, peran tentara sangat dominan di masyarakat kini digantikan oleh Polri. Polri, yang tadinya merupakan bagian dari TNI, sekarang memiliki kekuasaan yang sangat besar. Di sisi lain, para perwira, yang tadinya sekolah bersama di akademi, kini sudah terpisah.Kerekatan antar dua tubuh ini pun otomatis juga merenggang

         Dengan disyahkannya UU pertahanan, UU TNI, dan UU Kepolisian menmbuat jalur tegas dikotomi antara pertahanan dan keamanan. UU Kepolisian meletakkan Polri sebagai pemegang kekuasaan atas keamanan dan penegakan hukum, jauh lebih luas dari perannya sebelum era reformasi 1998.  Sedangkan TNI dapat dikatakan kembali ke barak, dan hanya memegang fungsi pertahanan saja.

               Berdasarkan fakta-fakta yang ada, bentrokan TNI dan Polri terjadi akibat akumulasi kekecewaan dan kejengkelan prajurit di lapangan yang gagal diantisipasi satuan kerja. Hal ini juga diperparah dengan lemahnya rantai komando yang seharusnya dipegang secara tersentral oleh  pelaksana pusat atau markas besar.

           Di sisi lain, terjadinya bentrokan antara anggota TNI dengan Polri lebih banyak disebabkan oleh perebutan partner antara kedua aparat keamanan itu. Di sisi lain, kedudukan TNI yang dijadikan obyek hukum, seringkali membuat prajurit TNI merasa diperlakukan diskriminatif dalam suatu proses hukum.



Solusi Ke Depan
          Seiring ancaman baik di sektor pertahanan dan keamanan, maka tugas TNI dan Polri tentunya juga akan semakin berat ke depan. Kedua institusi ini bukan hanya harus menangkal ancaman domestik yang kian berkembang, melainkan juga harus mampu mengantisipasi dinamika sosial-politik, baik domestik maupun internasional. Mau tidak mau ini menuntut profesionalisme personel TNI dan Polri yang makin tinggi pula.

          Untuk menyikapi kondisi kronis yang sudah terjadi maka rendahnya pendidikan dan kurangnya pengawasan pada jajaran di lapangan harus ditindaklanjuti dengan upaya memperbaiki sistem yang ada, baik pendidikan maupun pengawasan.Tanpa itu, akan tetap terjadi kesenjangan antara aset sumber daya manusia yang tersedia dan tuntutan kebutuhan yang ada.

            Selanjutnya, jajaran pimpinan TNI dan Polri jelas punya misi dan tanggung jawab besar untuk melakukan fungsi pendidikan dan pengawasan terhadap para bawahannya. Ke depan, rantai komando juga harus jelas dipegang, sehingga tidak ada lagi pencarian kambing hitam atau alasan-alasan atas ketidak berhasilan para pemipin komando baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengontrol tingkah laku para prajurit di lapangan.

Monday, November 10, 2014

Posisi Indonesia atas Konflik Laut Tiongkok Selatan



Posisi Indonesia atas Konflik Laut Tiongkok Selatan
Oleh David Raja Marpaung *

            Potensi konflik di Laut Tiongkok Selatan (LTS) cenderung meningkat Ketegangan antar negara yang mengklaim wilayah di LTS belum juga mereda. Intensitasnya bahkan menunjukkan grafik yang meningkat. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang bersinggungan langsung dengan LTS, harus menunjukkan sikap aktif, sebelum terjadinya penggunaan kekuatan militer antar negara yang bertikai.

            Istilah konflik di LTS sebetulnya merujuk pada gugusan kepulauan Paracels yang masih dipersengketakan oleh tiga negara (China, Vietnam, dan Taiwan), dan kepulauan Spratly yang dipersengketakan oleh enam negara (China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei). Namun, kepulauan Spratly merupakan titik api yang paling potensial untuk berkembang menjadi wilayah konflik militer di masa depan, tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan keenam negara, tetapi juga karena adanya kepentingan negara-negara besar (Jepang, AS, Rusia) di perairan tersebut.

