Bentuk Ideal Komponen Cadangan Pertahanan
Negara
Oleh David Raja Marpaung
Pendahuluan
Pertahanan negara merupakan faktor yang sangat hakiki
dalam menjamin kelangsungan hidup suatu negara. Eksistensi sebuah bangsa sangat
bergantung kepada kemampuan bangsa tersebut, untuk dapat mempertahankan diri
dari setiap ancaman baik dari luar maupun dari dalam negara itu sendiri. Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang memiliki jiwa juang tinggi dan militansi rakyatnya
pun telah teruji. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang melibatkan
seluruh kekuatan bangsa dengan bertumpu pada semangat dan militansi rakyat yang
sukar dilawan dengan senjata apapun. Ikrar untuk membela, mempertahankan
kemerdekaan, dan menegakkan kedaulatan negara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi sebuah
pandangan hidup bersama bangsa Indonesia
Sebagai bagian dari
kerangka reformasi sektor keamanan, pengaturan dan penataan ulang kembali
institusi TNI sudah berjalan hampir 12 tahun. Reformasi TNI secara garis besar
telah menghasilkan beberapa produk-produk legislasi, yang diantaranya meliputi:
pemisahan Struktur dan Peran TNI- Polri (Tap MPR No VI dan VII tahun 2000),
pembentukan UU no 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 2/2002 tentang Polri
dan UU No 34/2004 tentang TNI. Meski demikian, problematika dalam menata sektor
keamanan nasional tetap saja menghimpit. Bukan hanya sekadar perdebatan
mengenai kegiatan teknis-operasional seperti pengaturan, pengelolaan dan
pelaksanaan semata tetapi juga menyangkut paradigma luas tentang konsepsi
keamanan nasional (national security).
Konsepsi keamanan nasional membawa implikasi logis terhadap pentingnya
pembentukan sebuah Komponen Cadangan Pertahanan Negara (Komcad). Pertahanan,
sebagai salah satu upaya untuk mencapai keamanan nasional, tentunya tidak bisa
luput dari wacana tersebut. Apalagi, amanat konstitusi UUD 1945 dan perundangan
yang berlaku menjadikan kekuatan pertahanan diluar TNI sebagai suatu keharusan
legal terutama ketika dipandang dari sisi doktrin Sistem Pertahanan Semesta. Di
sisi lain, pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi mendorong ancaman
muncul makin bervariatif, hingga ke aspek-aspek nirmiliter yang tidak bisa
dihadapi oleh kompetensi militer konvensional semata. Kompetensi teknis
nirmiliter menjadi makin dibutuhkan untuk melakukan fungsi-fungsi militer. Pemerintah
menilai dua alasan tersebut menjadi dasar yang cukup bagi perumusan sebuah
Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU Komcad).
Meski demikian, ada beberapa hal kontroversial dalam RUU tersebut yang
menjadi perdebatan bila dilihat dari tataran konseptual, teknis-operasional,
serta hubungan sipil-militer. Position
Paper ini akan mengulas dan mencoba menjembatani perdebatan tersebut. Paper
ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama membahas sisi konseptual bahwa
pembentukan komcad dinilai lebih termotivasikan oleh keharusan legal
pemerintah, bukan didasari pada pertimbangan strategis, seperti dinamika lingkungan
strategis masa mendatang serta sinkronisasinya dengan proses reformasi sektor
keamanan. Dengan kata lain, komcad terlihat lebih merupakan “pilihan” daripada
“kebutuhan” bagi pemerintah. Bagian kedua membahas sisi teknis-operasional yang
menitikberatkan persoalan pada aspek pendanaan dan pengelolaan Komcad yang
masih membutuhkan kejelasan dan penyempurnaan, terutama dari sisi efektifitas
dan efisiensi militer. Bagian ketiga menerangkan bahwa pembentukan komcad belum
memberikan jaminan akan hubungan sipil-militer yang harmonis. Bagian keempat
memberikan kesimpulan dan menawarkan rekomendasi bagi pemerintah untuk
memodifikasi draf RUU Komcad menjadi lebih baik dan dapat diterima oleh publik,
khususnya organisasi masyarakat sipil.
