Mengantisipasi Arah Demokrasi Ke Depan
Refleksi Atas UU Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah
Oleh David Raja Marpaung
UU
Pemilihan Kepala Daerah yang disyahkan pada 26 Sepember lalu akhirnya menetapkan
mekanisme pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Banyak pihak berpendapat; hal ini bertentangan
dengan semangat reformasi yang baru berjalan 16 tahun. Sejak 2005, pilkada
dilaksanakan secara langsung. Semangat dilaksanakannya adalah koreksi terhadap
sistem demokrasi tidak langsung atau perwakilan di era sebelumnya. Melalui
pilkada langsung, masyarakat berhak untuk memberikan suaranya secara langsung
sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dan bebas dari
diskriminasi.
Berkaca
pada teori dan praktek demokrasi di negara-negara yang sudah terlebih dahulu memakai
sistem demokrasi, maka sesungguhnya kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat.
Karena itu hampir seluruh negara demokrasi memakai pemilihan langsung untuk
memilih pemimpinnya, baik di tingkat nasional maupun daerah. Berbagai
pembenaran pun berusaha dibangun oleh koalisi merah putih sebagai pihak yang
menginginkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Dimulai dari biaya yang besar,
rakyat yang dinilai belum cerdas dan siap dengan pilkada langsung, prinsip
demokrasi keterwakilan, dan berbagai alasan lainnya.
Namun, apa pun pembenaran yang
berusaha dibangun, sesungguhnya UU Pilkada yang baru telah mencederai demokrasi
secara substansial. Pertama, Proses demokrasi tidak bisa disederhanakan dan
diserahkan pada elit politik atau penguasa.. Setiap warga negara memiliki hak
menentukan pilihan politiknya, termasuk dalam memilih pemimpinnya. Hak politik
tidak boleh dirampas penguasa atas nama penyederhanaan pengaturan. Apabila
memang alasan biaya yang dipakai misalnya; maka pilkada dapat diselenggarakan
secara serentak.
Kedua,
para anggota DPRD memang memiliki hak dan legitimasi dari rakyat untuk
menjalankan fungsinya sebagai legislatif di daerah. Namun, siapa yang bisa
menjamin bahwa tidak seorang pun di antara mereka terbebas dari koordinasi paksa
oleh pimpinan parpol. Para politisi dikendalikan secara terstruktur langsung
dari pimpinan pusat setiap parpol. Jika ada anggota yang membangkang, risikonya
disingkirkan atau diganti dengan anggota lainnya dengan mekanisme pergantian
antar waktu.
Ketiga,
koalisi yang terbentuk dari tingkat pusat hingga daerah sesunguhnya akan
menghasilkan oligarki atau kartel dalam politik. Kebijakan ke depan nantinya
tidak akan berdasarkan apa kepentingan rakyat dan kebenaran yang harus
diperjuangkan. Namun, konstestasi antar koalisi merupakan agenda utama dalam setiap pilkada. Jadi tidak masalah
dengan kualitas calon pemimpin yang akan diusung. Hal yang terpenting calon
dari koalisi itulah yang akan menang. Hal ini tentunya akan sangat mengerikan
bagi nasib demokrasi ke depan.
Keempat,
politik dagang sapi tentunya tidak akan terhindarkan dalam pilkada. Logikanya
akan lebih mudah untuk membeli sekitar 30 suara atau 60 persen anggota DPRD di
daerah, daripada harus membayar sekian juta masyarakat yang memiliki hak
memilih. Dapat dipastikan, bahwa calon pemimpin daerah ke depan akan didominasi
oleh para pengusaha atau elit politik yang telah mapan. Dengan demikian,
kesempatan orang “kecil” tetapi memiliki niat besar untuk bekerja dan berbakti
untuk bekerja semakin redup. Calon independen juga semakin kecil khasnya untuk
terpilih, karena para partai politik pastinya tidak akan mau melepas kesempatan
untuk menjadi penguasa daerah.
Kelima,
pemilu tidak langsung justru membuat rakyat semakin tidak cerdas di dalam
politik. Dikatakan behwa rakyat sekarang kurang cerdas dalam memilih
pemimpinnya secara langsung. Namun, bila rakyat semakin dijauhkan dari proses
demokrasi, maka “kecerdasan” tersebut tidak akan pernah tercapai. Justru
masyarakat akan belajar dari setiap keputusan, kesalahan, dinamika politik yang
mereka lihat dan amati.
UU Pemerintahan Daerah
Terkait dengan UU Pilkada, maka pada
hari yang sama, DPR RI juga mensyahkan UU Pemerintahan Daerah yang terdiri atas
27 Bab dengan 414 pasal. Salah satu hal yang positif dari UU baru ini ialah semakin
ketatnya usulan untuk mengusulkan daerah pemekaran. UU Pemda mengamanatkan
Gubernur berwenang mengajukan usulan daerah otonomi baru kepada DPR. Namun,
mesti melalui proses persiapan jangka waktu tiga tahun. UU Pemda juga diberikan
wewenang yang lebih luas dalam menentukan arah pembangunan, dan program-program
yang akan diselenggarakan.
Namun, potensi ancaman terhadap
demokrasi pun masih ada dalam UU yang baru ini. Seperti halnya UU Pemerintahan
Daerah terdahulu. terdapat beberapa sektor yang harus diputuskan oleh
Pmerintahan Pusat yakni seperti urusan luar negeri, pertahanan, keamanan
nasional, manajemen penegakan hukum, urusan agama yang bersifat strategis dan
berdampak luas, serta moneter dan fiskal nasional..
Sesungguhnya keenam sektor hal tersebut
merupakan wilayah dari negara, namun pada pelaksanaannya kewenangan
tersebut perlu kerja sama dan dukungan
dari pemda. Menyangkut urusan pertahanan negara, sesungguhnya, pemda sangat
penting perannya dalam ikut mempersiapkan SDM. Misalnya, penjagaan
daerah-daerah perbatasan dalam konteks pertahanan akan bernilai strategis bagi
daerah terkait jika mereka ikut dilibatkan. Jika pemda dibebaskan dari urusan
ini, yang terjadi bisa saja sikap tak acuh serta tidak ada rasa memiliki dan
rasa bertanggung jawab dalam upaya pertahanan negara. Pemda juga akan sangat
berpengaruh bila ke depan pemerintah dan DPR akan membahas RUU Perbantuan dan
RUU komponen Cadangan.
Kedua, urusan keamanan, keamanan
nasional menjadi kewenangan pusat, tetapi keamanan lokal jelas merupakan
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurusnya. UU Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Penanganan Konflik Sosial juga telah mengangkat konsep keamanan lokal dan
menjabarkan kewenangan daerah dalam menjaga keamanan serta mengembangkan
kewaspadaan.. Pada praktiknya ada program perpolisian masyarakat (polmas) dan lain
sebagainya yang melibatkan partisipasi pemda, terutama dalam kerja sama dan
pendanaan.
Ketiga, dalam manajemen penegakan
hukumnyatanya tidak bisa berjalan efektif tanpa dukungan pemda. Oleh karena
itu, pemda perlu dilibatkan dalam upaya-upaya penegakan hukum yang terkait
dengan pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam, kejahatan lintas batas,
perdagangan manusia , dan lain-lain.
Menyangkut urusan agama, justru
monopoli pusat dapat mengancam pendekatan kedaerahan yang berbeda di setiap wilayah. Indonesia merupakan
negara yang plural dengan kekhasan masing-masing daerah. Jadi pengewajantahan peraturan
tentang keagamaan tidak dapat dipukul rata di setiap daerah.
No comments:
Post a Comment