Sunday, June 7, 2015

Bentuk Ideal Komponen Cadangan Pertahanan Negara

Bentuk Ideal Komponen Cadangan Pertahanan Negara
Oleh David Raja Marpaung

Pendahuluan

Pertahanan negara merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup suatu negara. Eksistensi sebuah bangsa sangat bergantung kepada kemampuan bangsa tersebut, untuk dapat mempertahankan diri dari setiap ancaman baik dari luar maupun dari dalam negara itu sendiri. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki jiwa juang tinggi dan militansi rakyatnya pun telah teruji. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang melibatkan seluruh kekuatan bangsa dengan bertumpu pada semangat dan militansi rakyat yang sukar dilawan dengan senjata apapun. Ikrar untuk membela, mempertahankan kemerdekaan, dan menegakkan kedaulatan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi sebuah pandangan hidup bersama bangsa Indonesia

Sebagai bagian dari kerangka reformasi sektor keamanan, pengaturan dan penataan ulang kembali institusi TNI sudah berjalan hampir 12 tahun. Reformasi TNI secara garis besar telah menghasilkan beberapa produk-produk legislasi, yang diantaranya meliputi: pemisahan Struktur dan Peran TNI- Polri (Tap MPR No VI dan VII tahun 2000), pembentukan UU no 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 2/2002 tentang Polri dan UU No 34/2004 tentang TNI. Meski demikian, problematika dalam menata sektor keamanan nasional tetap saja menghimpit. Bukan hanya sekadar perdebatan mengenai kegiatan teknis-operasional seperti pengaturan, pengelolaan dan pelaksanaan semata tetapi juga menyangkut paradigma luas tentang konsepsi keamanan nasional (national security).

Konsepsi keamanan nasional membawa implikasi logis terhadap pentingnya pembentukan sebuah Komponen Cadangan Pertahanan Negara (Komcad). Pertahanan, sebagai salah satu upaya untuk mencapai keamanan nasional, tentunya tidak bisa luput dari wacana tersebut. Apalagi, amanat konstitusi UUD 1945 dan perundangan yang berlaku menjadikan kekuatan pertahanan diluar TNI sebagai suatu keharusan legal terutama ketika dipandang dari sisi doktrin Sistem Pertahanan Semesta. Di sisi lain, pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi mendorong ancaman muncul makin bervariatif, hingga ke aspek-aspek nirmiliter yang tidak bisa dihadapi oleh kompetensi militer konvensional semata. Kompetensi teknis nirmiliter menjadi makin dibutuhkan untuk melakukan fungsi-fungsi militer. Pemerintah menilai dua alasan tersebut menjadi dasar yang cukup bagi perumusan sebuah Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU Komcad).

Meski demikian, ada beberapa hal kontroversial dalam RUU tersebut yang menjadi perdebatan bila dilihat dari tataran konseptual, teknis-operasional, serta hubungan sipil-militer. Position Paper ini akan mengulas dan mencoba menjembatani perdebatan tersebut. Paper ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama membahas sisi konseptual bahwa pembentukan komcad dinilai lebih termotivasikan oleh keharusan legal pemerintah, bukan didasari pada pertimbangan strategis, seperti dinamika lingkungan strategis masa mendatang serta sinkronisasinya dengan proses reformasi sektor keamanan. Dengan kata lain, komcad terlihat lebih merupakan “pilihan” daripada “kebutuhan” bagi pemerintah. Bagian kedua membahas sisi teknis-operasional yang menitikberatkan persoalan pada aspek pendanaan dan pengelolaan Komcad yang masih membutuhkan kejelasan dan penyempurnaan, terutama dari sisi efektifitas dan efisiensi militer. Bagian ketiga menerangkan bahwa pembentukan komcad belum memberikan jaminan akan hubungan sipil-militer yang harmonis. Bagian keempat memberikan kesimpulan dan menawarkan rekomendasi bagi pemerintah untuk memodifikasi draf RUU Komcad menjadi lebih baik dan dapat diterima oleh publik, khususnya organisasi masyarakat sipil.    