Konsep Komponen
Cadangan
Penggunaan
istilah cadangan sangat beragam, mencakup aspek komponen pertahanan negara yang
luas maupun sempit. Masing-masing negara di dunia ini menggunakan istilah dan
metode rekrutmen, pengorganisasian, tugas dan fungsi, cakupan materi
undang-undang, dan subyek tentang cadangan pertahanan negara sesuai dengan
karakteristik negaranya masing-masing. Pengertian cadangan dalam konteks
pertahanan dalam tata Bahasa Inggris adalah reserved. Military
Reserved yang diterjemahkan sebagai tentara cadangan merupakan tentara
reguler yang dipersiapkan sebagai kekuatan cadangan dari kekuatan utama. Fungsi
reserved sendiri adalah simpanan untuk kekuatan bagi setiap matra
angkatan bersenjata yaitu angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara,
namun statusnya tetap menjadi bagian dari komponen utama pertahanan.Dalam Dictionary
of British Military History (2nd edition) digunakan istilah reservist
dengan definisi: A member of the armed forcer who can be called upon for
active service in time of war. A reservist is often a person who has served in
the armed forces and it then on a reserve list for a specific number of years
Bagi
bangsa Indonesia (versi pemerintah), komponen cadangan sebagai kekuatan
pengganda dibentuk serta dibina guna memperbesar sekaligus memperkuat kekuatan
dan kemampuan komponen utama serta senantiasa siap untuk sewaktu-waktu
dikerahkan melalui mobilisasi apabila negara membutuhkan. Pola pembentukan,
pembinaan, dan penggunaan komponen cadangan merupakan model yang efektif dan
efisien dalam upaya meningkatkan jiwa militansi warga negara, kesiapan fisik,
serta pengetahuan, dan kemampuan pertahanan Negara. Secara Garis besar. Konsep
cadangan Negara ada dalam komponen pertahanan Negara yang dirancang pemerintah[1]:
Keinginan Kementerian Pertahanaan (Kemhan) untuk mensahkan secepatnya RUU
Komcad pada dasarnya dimotivasi oleh keharusan legal, yakni pasal 30 ayat 1 UUD
45 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan negara, maka menjadi anggota komcad adalah wajib bagi warga
negara yang telah memenuhi persyaratan termasuk pengerahan sumber daya nasional
lainnya untuk pertahanan negara. Amanat konstitusi tersebut lebih dikonkritkan
lagi oleh Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan negara yang
menerangkan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang
bersifat semesta.
Alasan keharusan legal hendaknya tidak menjadi satu-satunya dasar pertimbangan
pemerintah untuk membentuk komponen cadangan. Kejelasan di tataran konseptual
perlu disempurnakan pemerintah sebelum masuk ke tataran teknis-operasional.
Tidak hanya karena ini akan menentukan teknis-operasional komcad Indonesia,
melainkan lebih penting lagi, pertimbangan ini juga akan menentukan sejauh mana
penerimaan masyarakat sipil terhadap konsep negara tentang RUU tersebut.
Secara sederhana, ada dua tingkat penilaian untuk menentukan apakah
sebuah negara memerlukan sebuah komponen cadangan atau reserve – personil militer paruh waktu, hanya aktif dalam jangka
waktu tertentu, dan dapat dimobilisasi dalam keadaan darurat. Pertama, analisa
mendalam dan menyeluruh atas lingkungan strategis dan keamanan. Analisa ini
bukan hanya sekedar ulasan lingkungan strategis, tapi juga harus memunculkan
tantangan-tantangan spesifik yang akan dihadapi dalam jangka waktu 10-25 tahun
ke depan. Kedua, analisa atas lingkungan politik, ekonomi, sosial-budaya.
Analisa ini tidak hanya bicara mengenai kemampuan negara atau keputusan
politik, tapi juga “kesesuaian” (congruence)
antara kebijakan pertahanan dengan nilai-nilai demokratisasi dan budaya bangsa
serta kondisi sosial-demografi masyarakat.
Dengan kata lain, persoalan apakah Indonesia membutuhkan Komcad hendaknya
diukur berdasar jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Apa saja yang menjadi
ancaman negara, baik di kini dan masa mendatang (hingga 25 tahun minimal)?