            Seiring dengan mencuatnya kabar mengenai kekayaan sumber daya alam yang berada di Laut Tingkok Selatan, sejumlah aksi agresif dilakukan oleh negara-negara yang berbatasan langsung. Klaim tersebut merujuk hingga kepada faktor historis, perhitungan ekonomi dan pertimbangan geostrategis dari negara-negara yang terlibat

Posisi Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara memang tidak terlibat secara langsung di dalam konflik perebutan wilayah di Laut Tingkok Selatan. Namun, sesungguhnya konflik LTS terkait dengan kedaulatan Indonesia. Hal tersebut karena karena wilayah yang disengketakan bersinggungan langsung dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di kepulauan Natuna.

            Atas Pertimbangan tersebut, konflik ini diperkirakan akan menimbulkan sebuah kekacauan atau chaos apabila dibiarkan semakin memuncak. Sehingga, walaupun Indonesia bukan merupakan aktor yang langsung terlibat di dalam sengketa wilayah ini,akan tetapi Indonesia memiliki potensi untuk menjadi aktor kunci yang dapat memberikan peran secara konstruktif dalam upaya penyelesaian masalah LTS secara damai.
            Dengan politik luar negeri bebas akfti, posisi yang diambil Indoinesia adalah melakukan diplomasi preventif. Metode utama adalah dengan membangun serta meningkatkan rasa saling percaya (confidence building measures) antara pihak-pihak yang bertikai. Indonesia berkepentingan untuk mencegah terjadinya kekerasan bersenjata di wilayah LTS, mengingat hal ini akan mengakibatkan kerugian yang besar khususnya dalam kerjasama ekonomi dan hubungan Internasional di kawasan ASEAN.

Solusi yang diawarkan Indonesia
            Indonesia secara aktif mengupayakan perdamaian dalam setiap penyelesaian masalah terkait politik luar negeri. Diplomasi damai yang dipakai Indonesia merujuk pada Griffiths yang menyatakan diplomasi menjadi salah satu faktor determinan bagi negara untuk mencapai kepentingannya dan menjalin hubungan baik dengan negara lainnya. Diplomasi menjadi alat yang digunakan negara untuk menjalankan misinya tanpa membangkitkan rasa permusuhan dengan negara lain.
            Salah satu jenis diplomasi yang sering digunakan adalah diplomasi preventif. Diplomasi preventif mulai berkembang setelah Perang Dingin. Diplomasi ini cenderung lebih banyak dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga. Diplomasi ini bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang berpotensi hingga perang senjata. Diplomasi preventif secara umum digunakan untuk mencegah keterlibatan negara-negara adidaya yang mencoba untuk melakukan intervensi
            Salah satu bukti nyata keberhasilan Indonesia dengan penggunaan diplomasi preventif adalah dengan terciptanya Declaration onThe Conduct of The Parties in the South China Sea  pada tahun 2002. Deklarasi ini dianggap sebagai implementasi dari perspektif luar negeri Indonesia yang dikenal dengan “Doktrin Natalegawa” (Dynamic Equilibrium) atau keseimbangan dinamis. Perspektif dynamic equilibrium memiliki dua termin penting. Pertama, dynamic merujuk pada dinamisme politik global. Marty Natalegawa selaku Menteri Luar Negeri Indonesia memaknai dinamisme politik global sebagai sebuah hal yang selalu terjadi. Artinya, negara-negara di dalam politik global selalu mengalami perubahan baik dalam hal kekuasaan, kekuatan, maupun pengaruh. Termin kedua adalah equilibrium atau keseimbangan yang berarti tidak ada kekuatan yang dominan yang berlandaskan tiga prinsip utama; yakni keamanan bersama (common security), kestabilan bersama (common stability), dan kesejahteraan bersama  (common prosperity)

            Perspektif baru kebijakan luar negeri dynamic equilibrium menjadi preferensi Indonesia untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul sehubungan dengan konflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Impelentasi nyata dalam konflik di LTS adalah dengan menjaga perdamaian dan mengubah potensi konflik menjadi potensi kerjasama melalui sejumlah perundingan damai demi terselenggaranya kerjasama yang aktif, produktif dan efektif antar negara yang terlibat.