Konsep Komponen Cadangan
            Penggunaan istilah cadangan sangat beragam, mencakup aspek komponen pertahanan negara yang luas maupun sempit. Masing-masing negara di dunia ini menggunakan istilah dan metode rekrutmen, pengorganisasian, tugas dan fungsi, cakupan materi undang-undang, dan subyek tentang cadangan pertahanan negara sesuai dengan karakteristik negaranya masing-masing. Pengertian cadangan dalam konteks pertahanan dalam tata Bahasa Inggris adalah reserved. Military Reserved yang diterjemahkan sebagai tentara cadangan merupakan tentara reguler yang dipersiapkan sebagai kekuatan cadangan dari kekuatan utama. Fungsi reserved sendiri adalah simpanan untuk kekuatan bagi setiap matra angkatan bersenjata yaitu angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara, namun statusnya tetap menjadi bagian dari komponen utama pertahanan.Dalam Dictionary of British Military History (2nd edition) digunakan istilah reservist dengan definisi: A member of the armed forcer who can be called upon for active service in time of war. A reservist is often a person who has served in the armed forces and it then on a reserve list for a specific number of years
            Bagi bangsa Indonesia (versi pemerintah), komponen cadangan sebagai kekuatan pengganda dibentuk serta dibina guna memperbesar sekaligus memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama serta senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dikerahkan melalui mobilisasi apabila negara membutuhkan. Pola pembentukan, pembinaan, dan penggunaan komponen cadangan merupakan model yang efektif dan efisien dalam upaya meningkatkan jiwa militansi warga negara, kesiapan fisik, serta pengetahuan, dan kemampuan pertahanan Negara. Secara Garis besar. Konsep cadangan Negara ada dalam komponen pertahanan Negara yang dirancang pemerintah[1]:

Keinginan Kementerian Pertahanaan (Kemhan) untuk mensahkan secepatnya RUU Komcad pada dasarnya dimotivasi oleh keharusan legal, yakni pasal 30 ayat 1 UUD 45 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara, maka menjadi anggota komcad adalah wajib bagi warga negara yang telah memenuhi persyaratan termasuk pengerahan sumber daya nasional lainnya untuk pertahanan negara. Amanat konstitusi tersebut lebih dikonkritkan lagi oleh Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan negara yang menerangkan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta.

Alasan keharusan legal hendaknya tidak menjadi satu-satunya dasar pertimbangan pemerintah untuk membentuk komponen cadangan. Kejelasan di tataran konseptual perlu disempurnakan pemerintah sebelum masuk ke tataran teknis-operasional. Tidak hanya karena ini akan menentukan teknis-operasional komcad Indonesia, melainkan lebih penting lagi, pertimbangan ini juga akan menentukan sejauh mana penerimaan masyarakat sipil terhadap konsep negara tentang RUU tersebut.

Secara sederhana, ada dua tingkat penilaian untuk menentukan apakah sebuah negara memerlukan sebuah komponen cadangan atau reserve – personil militer paruh waktu, hanya aktif dalam jangka waktu tertentu, dan dapat dimobilisasi dalam keadaan darurat. Pertama, analisa mendalam dan menyeluruh atas lingkungan strategis dan keamanan. Analisa ini bukan hanya sekedar ulasan lingkungan strategis, tapi juga harus memunculkan tantangan-tantangan spesifik yang akan dihadapi dalam jangka waktu 10-25 tahun ke depan. Kedua, analisa atas lingkungan politik, ekonomi, sosial-budaya. Analisa ini tidak hanya bicara mengenai kemampuan negara atau keputusan politik, tapi juga “kesesuaian” (congruence) antara kebijakan pertahanan dengan nilai-nilai demokratisasi dan budaya bangsa serta kondisi sosial-demografi masyarakat. 