- Bagaimana komponen
cadangan menjawab tantangan-tantangan tersebut?
- Apakah pembentukan
komponen cadangan dibentuk secara sukarela (volunteer) atau dengan “wajib militer” (compulsory draft)? Mengapa?
- Jika dibentuk dengan compulsory draft, apakah hal
tersebut sesuai dengan keadaan atau dinamika dalam masyarakat serta
hubungan sipil-militer yang demokratis?
- Apa dampak dari
dibentuknya komcad melalui wajib militer bagi usaha-usaha reformasi dan
transformasi pertahanan serta military
effectiveness?
- Apa dampak dari dibentuknya komcad bagi
hubungan sipil-militer dan proses demokratisasi?
- Apa dampak dari dibentuknya
komcad bagi stabilitas regional, khususnya di Asia Tenggara?
- Pembentukan Komcad
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apakah negara mampu menyediakannya,
mengingat dana untuk militer hingga kini masih minim. Dan apakah output
dan outcomes yang diberikan sesuai dengan anggaran yang dikeluarkan.
Pastinya, alasan pembentukan komcad menurut pertimbangan pemerintah
muncul sebagai sebuah kebutuhan, dan bukan pilihan, bagi Indonesia. Komcad
sebagai sebuah kebutuhan tentunya lebih dari sebatas keharusan legal.
Pertimbangan jenis dan karakter ancaman, dinamika lingkungan strategis,
kapasitas anggaran dan manajemen personil, semuanya harus masuk kalkulus
pemerintah. Kesalahan atau kegagalan dalam melakukan telaah tersebut akan berpotensi
menciptakan peluang penyalahgunaan wewenang komcad. Jangan sampai upaya
pemerintah untuk secepatnya mensahkan RUU Komcad akan mengompromikan aspek
konseptual yang justru menjadi elemen paling penting. Hal ini semakin diperumit
dengan persoalan legal bahwa RUU Komcad memiliki potensi berbenturan dengan UU
terkait lainnya karena UU yang menjadi landasan legal untuk RUU Komcad, seperti
UU TNI, direncanakan akan diamandemen pada periode 2010-11. Ketidakjelasan di
tataran konseptual akan memunculkan persoalan teknis-operasional. Meski sudah
berulang kali direvisi, draf RUU Komcad terbukti masih juga memuat persoalan
teknis-operasional yang perlu segera diklarifikasi pemerintah.
Persoalan teknis-operasional
Di tataran teknis-operasional, permasalahan terdapat di dua kategori,
yakni pendanaan dan pengelolaan Komcad. Pendanaan komcad menjadi pertanyaan
publik ketika kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan TNI sebagai komponen utama
(komput) hingga saat ini masih belum memadai. Argumen Kemhan bahwa komcad tidak
akan menyerap anggaran besar tidak berhasil meyakinkan publik dalam hal
efisiensi alokasi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) untuk pertahanan.
Lagipula, pembentukan komcad tidak menjamin peningkatan efektifitas pertahanan atau
cost-effectiveness.
Persoalan bertambah ketika komcad terkesan bias angkatan darat. Hal ini
tampak jelas ketika dokumen Postur Pertahanan Negara menyebutkan bahwa akan
dibentuk Batalyon Cadangan di tiap Kodim. Pelaksanaan dilakukan secara bertahap
dari pembentukan I Kompi Cadangan di tiap Kodim pada Tahap I, lalu 2 Kompi pada
Tahap II, dan 1 Batalyon pada Tahap III. Ada kesan bahwa yang dimaksud
memperbesar dan memperkuat TNI sebagai komponen utama melalui pembentukan
Komcad merupakan penambahan kuantitas personil semata. Akibatnya, muncul
tendensi Komcad dijadikan “proyek padat karya.” Tentunya, hal semacam ini hanya
akan menambah beban anggaran pertahanan Indonesia.
Permasalahan teknis-operasional RUU di tataran pengelolaan Komcad
terlihat dalam beberapa aspek, antara lain: mekanisme perekrutan, status,
latihan dan mobilisasi, serta pemeliharaan komcad.