ASEAN sebagai Wadah Komunikasi
            Sekretaris Jenderal ASEAN Le Luong Minh dalam paparan ringkasan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-24 ASEAN pad bulan Mei 2014 lalu; menyatakan  mendukung penuh penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan meski diakui situasi konflik terus memanas.
            Dalam menghadapi masalah klaim di Laut Tiongkok Selatan, ASEAN harus tampil sebagai "an honest broker" atau peredam konflik. Keterlibatan beberapa negara ASEAN dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan, menjadi semakin penting dilakukannya perundingan damai secara terus-menerus. Terutama ketika harus berhadapan dengan Cina yang mengklaim seluruh LTS.
            Sebenarnya, ASEAN sudah berhasil menandatangani code of conduct atau kode perilaku dengan Cina tahun 2002. Berdasarkan perjanjian itu, negara-negara yang mengklaim sepakat menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi dengan cara damai tanpa penggunaan kekerasan, dan melalui perundingan. Tetapi intensitas konflik akhir-akhir ini menunjukkan Vietnam, Filipina, dan Cina tidak mematuhi semangat kesepakatan tersebut
            Untuk meredam maslah konflik LTS akhirnya ASEAN berusaha membuat komunike bersama antara nagara-negara ASEAN dengan Cina. Komunike bersama itu merupakan wujud kesepakatan 10 tahun yang tidak mengikat antara China dan ke-10 negara anggota agar menangani klaim perebutan LTS secara damai.
            Namun hingga kini, komunike tersebut belumlah terwujud. Dengan kegagalan tercapainya komunike bersama tersebut, maka hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi ASEAN. Lembaga ini harus membuktikan ke depan; apakah masih bisa menjadi wadah aktif komunikasi antar negara di Asia tenggara dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi. Apabila tidak, maka ASEAN akan ditinggalkan atau minimum tidak dianggap lagi oleh para negara anggota.

*Tulisan ini sudah dipublikasikan pada salah satu media cetak nasional

Wednesday, October 22, 2014

Indonesia Defense Procurement on MEF I (2009-2014)

Indonesia Defense Procurement on MEF I (2009-2014)
By David Raja Marpaung

A. Indonesia Air Force
 
Main Weapon Producent Unit          Contract
SU-30 MK2 Russia 6 11-Des-11
EMB-314 Super Tucano Brazil 16 13-Jun-11
T-50i South Korea 16 25 May 2011
Grob G-120 TP Germany 18 19-Sep-11
F-16 Block 25 Upgrade US 24 17 November 2011
C-130H Hibah Australia 4 19-Jul-13
C-130H (beli) Australia 5 19-Jul-13
C-295 Spain 9 15-Feb-12
Heli EC-725 Cougar France 6 12-Mar-12
Upgrade F-16 Block C UK 10 18-Des-12
AGM-65K2 Maverick US 18 23-Agust-12
Rudal R-73/A-11 Acher Russia
Rudal R-77 RVV-AE/AA- Russia
Rudal KH-29/AS-14 Ked Russia
Rudal KH-31P Russia
Rudal KH-59M/AS-18 Ka Russia