Dengan kata lain, persoalan apakah Indonesia membutuhkan Komcad hendaknya diukur berdasar jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
  1. Apa saja yang menjadi ancaman negara, baik di kini dan masa mendatang (hingga 25 tahun minimal)?
  2. Bagaimana komponen cadangan menjawab tantangan-tantangan tersebut?
  3. Apakah pembentukan komponen cadangan dibentuk secara sukarela (volunteer) atau dengan “wajib militer” (compulsory draft)? Mengapa?
  4. Jika dibentuk dengan compulsory draft, apakah hal tersebut sesuai dengan keadaan atau dinamika dalam masyarakat serta hubungan sipil-militer yang demokratis?
  5. Apa dampak dari dibentuknya komcad melalui wajib militer bagi usaha-usaha reformasi dan transformasi pertahanan serta military effectiveness?
  6.  Apa dampak dari dibentuknya komcad bagi hubungan sipil-militer dan proses demokratisasi?
  7. Apa dampak dari dibentuknya komcad bagi stabilitas regional, khususnya di Asia Tenggara?
  8. Pembentukan Komcad membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apakah negara mampu menyediakannya, mengingat dana untuk militer hingga kini masih minim. Dan apakah output dan outcomes yang diberikan sesuai dengan anggaran yang dikeluarkan.

Pastinya, alasan pembentukan komcad menurut pertimbangan pemerintah muncul sebagai sebuah kebutuhan, dan bukan pilihan, bagi Indonesia. Komcad sebagai sebuah kebutuhan tentunya lebih dari sebatas keharusan legal. Pertimbangan jenis dan karakter ancaman, dinamika lingkungan strategis, kapasitas anggaran dan manajemen personil, semuanya harus masuk kalkulus pemerintah. Kesalahan atau kegagalan dalam melakukan telaah tersebut akan berpotensi menciptakan peluang penyalahgunaan wewenang komcad. Jangan sampai upaya pemerintah untuk secepatnya mensahkan RUU Komcad akan mengompromikan aspek konseptual yang justru menjadi elemen paling penting. Hal ini semakin diperumit dengan persoalan legal bahwa RUU Komcad memiliki potensi berbenturan dengan UU terkait lainnya karena UU yang menjadi landasan legal untuk RUU Komcad, seperti UU TNI, direncanakan akan diamandemen pada periode 2010-11. Ketidakjelasan di tataran konseptual akan memunculkan persoalan teknis-operasional. Meski sudah berulang kali direvisi, draf RUU Komcad terbukti masih juga memuat persoalan teknis-operasional yang perlu segera diklarifikasi pemerintah.

Persoalan teknis-operasional
Di tataran teknis-operasional, permasalahan terdapat di dua kategori, yakni pendanaan dan pengelolaan Komcad. Pendanaan komcad menjadi pertanyaan publik ketika kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan TNI sebagai komponen utama (komput) hingga saat ini masih belum memadai. Argumen Kemhan bahwa komcad tidak akan menyerap anggaran besar tidak berhasil meyakinkan publik dalam hal efisiensi alokasi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) untuk pertahanan. Lagipula, pembentukan komcad tidak menjamin peningkatan efektifitas pertahanan atau cost-effectiveness.

Persoalan bertambah ketika komcad terkesan bias angkatan darat. Hal ini tampak jelas ketika dokumen Postur Pertahanan Negara menyebutkan bahwa akan dibentuk Batalyon Cadangan di tiap Kodim. Pelaksanaan dilakukan secara bertahap dari pembentukan I Kompi Cadangan di tiap Kodim pada Tahap I, lalu 2 Kompi pada Tahap II, dan 1 Batalyon pada Tahap III. Ada kesan bahwa yang dimaksud memperbesar dan memperkuat TNI sebagai komponen utama melalui pembentukan Komcad merupakan penambahan kuantitas personil semata. Akibatnya, muncul tendensi Komcad dijadikan “proyek padat karya.” Tentunya, hal semacam ini hanya akan menambah beban anggaran pertahanan Indonesia.

