Sunday, June 7, 2015

Refleksi Kritis Terhadap Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara

Refleksi Kritis Terhadap Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara
Oleh David Raja Marpaung

Pendahuluan
Kerahasiaan dan keterbukaan terhadap informasi menjadikan keduanya dalam posisi yang diametral. Adanya tarik menarik kepentingan antara kebebasan sipil dan rahasia negara memerlukan kajian yang panjang dan komprehensif untuk memadukannya. Dalam praktek kenegaraan tarik-menarik tersebut telah banyak terjadi. Sebut saja Amerika Serikat (AS), yang memiliki Government Secrecy Act 1997 yang kemudian disempurnakan menjadi Government Secrecy Reform Act 1999. Undang-undang tersebut lahir sebagai amanat dari Title IX Foreign Relations Authorization Act. Amanat yang ditujukan kepada Kongres AS tersebut bertujuan membentuk suatu komisi proteksi dan pengurangan rahasia negara. Komisi tersebut membuat suatu proposal yang komprihensif yang bertujuan untuk mengurangi jumlah informasi yang dirahasiakan dan disisi lain memperkuat pengamanan terhadap informasi yang telah ditetapkan sebagai rahasia. Usaha untuk melindungi  rahasia negara ini tetap dibuat dan merasa diperlukan walaupun jauh sebelum Government Secrecy Act 1997, masalah kerahasiaan yang berkaitan dengan kerahasiaan negara/pemerintah telah tertuang dalam The Freedom of Information Act 1966. Lalu  Bagaimanakah  dengan Indonesia?

Pembukaan UUD 1945 dengan tegas dinyatakan bahwa pemerintahan negara Indonesia bertujuan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Kewajiban negara dalam melindungi bangsa Indonesia tentunya merupakan tugas utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menghendaki adanya sistem keamanan nasional yang tangguh. Kerahasiaan negara merupakan bagian dari sistem keamanan yang memiliki peran penting untuk menjaga informasi strategis/taktis yang dimiliki oleh suatu negara/pemerintahan. Praktek-praktek kerahasiaan negara secara langsung dan tidak langsung tentunya berkaitan dengan hak dan kebebasan individu yang juga harus dilindungi. Oleh sebab itu rahasia negara harus diatur dengan undang-undang.
Reformasi 1998 telah mempengaruhi Indonesia khususnya dalam proses penyelenggaraan negara. Semangat dasar reformasi adalah mengakhiri rezim kerahasiaan dengan mendorong kultur keterbukaan sebagai basis partisipasi dan kontrol rakyat terhadap negara. Dengan itu, terbangun relasi egaliter antara negara dan rakyat sebagai fundamen dasar berdemokrasi
 Relasi yang kemudian muncul memiliki sifat yang lebih cair dan terbuka. Negara dengan masyarakat direlasikan dalam medium terbuka dimana partisipasi masyarakat dituntut serta dikedepankan dalam keikutsertaan mengelola transisi demokrasi. Di lain pihak, negara dituntut untuk membuka diri terhadap ruang partisipasi masyakarat dalam setiap dimensi kehidupan bernegara. Lewat konteks tersebut, transisi demokrasi di Indonesia memberikan wujud dan karakter baru dalam relasi negara dengan masyarakat dimana partisipasi masyarakat dan keterbukaan negara menjadi landasan utama. Wujudnya melalui ruang-ruang akan kebebasan (Freedom from Fear, Freedom of Religion, Freedom of Speech and Expression and Freedom of the Press), pembangunan, dan pemerataan ekonomi yang diberikan seluas-luasnya oleh negara. Hal ini dikuti dengan kaidah-kaidah demokrasi yang melekat pada negara, seperti akuntabilitas, tata kelola yang baik (good governence), dan transparansi. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi aturan main di kala Indonesia dalam euforia demokrasi. 
            Keterbukaan dalam informasi mempunyai arti yang sangat penting bagi demokrasi. Kebutuhan warga negara untuk mengatahui dan memahami persoalan-persoalan publik sangat penting bagi berjalannya demokrasi. Adanya informasi yang akurat melindungi masyarakat dari analisis yang keliru. Warga negara sangat membutuhkan informasi yang cukup untuk dapat mengungkapkan suara dan kepentingannya dan mengontrol pejabat-pejabat publik. Di sisi lain pemerintah juga mengakui bahwa keterbukaan informasi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengatasi KKN, penegakkan hukum dan demokratisasi. Jaminan akan keterbukaan atas informasi kepada publik adalah adanya kebebasan untuk memeperoleh informasi. Kebebasan memperoleh informasi tersebut telah dijamin sebagai hak konstitusional dalam pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan dengan itu, Article 19 Universal Declaration of Human Rights dan Article 19 Sec 2 International Covenant on Civil and Political Rights juga memberikan jaminan yang sama terhadap kebebasan untuk memperoleh informasi.