 B. Indonesia Navy

Main Weapon Producent Unit Contract
KS DSME 209 Korea  3 20-Des-11
KCR-40 Indonesia 3
KCR-60 Indonesia 3
PKR Sigma-10514 Dutch 1 05-Jun-12
Landing Ship Tank Indonesia 3 02-Sep-13
CN-235 MPA Indonesia 3
MLRF Nahkoda Ragam Class UK 3 2013
BMP-3F Russia 37 11-Mei-11
Heli AKS AS-565 MB Phanter France 11
PKR Sigma-10514 Dutch 1 14-Feb-14


C. Indonesia Army

Main weapons Producent Unit Contract
Heli AH-64 E Apache US 8 26-Agust-13
Howitzer caesar 155 mm France 37 9 Nov 2012
MLRS ASTROS II MK-6 Brazil 36 16 nov 2012
MBT Leopard Germany 103 30-Sep-12
IFV Marder 1A3 Germany 50 30-Sep-12
IFV Tarantula South Korea 22 2009
Upgrade AMX-13 Indonesia 2013
Rudal Anti Tank Javelin I UK 180 20 Nov 2012
Heli Bell-412EP US 24 2013-2014
Heli  Fennec France 12


 



Defense Agenda on Jokowi Era
by David Raja Marpaung

Indonesia’s president elect Joko Widodo and his Vice President Jusuf Kalla designed a nine priorities agenda called “Nawa Cita” for his presidency in 2014 to 2019.  The first priority is very related with defense and security agenda. This is showing the attention of Jokowi with these sectors. The first priority of Nawa Cita is to renew the state’s obligation to protect all people and provide security to all citizens through the free and active foreign policy, national security and the development of reliable national defense based on integrated national interests and strengthening national identity as a maritime nation.

Jokowi already emphasize that defense of a country is a major factor in ensuring the survival of the nation. A country will not be able to maintain its existence from threats both from within and from abroad if the country has not been able to maximize defense.

Related with defense budget, Jokowi In his vision, said to realize the defense budget of 1.5% of GDP. Indonesia's defense budget in 2013 amounted to USD 7.4 billion (USD 81.88 billion), or 0.9% of GDP. That is, there is less 0.6% of GDP, or $ 5.2 billion (USD 54.37 billion) from the defense budget and desired by Jokowi. 

Indonesia's defense budget is only smaller than Singapore in 2013, but the budget as a percentage of GDP, been modest. As a comparison, Singapore's defense budget of USD 9.76 billion (2.618% of GDP), Indonesia USD 7.84 billion (0.9% GDP), Thailand USD 5.847 billion (1.6% GDP), Malaysia USD 4.84 billion (1.6% of GDP), and the Philippines to USD 3.472 billion (1.39% of GDP). If our defense budget of 1.5% of GDP, then our defense budget would be US $ 13.045 billion, exceeding Singapore 

Modernization of Defense Main Tools
Joko Widodo committed to continued improvement and modernization of the main tools of weapons systems Indonesian National Army. Jokowi promised to continue and improve what was already made ​​by the government of Susilo Bambang Yudhoyono during the last 10 years.
Jokowi ill adjust the design of an existing military program with the addition of the Soldiers Welfare Improvement (mainly salaries), keep pace with technological advances qualified human resources, development of strategic industries associated with the military that is PINDAD, PAL and PT. Aerospace, communications equipment and the integration of sea and air patrol operations. 
Developing the Army adapted to the latest technological developments world which include Operational Strength Development, Modernization Unit Airborne as the brigade of 17 and 18 and Kopassus (high technology), Procurement Drones that can be used for monitoring of illegal logging, monitoring Illegal Fishing, Monitoring conflict-prone areas throughout Indonesia, Identification of Forest Fires in Real Time and others.
Navy weapons procurement in the form of submarines, high-speed patrol fleet and mutual cooperation with Drones operations, adequate naval fleet in order to assist the development of marine toll.
Modernization of defense equipment in the form of additional AU-US F16 aircraft (Rafaele-French, European Eurofighter), the latest radar, the addition of C 130 transport aircraft (capacity of 80-100 people) made in the United States, the latest transport aircraft such as the F 400 (Airbus made ​​in Europe) with a transport capacity of 37 tons and 116 fully armed personnel number. 
  