Permasalahan teknis-operasional RUU di tataran pengelolaan Komcad terlihat dalam beberapa aspek, antara lain: mekanisme perekrutan, status, latihan dan mobilisasi, serta pemeliharaan komcad.
Mekanisme Perekrutan. Permasalahan terletak pada dikotomi wajib atau sukarela.  Menurut Pasal.... RUU Komcad, wajib komcad hanya berlaku bagi PNS, buruh, mantan anggota TNI/Polri, dan tenaga ahli. Sementara, bagi komcad sukarela berlaku di luar kelompok tersebut. Permasalahan muncul terkait status “sukarela” tersebut karena tidak diatur dalam RUU. Alternatif solusi yang ditawarkan adalah menjadikan komcad sebagai pilihan sukarela bagi kelompok di luar kategori yang telah disebutkan, namun menjadi wajib ketika mereka sudah ditetapkan menjadi komcad.

Status. Permasalahan status bergulir seputar kombatan/non-kombatan. Ada kesan bahwa pemerintah terlalu bersemangat untuk memberi status kombatan pada personil komcad. Padahal, pemberian status kombatan akan menghilangkan prinsip impunitas personil komcad yang bahkan mungkin tidak memiliki peran bantuan tempur sekalipun.

Latihan dan Mobilisasi. Persoalan terletak pada mekanisme latihan bagi personil komponen cadangan. Pasal 9 ayat 1 RUU Komcad menyebutkan bahwa syarat personil komcad ialah telah mengikuti latihan dasar kemiliteran. Latihan ini tentunya tidak cukup untuk menjadikan personil komcad memiliki status kombatan dan dapat masuk ke tiga matra angkatan. Perlu ada latihan menengah atau canggih kemiliteran yang dapat meningkatkan kompetensi teknis personil komcad hingga minimal setaraf personil TNI reguler. Kedua, waktu mobilisasi komcad belum diatur melalui mekanisme perundangan, seperti misalnya, UU mobilisasi dan demobilisasi. Ketiga, persamaan status dan kesejahteraan personil Komcad dengan anggota TNI sebagai komponen utama akan merendahkan moril komponen utama mengingat mekanisme perekrutan personil komcad. Keempat, RUU masih belum menjelaskan tentang kedudukan komcad dalam pertahanan negara, melainkan hanya menyebutkan matra darat, laut, dan udara. Padahal, perlu ada definisi yang lebih spesifik terkait hal ini, misalnya komcad memiliki fungsi tempur, bantuan tempur, atau di luar keduanya. Aspek teknis semacam ini perlu diperjelas dalam RUU. Kelima, belum ada identifikasi jelas mengenai batasan usia dan kompetensi membuat personil Komcad hanya diarahkan untuk siap tempur secara fisik tanpa memperhitungkan faktor intelektualitas dan ranah fungsi penggunaannya. Pembentukan komcad tanpa disertai keahlian atau kompetensi yang memadai akan justru menambah beban logistik komponen utama tanpa menghasilkan dampak positif yang signifikan bagi kredibilitas pertahanan negara. Dengan demikian, muncul kesan bahwa wacana komcad hanya sekedar menampung semangat juang atau menanamkan nilai-nilai patriotik dan nasionalisme pada masyarakat dan bukan untuk membangun kapasitas pertahanan yang kredibel.

Keenam, masih belum ada rumusan komprehensif mengenai komcad dari unsur non-manusia. Padahal, potensi komcad non-manusia lebih besar untuk direalisasikan guna meningkatkan kapabilitas pertahanan Indonesia daripada komcad manusia. Terakhir, namun tidak kalah penting, ialah mekanisme mobilisasi komcad dalam operasi militer. Permasalahan muncul ketika komcad dimobilisasi untuk operasi militer selain perang (OMSP). Banyak kalangan menilai kebijakan semacam ini akan cenderung menciptakan konflik horizontal dalam masyarakat oleh karena komcad yang dapat berstatus militer dan sipil sekaligus. Meski demikian, banyak pula yang mempermasalahkan perihal komcad yang digunakan dalam operasi militer perang (OMP) mengingat kompetensi komcad yang serba terbatas dari sisi teknis kompetensi tempur. Solusi alternatif yang muncul adalah mendudukkan komcad dalam operasi bantuan tempur, misalnya di bagian logistik, komunikasi, transportasi, dan sebagainya.