Uraian tentang akses atas informasi yang diikuti dengan pentingnya menjaga rahasia kepentingan pemerintah  ini menjadi pintu masuk dalam pembahasan kerahasiaan negara yang dilakukan oleh negara melalui suatu regulasi politik atau Undang-Undang. Ini dapat dilihat, yakni ketika kebutuhan masyarakat akan informasi merupakan hak dasar masyarakat, maka negara wajib memenuhi kebutuhan tersebut. Namun, tidak semua bentuk dan jenis informasi dapat diakses atau diketahui, terdapat informasi-informasi yang memiliki nilai strategis tertentu yang diperhadapkan dengan dimensi-dimensi, seperti intelejen, kemampuan militer (kondisi perang), persandian negara, dll. Pembatasan terhadap informasi ini menjadi penting untuk ditempatkan dalam konsepsi keamanan nasional dimana negara mempunyai kewajiban dalam menjaga keutuhan bangsa, terlebih dari ancaman. Perahasian ini digunakan untuk pengendalian resiko terhadap gangguan yang akan dan sedang dihadapi oleh negara.




Refleksi Kritis
            Dalam sebuah negara demokrasi, rahasia negara adalah informasi publik yang untuk sementara waktu dirahasiakan kepada publik. Rahasia negara adalah batasan atau pengecualian dari hak atas informasi sebagai hak asasi manusia. Maka prinsip yang tidak boleh dikalahkan dalam negara demokrasi adalah bahwa semua informasi publik, termasuk informasi yang dimiliki negara, adalah milik publik. Sebagai suatu pengecualian, pengaturan rahasia negara sifatnya harus terbatas, limitatif dan berlaku pada jangka waktu tertentu saja
Upaya pelembagaan prinsip-prinsip kerahasiaan informsi atau kerahasiaan negara berangkat dari asumsi bahwa keterbukaan informasi berlebihan akan menimbulkan sejumlah dampak merugikan bagi kepentingan nasional. Publikasi dokumen negara tertentu dapat mengancam keselamatan negara, mengganggu upaya negara untuk mempertahankan keamanan nasional. Pemerintah kemudian menerapkan system klasifikasi informasi: sistem penyembuanyian atau penyimpanan informasi kerahasiaan berdasarkan pertimbangan kerahasiaan tertentu. Sejumlah rambu-rambu diciptakan untuk menentukan informasi-informasi yang tidak dapat diakses publik, berikut sanksi-sanksi hukum bagi pelanggarnya.
            Di sisi lain klasifikasi kerahasiaan informasi memang suatu kebutuhan bagi setiap negara dan setiap pemerintahan. Persoalannya pengalaman di banyak negara menunjukkan pemberlakuan system klasifikasi informasi lebih banyak dipengaruhi oleh subyektivitas para penyelenggara pemerintahan. Status rahasia negara seringkali dimaksudkan untuk melindungi reputasi pemerintah, kepentingan birokrasi, dan tidak benar-benar untuk melindungi kepentingan negara. Kredibilitas dan reputasi pemerintah dianggap lebih penting daripada hak masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang kinerja pemerintah. Steven Aftergood(1996) membedakan antara rahasia negara yang murni (genuine national secrecy) di satu sisi, dan rahasia negara yang bersifat politis (political secrecy) serta rahasia birokrasi (bureaucratic secrecy). Pembedaan ini sangat relevan karena tidak semua klaim rahasia negara merujuk pada informasi-informasi yang benar-benar dapat membahayakan kepentingan dan kemanan nasional. Dengan kata lain dalam prakteknya political secrecy dan bureaucratic secrecy jauh lebih dominan daripada national genuine secrecy.
            Jika menelusuri perjalanan rancangan undang-undang Rahasia Negara mulai dari perencanaan awal yang dilakukan pada era Orde Baru yang dilanjutkan setelah reformasi (2006), hingga rancangan terakhir pada tahun 2010 menunjukan beberapa pergeseran baik dari kuantitas jumlah (pasal, ayat, dan butir), maupun dari segi substansi. Namun, yang menjadi menarik ketika kembali direformulasikan RUU Rahasia Negara di tahun 2010 guna kebutuhan program legislasi nasional 2010-2014. Meskipun terjadi pergeseran, namun terdapat beberapa pokok bahasan yang menjadi kerawanan terhadap munculnya suatu rejim ketertutupan. Untuk itu, pada uraian selanjutnya akan dipaparkan beberapa poin penting yang menjadi refleksi kritis