 

Mencari Format coast guard Indonesia yang Ideal



Mencari Format coast guard Indonesia yang Ideal

Oleh David Raja Marpaung


Ada 3 contoh model penjaga pantai dari negara lain yang dapat dijadikan referensi.

1). Model Kanada. Penjaga pantai Kanada (Canadian Coast Guard/ Garde côtière canadienneGCC) merupakan institusi sipil murni (non militer dan tidak didelegasikan wewenang penegakkan hukum) yang bertanggung jawab dalam keselamatan pelayaran, navigasi dan lingkungan laut. Secara struktural, penjaga pantai Kanada pun dikoordinasikan lewat Badan Operasional Khusus oleh Departemen Kelautan dan Perikanan Kanada.[1] Model inilah nampaknya yang akan dikembangkan dalam membentuk coast guard Indonesia berdasarkan UU Pelayaran.
 
2). Model Amerika Serikat. USCG (United States Coast Guard/Penjaga Pantai Amerika Serikat) memiliki wewenang dalam hal keamanan nasional, penegakkan hukum, SAR, perlindungan lingkungan laut, pengelolaan sungai dan bantuan navigasi. Ada tiga fungsi mendasar dari USCG (United States Coast Guard) yaitu keselamatan maritim, keamanan maritim dan lalu lintas maritim. Secara institusional, organisasi penjaga pantai AS merupakan bagian dari kekuatan militer yang secara jelas diatur oleh konstitusi Amerika Serikat. Dalam keadaan damai, USCG berada dibawah Departemen Keamanan Dalam Negeri dan dalam keadaan Perang, USCG berada dibawah kendali Angkatan Laut.[2]
3). Penjaga pantai Jepang (Kaijō Hoan-chō) memiliki wewenang dalam hal patroli maritim termasuk didalamnya penegakkan hukum dalam hal penyelundupan barang/manusia, bajak laut, kontra-terorisme, pencurian ikan, dsb; wewenang SAR (search and rescue); survei hidrografi dan oseanografi; dan, lalu lintas maritim. Dalam hal koordinasi, penjaga pantai Jepang berada dibawah Kementerian Transportasi, Pariwisata dan Infrastruktur.

Beberapa faktor yang dapat dijadikan pertimbangan Format ideal coast guard Indonesia

-         Pertama, coast guard Indonesia harus memasukkan unsur penegakkan hukum sebagai tugas utamanya. Kemudian, tugas utama lainnya adalah keahlian dalam hal SAR dan Navigasi pelayaran serta pengelolaan lingkungan laut.

-         Kedua, karena merupakan institusi penegakkan hukum maka coast guard Indonesia bukanlah institusi militer.

-         Ketiga, coast guard Indonesia nantinya harus bersifat integratif bukan koordinatif/ad hoc karena permasalahan pengamanan laut sudah seharusnya ditangani secara efektif dan efisien.

-         Keempat, wilayah operasi antara coast guard Indonesia dengan institusi yang berwenang di laut lainnya haruslah jelas dan sesuai dengan aturan hukum laut internasional termasuk juga jenis koordinasi dengan TNI AL yang mewakili komponen pertahanan negara di laut.

-         Kelima, secara struktural, coast guard Indonesia bertanggung jawab kepada Presiden dan teknis operasionalnya diserahkan kepada menteri yang sesuai (sesuai dengan UU No. 17 tentang Pelayaran). Pertanggung jawaban kepada Presiden dirasa tepat mengingat nilai geopolitik dan geostrategis kelautan Indonesia yang sangat penting.


[1] Lihat, Canadian Coast Guard, http://www.ccg-gcc.gc.ca/eng/CCG/Who_We_Are
[2] Lihat, United States Coast Guard, http://www.uscg.mil/top/about/