Pemeliharaan. Permasalahan juga muncul ketika suatu obyek, baik manusia ataupun non-manusia, yang telah ditetapkan sebagai komcad harus dipelihara dalam jangka waktu tertentu untuk mempertahankan kapasitasnya sebagai komcad. Khusus komcad manusia, hal ini cenderung relatif lebih mudah untuk dilakukan. Pasal 26 RUU Komcad mensyaratkan latihan maksimal selama tiga puluh hari tiap tahun dalam bentuk dinas aktif sebagai penugasan. Akan tetapi, akan lebih sulit menerapkan hal yang sama untuk komcad non-manusia. Pemeliharaan komcad non-manusia tentunya tidak hanya membutuhkan pendanaan ekstra, melainkan pula supervisi langsung di masa non-mobilisasi oleh pemerintah guna memastikan unsur kelaikannya sebagai komcad. Hal teknis-operasional seperti ini masih belum diatur dalam draf RUU yang ada sekarang. Terlebih lagi, untuk komcad manusia yang mendapatkan latihan lebih singkat, namun mendapatkan status dan gaji yang sama dengan komput, akan cenderung menurunkan moralitas komput, bahkan tidak mustahil penurunan moralitas itu akan berujung pada kecemburuan yang memicu konflik intra-TNI.

Oleh sebab itu, perlu ada pembahasan lebih lanjut, terutama secara teknis-operasional, dari draf RUU Komcad yang sekarang diajukan ke DPR. Antusiasme pemerintah (yang terkesan berlebihan) untuk mensahkan RUU ini seharusnya tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau modifikasi terkait aspek teknis-operasional itu. Persiapan RUU Komcad yang matang dari sisi teknis-operasional tentunya akan memudahkan upaya implementasi yang justru lebih penting. Kegagalan dalam implementasi sebagai akibat dari kurangnya ketelitian dan ketekunan dalam mengkaji RUU itu hendaknya diantisipasi sejak dini. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah mempersiapkan RUU itu sematang mungkin dari sisi teknis-operasional, hal ini bukan berarti RUU itu sudah sempurna. Desakan, tekanan, serta kritikan dari masyarakat sipil dengan berbagai alasan kekhawatiran mereka atas RUU ini memiliki potensi besar untuk mengembalikan RUU ini ke Kemhan untuk dikaji ulang. Dengan kata lain, masyarakat sipil memiliki kekuatan untuk mengagalkan RUU ini dalam lobi-lobi di DPR. Mereka tidak hanya melihat sisi kesempurnaan aspek teknis-operasional, tetapi juga analisa dampak RUU ini terhadap prospek hubungan sipil-militer.


Komcad dan Hubungan Sipil-Militer
Tidak dapat dipungkiri, sebagian kalangan masyarakat, khususnya organisasi masyarakat sipil (CSO), cenderung menilai komcad dengan skeptis. Terdapat kekhawatiran bahwa komcad berpotensi menjadi pintu bagi TNI untuk masuk ke dalam ranah sipil. Dengan kata lain, komcad dianggap sebagai upaya militerisasi sipil. Tidak hanya itu, komcad dipandang berpotensi menjadi “kuda troya” militer untuk memfaksionalisasi masyarakat sipil antara mereka yang sepandangan dengan TNI dan mereka yang tidak; antara mereka yang pro-penguatan negara dan mereka yang menuntut sebaliknya. Fenomena ini dapat berujung pada konflik horizontal dalam masyarakat antara kelompok sipil-komcad dan kelompok sipil lainnya. Bila disederhanakan, sebagian kalangan menilai komcad justru akan cenderung memperburuk hubungan sipil-militer yang selama 12 tahun terakhir berusaha untuk diperbaiki, terlepas dari manfaat komcad itu sendiri bagi sistem pertahanan Indonesia.
            Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa penggunaan komponen cadangan harus melalui keputusan politik dan dalam keadaan darurat militer atau perang. Jadi, tidak bisa digunakan untuk kepentingan yang tidak ditetapkan dalam keputusan politik. Dan komponen cadangan tidak berarti menjadi tentara reguler, bukan merupakan wajib militer, serta bukan sebagai alat militer. Komponen cadangan adalah masyarakat sipil tapi memerlukan latihan kemiliteran agar siap digunakan, dan setelah itu tetap sipil