Pertama, masalah bingkai dalam upaya pengkategorian atau ruang lingkup yang ingin dirahasiakan. Ketika menempatkan rahasia negara dalam kutub keamanan nasional perlu diperkuat beberapa ruang lingkup yang terkait dengan instrumen tersebut. Rancangan yang ada hanya menggeser beberapa poin pengecualian yang terdapat pada UU No.14 Tahun 2008. Kondisi ini memperlihatkan bahwa tidak ada pijakan utama atau bingkai besar yang mendasari pengkategorian rahasia negara, terlebih ketika mengkaiatkan elemen rahasia negara dalam ruang irisan dengan keamanan nasional.

Kedua, perihal selanjutnya yang menjadi penting untuk dipermasalahakan dalam draf Rahasia Negara, yakni terkait dengan pengkategorian atau cakupan yang dirahasiakan. Dalam hal detail objek yang dirahasikan, rancangan ini telah memberikan uraian tentang apa saja yang menjadi rahasia. Misalanya dalam kategori pertahanan negara dimana hal-hal, seperti rencana kekuatan gelar pasukan dalam kondisi perang atau dalam operasi atau pengumpulan data intelejen dalam lingkup intelejen negara. Hal ini dapat dimaklumi sebagai suatu objek rahasia. Namun, terdapat beberapa rincian yang memberikan intrepetasi bahkan ketidakperluan suatu objek menjadi rahasia. Misalnya, pada lingkup pertahanan negara, rincian terhadap rencana alokasi dan pembelanjaan yang berkaitan dengan misi dan tugas pertahanan. Ini menjadi aneh dan menimbulkan peluang atau celah untuk penyelewengan ketika objek tersebut dirahasikan, terutama terkait dengan perencanaan anggaran.

Dua hal tersebut yang kemudian menjadi permasalahan tersendiri dimana ketidakjelasan bingkai kerahasian negara yang diikuti dengan beberapa rincian tentang objek yang dirahasiakan dengan multii-interpretasi menciptakan peningkatan kerawanan serta kecurigaan terhadap pelaksanaan RUU ini nantinya.

Refleksi ketiga, yakni mekanisme (cara) untuk menentukan kerahasian dimana pada rancangan ini telah dimasukan bahasan tersendiri terkait dengan klasifikasi dan deklasifikasi suatu rahasia negara. Namun, secara eksplisit bahasan tersebut hanyalah suatu proses administrasi kenegaraan dimana lembaga yang ditunjuk sebagai pelaksana/penentu rahasia negara memberikan suatu pertimbangan tertulis terhadap akibat yang ditimbulkan ketika objek tersebut tidak dirahasiakan dan pertimbangan tersebut disampaikan pada presiden. Paparan tersebut hanya memberikan suatu pemahaman administrasi kenegaraan, bukan suatu mekanisme jelas dan spesifik. Terkait dengan klasifikasi dan deklasifikasi tersebut, pada rancangan ini tidak ditemukan relasional antara jenis rahasia negara (sangat rahasia, rahasia, rahasia terbatas) dengan dampak yang ditimbulkan jika terjadi penyalahgunaan rahasia negara. Ini menjadi penting dalam upaya pengklasifikasian dan pendeklasifikasian suatu rahasia negara.

Keempat, yakni terkait dengan masa retensi yang terpapar dalam rancangan tersebut dimana ada tiga tingkatan, yakni sangat rahasia 30 tahun, rahasia 15 tahun, dan rahasia terbatas 5 tahun. Masa retensi menjadi penting, namun tidak selalu suatu informasi, benda, dan kegiatan yang memiliki implikasi terhadap keutuhan bangsa dan negara (sangat rahasia) diberikan waktu 30 tahun. Terdapat beberapa informasi, benda, dan kegiatan yang memiliki kandungan kerawanan yang tinggi namun dapat diselesaikan kerawanan dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun. Sebab dalam bahasan deklasifikasi tidak diuraiakan paparan terkait dengan penghentian suatu rahasia negara ketika ancaman dan kerawanan telah diselesaikan dalam kurun waktu kurang dari masa retensi.

Uraian klasifikasi, deklasifikasi, dan masa retensi menjadi penting untuk direfleksikan karena ketiga menjadi suatu simpul dalam penetapan dan pengakhiran suatu objek yang telah dan akan menjadi rahasia negara.
           
Kelima, yaitu permasalahan terkait dengan aktor penyelengaara, penentu, pengelola dan pelindung rahasia negara. Dalam rancangan yang digulirkan sekarang, tidak terdapat secara jelas siapa yang akan melakukan upaya-upaya tersebut. Yang disajikan hanyalah presiden sebagai pemegang kewenangan tertinggi yang dapat melimpahkan kewenangan tersebut pada lembaga negara, baik itu lembaga kementerian maupun lembaga non-kementerian. Tidak diatur secara jelas dan terperinci siapa yang berhak dan bertanggung jawab dalam menanganan perahasian objek rahasia. Ini memunuculkan kerawanan demokrasi dimana presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam tata kelola negara (pemerintahan) memberikan cek kosong pada lembaga negara tersebut untuk melakukan pelaksnanaan perahasian negara tanpa didasari suatu uraian pasal atau ayat dalam rancangan tersebut.

Keenam terkait pengaturan terhadap siapa saja pejabat negara yang karena jabatan dan kepentingannya dapat menggunakan rahasia negara. Dalam rancangan ini belum dijelaskan secara rinci terkait dengan uraian tersebut. Yang kemudian muncul dalam RUU Rahasia Negara ini, yakni setiap pejabat negara ketika akan mengakses dan memiliki informasi, benda, dan kegiatan yang dirahasikan memerlukan “hak untuk mengetahui” berdasarkan tingkat atau jenis rahasia negara. Terlebih yang sangat merisaukan terkait dengan standar prosedur dalam proses kepemilikan atau akses terhadap objek rahasia dimana tidak dijelaskan apa yang menjadi standar prosedur yang rinci ataukah hanya kepemilikan “hak untuk mengetahui” yang menjadi dasar proses tersebut.

Ketujuh, refleksi kritis tertuju pada tidak adanya bahasan pada RUU Rahasia Negara yang menyangkut tentang akses masyarakat terhadap objek yang dirahasiakan. Yang kemudian muncul pada teks RUU ini adalah hanya pejabat negara yang dapat mengakses dan memiliki objek rahasia tersebut. Ini menunjukan bahwa RUU ini sangat eksklusif bagi apartus negara (stata apparatus). Masyarakat biasa tidak ditempatkan dalam upaya pengendalian resiko lewat rahasia negara. Yang ada hanyalah masyarakat biasa dapat memiliki dan mengakses ketika kondisi tidak sengaja dan dilakukan dengan melawan hukum. Hal ini sangat ironis, dimana lewat rancangan ini masih sangat kuat upaya-upaya membentukan kembali rejim ketertutupan jika meliha belum diberikannya peran seran masyarakat untuk dapat memperoleh apa yang disebut rahasia.

Kedelapan, yakni perihal anggaran yang dibutuhkan dalam upaya perahasian suatu objek yang dirahasian. Dalam rancangan ini belum memberikan suatu usulan yang terkait dengan bagaimana dana atau alokasi anggaran dalam pengelolaan suatu mekanisme perahasian, yang ada hanyalah dana-dana yang dialokasikan pada aparat negara yang bekerja dalam penyelenggaraan, penetapan, pengelolaan, dan perlindungan rahasia negara. Hal ini menjadi penting ketika melihat tingkata masa retensi yang memerlukan biaya dalam sistem penanganan rahasia negara. Tak hanya itu, penggunaan teknologi dalam pengelolaan rahasia negara dapat dipastikan memerlukan biaya besar. Untuk itu, sangat mengherankan ketika anggaran atau alokasi dana perahasian tidak dicantumkan, karena akan menimbulkan kecurigaan yang tinggi tentang asal biaya yang dikeluarkan ketika rancangan ini dilaksanakan dalam level operasional.