Pertama, CSO menilai bahwa komcad selain dinilai tidak memiliki akar dalam UUD 45, juga secara moralitas ditolak karena bertentangan dengan alasan-alasan humaniter. Penolakan Mahatma Gandhi terhadap penerapan komcad (sebuah eufimisme dari wajib militer) di India pada dekade 1920-an menjadi salah satu contohnya. Kedua, berkaitan dengan yang pertama, RUU Komcad tidak menerapkan mekanisme penolakan selain alasan kesehatan, akademis, dan religius. Penolakan atas dasar pertimbangan nurani atau consciencetous objection, atau bahkan, keyakinan politik, seharusnya juga memperoleh tempat dalam mekanisme penolakan tersebut. Apalagi, terdapat pasal yang mewajibkan komcad bagi golongan masyarakat tertentu. Ketiga, keberadaan pasal yang mewajibkan PNS untuk bergabung dalam komcad memberi indikasi kuat ke arah militerisasi birokrasi dan masyarakat. Ada kesan bahwa nilai-nilai militeristik merupakan hal positif untuk diinternalisasi dalam kultur birokrasi di Indonesia melalui penerapan komcad. Padahal, jajaran birokrasi bertujuan untuk melayani kepentingan masyarakat sipil secara optimal. Keempat, sipil menilai bahwa TNI masih memiliki banyak permasalahan internal untuk ditangani. Akan tetapi, hal ini menjadi agak janggal ketika TNI yang di satu sisi belum mampu secara optimal menyelesaikan permasalahan itu, namun di sisi lain akan diberikan wewenang melatih, membina, dan mendidik komcad yang direkrut dari sipil. Tentunya hal ini menjadi kekhawatiran ketika komcad akan mengalami permasalahan serupa dengan yang dialami oleh TNI sebagai komput.

Penanganan terhadap permasalahan tersebut diatas menjadi keharusan bagi pemerintah untuk menindaklanjuti. Hal ini bukan sama sekali berarti menerima dan mengakomodasi semua masukan, saran, kritikan, serta rekomendasi berbagai kalangan ke dalam RUU. Tetapi, pemerintah, khususnya Kemhan, perlu memahami bahwa sematang apapun draf RUU Komcad yang disusun, bukan berarti draf tersebut lantas merupakan sesuatu yang final. Justru, pandangan masyarakat sipil, baik itu berupa saran ataupun kritikan, dapat dijadikan parameter kemungkinan resistensi masyarakat terhadap draf tersebut, dan hendaknya tidak dianggap sebagai “kerikil dalam sepatu.” Bila Kemhan benar-benar menginginkan RUU ini disahkan oleh DPR sudah seharusnya masukan masyarakat sipil tersebut dijadikan perhatian utama. Kewenangan pemerintah atas penyusunan RUU ini bukan berarti kontrol absolut. Kemhan perlu memahami bahwa RUU ini memiliki implikasi signifikan terhadap hubungan sipil-militer tidak hanya sekarang, tetapi juga di masa mendatang. Adalah kepentingan masyarakat sipil untuk mencegah kemungkinan negatif dari implikasi tersebut.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Draf RUU Komcad yang dirilis Kemhan bukanlah sesuatu yang final. Masih banyak hal dalam draf tersebut yang perlu ditambahkan dan dikurangi di tataran konseptual, teknis-operasional, maupun kemungkinan dampaknya terhadap hubungan sipil-militer. Di tataran konseptual, komcad sebagai sebuah keharusan legal mengindikasikan bahwa pembentukan komcad lebih pada pilihan, bukan kebutuhan. Di tataran teknis-operasional, konsep komcad masih belum menekankan aspek cost-effectiveness dan cost-efficiency dari segi pendanaan. Dari segi pengelolaan, perlu ada penyempurnaan dalam mekanisme perekrutan, status, latihan dan mobilisasi, serta pemeliharaan. Sementara, dalam kaitannya dengan hubungan sipil-militer, draf komcad saat ini belum memberikan gambaran akan prospek hubungan sipil-militer yang lebih harmonis, atau minimal tidak saling konfliktual. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan modifikasi dalam ketiga lini tersebut demi menyempurnakan RUU ini.