Kesembilan, yakni terkait dengan belum adanya bahasan tentang pengecualian terhadap objek kerahasian ketika diperhadapkan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Ini menjadi penting karena rahasia negara ditempatkan tidak hanya pada kutub (kepentingan keamanan nasional), melainkan konteks demokrasi menjadi penting untuk dikedepankan dalam rancangan tersebut. Terlebih, ketika terkait dengan upaya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, suatu objek rahasia negara tidak dapat ditempatkan sebagai alat bukti dalam persidangan umum. Ini menjadikan kelemahan tersendiri, bagaimana ketika dalam pelaksanaan rahasia negara terbentur atau terkait dengan kasus-kasus hukum pidana.

Kesepuluh, terkait dengan dimensi pengawasan yang diatur dalam rancangan ini telah dipaparkan tentang pengawasan dua arah, yakni eksekutif (lewat presiden), dan legislatif (lewat sub komisi atau komisi khusus). Bahasan ini tidak menjadikan cukup dalam suatu dimensi pengawasan yang ideal. Terlebih dalam prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan perihal checks and balances yang menuntut untuk pengawasan yang berlapis dan bertingkat mulai dari tiga pilar negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif), hingga pada upaya-upaya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil atau aktor yang memiliki sifat independen.

Kesepuluh paparan yang terkait dengan peramasalahan yang terkandung dalam sisi substansi tersebut mengindikasikan bahwa RUU Rahasia Negara masih berada dalam level perdebatan substansi yang terkai dengan prinsip-prinsip demokrasi dengan kepentingan keamanan nasional. Jika melihat rancangan tersebut menjadi wajar ketika masyarakat sipil perlu merefleksikan secara kritis pokok-pokok bahasan yang nantinya akan menciptakan kerawanan terhadap sistem dan suasanan demokrasi yang telah dibangun kurang lebih satu dasawarsa ini.

Rekomendasi Reflektif
Ketika masih bervariasinya jenis dan karakter permasalahan dalam substansi RUU Rahasia Negara, menjadi penting untuk memberikan rekomendasi (awal) terhadap refleksi kritis yang telah dipaparkan tersebut. Rekomendasi ini juga akan ditempatkan pada dua kutub, yakni demokrasi dan keamanan nasional. Untuk itu, terdapat beberapa rekomendasi yang coba disajikan dalam uraian selanjutnya.
           
Pertama, RUU Rahasia negara haruslah ditempatkan dalam tujuan dan kepentingan keamanan nasional sebagai bingkai utama. Ini diharapkan untuk tidak menciptakan suatu rejim ketertutupan yang coba menutup segala akses informasi dalam terhadap masyarakat. Implikasinya jelas yang kemudian akan diatur dalam pasal, ayat, dan butir pada rancangan ini akan selalu terbatas dan hanya pada kepentingan keamana nasional. Kedua, yakni terkait dengan rincian kategori atau ruang lingkup yang tertera dalam rancangan ini dimana ketika perincian tersebut diperlukan maka implikasinya jelas, yakni rincian tersebut tidak menimbulkan mulit-interpretasi yang akan menimbulkan perdebatan tajam antar aktor negara dan masyarakat sipil.
           
Rekomendasi ketiga, yakni terkait mekanisme (cara) untuk menentukan kerahasian. Ketika RUU ini diperlukan dalam pengendalian resiko (risk control), maka perincian secara jelas tentang bagaimana suatu cara dalam menentukan kerahasian menjadi keharusan yang ditampilan dalam uraian RUU Rahasia Negara. Reformulasi tentang mekanisme penentuan yang kemudian dikaitkan dengan upaya klasifikasi dan deklasifikasi menjadi penting dan harus dipaparakan dalam RUU ini. Keempat, yakni penggunaan tingkatan masa retensi tersebut dimana RUU ini harus memformulasikan tentang masa retensi yang dihubungkan dengan jenis rahasia negara. Dan bagaimana masa retensi ini berakhir ketika telah selesai dan tidak menimbulkan ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara dan sebulum waktu yang ditentukan. Hal ini perlu diatur melihat konteks ancaman yang cepat eskalasi dan penanganannya. Hal ini juga diperlukan untuk menghindari pembiaran suatu objek yang telah tidak memiliki nilai strategis dalam kurun waktu yang lama.
           