Secara garis besar, modifikasi yang perlu dilakukan, antara lain:
  1. Tataran konseptual. Pertama, pemerintah perlu menekankan paradigma bahwa komcad muncul sebagai sebuah kebutuhan pertahanan dan meyakini bahwa tidak ada alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut selain melalui pembentukan komcad. Kebutuhan respon untuk ancaman nirmiliter merupakan suatu awalan yang baik, namun hal ini dirasa belum cukup. Pemerintah harus pula mengidentifikasi lingkungan strategis sekarang hingga satu-dua dekade mendatang yang memunculkan kebutuhan untuk pembentukan sebuah komcad. Kedua, pemerintah harus memastikan bahwa konsep komcad sinkron, atau minimal tidak berseberangan, dengan reformasi sektor keamanan yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan HAM.
  2. Tataran teknis-operasional. Pertama, dari sisi pendanaan, pemerintah harus memastikan bahwa pembiayaan komcad tidak menjadi opportunity cost bagi pengembangan komput. Dalam hal ini, komcad mampu memberikan nilai tambah dari sisi peningkatan efektifitas dan efisiensi pertahanan tanpa mengkompromikan sumber daya yang dialokasikan untuk pengembangan komput. Kedua, komcad Indonesia harus didesain sesuai dengan tren Revolution in Military Affairs (RMA). Penekanan pada karakter militer dan perang kontemporer seharusnya dijadikan basis formatting komcad Indonesia dari sisi teknis-operasional. Pembentukan komcad bukan sekedar penambahan jumlah personil maupun alat utama sistem persenjataan (alutsista), namun lebih penting lagi ialah penyesuaian dengan tren strategis (strategic trend) global. Konkritnya, paling tidak pembentukan komcad harus selaras dengan program pembangunan kekuatan pokok minimum (MEF) pertahanan.   
  3. Hubungan sipil-militer. Dalam rangka mencegah implikasi negatif terhadap hubungan sipil-militer, komcad harus didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan keberlangsungan proses harmonisasi hubungan sipil-militer. Hal itu bisa dilakukan dengan (1) penentuan mobilisasi komcad hanya pada operasi militer perang; (2) penerapan mekanisme penolakan yang lebih inklusif dan humanis; dan (3) transparansi dalam aspek perekrutan dan pengelolaan.  



[1] Ditjen Pothan Dephan R.I buku naskah Sishanneg 
asnama� � p m �e> � C komponen cadangan. Dikhawatirkan pula pembentukan Komcad akan memperkuat kembali komando territorial, hal ini bertentangan dengan UU No. 34 tahun 2004 yang memandatkan restrukturisasi komando territorial.


Hal-hal yang dapat dilakukan aktor negara dalam memperbaiki RUU Komcad:
1.     Pengadopsian nilai-nilai HAM, dan kejelasan status concentious objection
2.     Penekanan bahwa penggunaan Komcad sebagai last resort
3.     Sebelum Undang-Undang ini disyahkan, sebaiknya pemerintah menyelesaikan reformulasi doktrin dan postur pertahanan, membuat UU keamanan nasional sebagai referensi operasional Komcad





No comments:

Post a Comment