Rekomendasi kelima, yakni penentuan secara eksplisit, jelas, dan rinci terhadap aktor negara (pemerintah) yang menjadi penyelenggara, penentu, pengelola, dan pelindung objek yang dirahasikan. Ini dapat dilakukan dengan menunjukan secara langsung satu atau lebih lembaga negara baik itu kementerian atau non-kementerian yang memiliki kompetensi dan instrumen dalam pelaksanaan rahasia negara. Atau dapat dengan membentuk suatu komite atau lembaga baru yang diakomdasi dari aparatur negara yang menjadi penyelenggara, penentu, pengelola, dan pelindung objek yang dirahasikan. Keenam, yakni tentang standar prosedur yang dibutuhkan ketika pejabat negara yang berdasarkan jabatan dan kepentingannya membutuhkan dan memiliki objek yang dirahasiakan. Tidak hanya melalui “hak untuk mengetahui”, namun standar prosedur ini menjadi penting untuk diperinci dan diperjelas bagiamana cara atau tata kelola dan merujuk pula pada dampak dan kebutuhan ketika terjadi pemindahan tangan dalam kepemilikan suatu objek yang dirahasian.
           
Ketujuh, yakni sehaursnya secara ideal dan memenuhi prinsip demokrasi, yaitu partisipasi aktif masyarakat, maka ruang untuk masyarakat (sipil) untuk mengakses dan memiliki objek yang dirahasikan menjadi penting untuk diberikan. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan security clearence yang menjadi jembatan untuk masyarakat dapat mengakses objek yang dirahasiakan. Hak ini juga dengan melihat dampak dan implikasi yang terkait dengan tujuan dan kepentingan keamanan nasional. Rekomendasi selanjutnya, kedelapan, yakni terkait dengan pemenuhan anggaran terhadap pelaksanaan rahasia negara. Pemenuhan tersebut dapat didapat lewat sumber-sumber resmi dan legal yang dimiliki negara. Untuk itu, rekomendasi menuntut untuk memberikan suatu bahasan tentang anggaran dalam pelaksaan rahasia negara.
           
Kesembilan, yakni terkait dengan bahasan pengecualian dimana pokok-pokok objek yang dirahasikan dapat luntur atau gugur seiring dengan kasus-kasus, seperti HAM dan Korupsi yang melekat dalam upaya-upaya perahasian negara. Ini menjadi penting untuk memberikan klausul tentang upaya pengecualian yang diperhadapkan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Rekomendasi kesepuluh, yakni tentang pengawasan berlapis dimana pada RUU ini hanya memberikan dua arah pengawasan belum cukup, diperlukan pengawasan berlapis, seperti ekskutif (presiden dan jajaran), legislatif (komisi khusus), yudikatif (polri, kejaksaan, kehakiman), yang ditambahkan dengan KPK sebagai pengawas dalam semangat anti korupsi, Komnas HAM (dalam pencegahaan pelanggaran hak dasar masyarakat), dan lembaga independen (masyarakat sipil) untuk kontrol eksternal terhadap perahasian negara.

Standing Point
Dalam melihat dan merefleksikan rancangan undang-undang yang kembali digulirkan pada Prolegnas 2010-2014, terdapat dua poin penting dalam penempatan posisi dalam merespon draf tersebut. Pertama, rancangan ini memiliki intisari yang menjadi alat pengendali resiko terhadap ancaman bagi keutuhan bangsa (terutama dalam kerawanan terhadap gangguan yang akan merusak secara fisik). Hal ini menjadi penting dalam konteks tujuan dan kepentingan keamanan nasional. Kedua, namun ketika konteks keamanan nasional tidak memenuhi prinsip demokrasi yang tertuang dalam rancangan undang-undang rahasia ini (terutama dalam sisi substansi), maka kecenderungan untuk kembali pada budaya kerahasian (rejim ketertutupan) dan penyelewengan terhadap kekuasaan memiliki potensi yang kuat dan tinggi. Untuk itu, ketika tujuan dan kepentingan keamanan nasional yang dituangkan dalam RUU Rahasia Negara masih memiliki masalah substantif yang mana memungkinkan untuk terjadinya penyelewengan, maka upaya resistensi menjadi penting untuk dikedepankan.                 
            Kedepan diharapkan, dalam konteks rahasia negara, maka UU Rahasia Negara harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. Pengaturan rahasia negara harus berlandaskan pada paradigma bahwa semua informasi hakikatnya terbuka. Hanya terdapat pengaturan-pengaturan yang membedakan pejabat mana yang memiliki security clearance kewenangan untukmembuka sebuah informasi.
  2.  Penetapan mengenai security clearance harus berdasarkan pada prinsip-prinsipkebebasan informasi di mana pengaturan mengenai wewenang membukainformasi tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan informasi.
  3.  Pengaturan mengenai rahasia negara harus menganut prinsip sunset. Artinya ada jangka waktu yang jelas mengenai berlakunya peraturan tersebut.
  4. Penetapan akses terhadap sebuah harus informasi harus memenuhi kaidah balancing on public interest test dimana sesuatu yang dianggap rahasia apabila kepentingan publik menghendaki untuk membukanya maka ia harus tetap bias dibuka dan consequential harm test yaitu uji konsekuensi terhadap suatu ketentuan rahasia. Apabila setelah diuji ketentuan rahasia tersebut lebih besar manfaatnya apabila dibuka maka ketentuan tersebut harus dibuka.
  5. Harus ada jangka waktu kadaluwarsa bagi suatu ketentuan kerahasiaan. Dalam jangka waktu tertentu suatu informasi yang tadinya hanya bisa diakses oleh sekelompok orang, dan kemudian harus bisa dibuka dan diumumkan kepada publik
i be! u o = �e> ara terhadap unsure-unsur pemerintah dan institusi di bawahnya. Termasuk aktor-aktor yang bertugas mengurus pertahanan negara.


Bagi negara-negara yang memiliki peraturan tentang adanya wajib militer, maka PBB merekomendasikan untuk memberikan bagi warga yang menggunakan Conscentius Objection dengan berbagai dinas pengganti seperti ikut melayani kepentingan public, kerja sosial, dan lainnya.


D. Langkah Apa yang dapat Diambil?

Rencana Pemerintah untuk membentuk Komponen Cadangan pertahanan dapat diterima, akan tetapi harus ada penjelasan dari pemerintah tentang tujuan serta “blueprint” dalam pengelolaannya.

Harus dipikirkan kembali efek dari komcad terhadap komponen utama. Apakah nantinya bias berakibat positif atau negatif. Perlu juga dilihat efek dari penyatuan tugas dari Komponen utama dan komponen cadangan.

Secara prinsipil, sebuah kebijakan pemerintah tidak hanya memikirkan kepentingan negara, namun kepentingan hak-hak dasar warga negara juga harus terpenuhi. Oleh karena itu perlu dibuat mekanisme concentious objection dan alternatif  bagi warga yang tidak mengikuti komcad, seperti kerja sosial, magang di instansi pemerintah, dsb

RUU Komponen Cadangan juga membuka peluang terjadinya penyalah gunaan wewenang terkait penguasaan sumber daya non manusia mengatasnamakan pembentukan komponen cadangan. Dikhawatirkan pula pembentukan Komcad akan memperkuat kembali komando territorial, hal ini bertentangan dengan UU No. 34 tahun 2004 yang memandatkan restrukturisasi komando territorial.

Hal-hal yang dapat dilakukan aktor negara dalam memperbaiki RUU Komcad:
1.     Pengadopsian nilai-nilai HAM, dan kejelasan status concentious objection
2.     Penekanan bahwa penggunaan Komcad sebagai last resort
3.     Sebelum Undang-Undang ini disyahkan, sebaiknya pemerintah menyelesaikan reformulasi doktrin dan postur pertahanan, membuat UU keamanan nasional sebagai referensi operasional Komcad





No comments:

Post a Comment