Mekanisme Perekrutan. Permasalahan terletak pada
dikotomi wajib atau sukarela. Menurut
Pasal.... RUU Komcad, wajib komcad hanya berlaku bagi PNS, buruh, mantan
anggota TNI/Polri, dan tenaga ahli. Sementara, bagi komcad sukarela berlaku di
luar kelompok tersebut. Permasalahan muncul terkait status “sukarela” tersebut
karena tidak diatur dalam RUU. Alternatif solusi yang ditawarkan adalah
menjadikan komcad sebagai pilihan sukarela bagi kelompok di luar kategori yang
telah disebutkan, namun menjadi wajib ketika mereka sudah ditetapkan menjadi
komcad.
Status. Permasalahan status bergulir
seputar kombatan/non-kombatan. Ada kesan bahwa pemerintah terlalu bersemangat
untuk memberi status kombatan pada personil komcad. Padahal, pemberian status
kombatan akan menghilangkan prinsip impunitas personil komcad yang bahkan
mungkin tidak memiliki peran bantuan tempur sekalipun.
Latihan dan Mobilisasi. Persoalan terletak pada
mekanisme latihan bagi personil komponen cadangan. Pasal 9 ayat 1 RUU Komcad menyebutkan
bahwa syarat personil komcad ialah telah mengikuti latihan dasar kemiliteran.
Latihan ini tentunya tidak cukup untuk menjadikan personil komcad memiliki
status kombatan dan dapat masuk ke tiga matra angkatan. Perlu ada latihan
menengah atau canggih kemiliteran yang dapat meningkatkan kompetensi teknis
personil komcad hingga minimal setaraf personil TNI reguler. Kedua, waktu
mobilisasi komcad belum diatur melalui mekanisme perundangan, seperti misalnya,
UU mobilisasi dan demobilisasi. Ketiga, persamaan status dan kesejahteraan
personil Komcad dengan anggota TNI sebagai komponen utama akan merendahkan
moril komponen utama mengingat mekanisme perekrutan personil komcad. Keempat, RUU
masih belum menjelaskan tentang kedudukan komcad dalam pertahanan negara,
melainkan hanya menyebutkan matra darat, laut, dan udara. Padahal, perlu ada
definisi yang lebih spesifik terkait hal ini, misalnya komcad memiliki fungsi
tempur, bantuan tempur, atau di luar keduanya. Aspek teknis semacam ini perlu
diperjelas dalam RUU. Kelima, belum ada identifikasi jelas mengenai batasan usia
dan kompetensi membuat personil Komcad hanya diarahkan untuk siap tempur secara
fisik tanpa memperhitungkan faktor intelektualitas dan ranah fungsi
penggunaannya. Pembentukan komcad tanpa disertai keahlian atau kompetensi yang
memadai akan justru menambah beban logistik komponen utama tanpa menghasilkan
dampak positif yang signifikan bagi kredibilitas pertahanan negara. Dengan
demikian, muncul kesan bahwa wacana komcad hanya sekedar menampung semangat
juang atau menanamkan nilai-nilai patriotik dan nasionalisme pada masyarakat
dan bukan untuk membangun kapasitas pertahanan yang kredibel.
Keenam, masih belum ada rumusan komprehensif mengenai komcad dari unsur
non-manusia. Padahal, potensi komcad non-manusia lebih besar untuk
direalisasikan guna meningkatkan kapabilitas pertahanan Indonesia daripada
komcad manusia. Terakhir, namun tidak kalah penting, ialah mekanisme mobilisasi
komcad dalam operasi militer. Permasalahan muncul ketika komcad dimobilisasi
untuk operasi militer selain perang (OMSP). Banyak kalangan menilai kebijakan
semacam ini akan cenderung menciptakan konflik horizontal dalam masyarakat oleh
karena komcad yang dapat berstatus militer dan sipil sekaligus. Meski demikian,
banyak pula yang mempermasalahkan perihal komcad yang digunakan dalam operasi militer
perang (OMP) mengingat kompetensi komcad yang serba terbatas dari sisi teknis
kompetensi tempur. Solusi alternatif yang muncul adalah mendudukkan komcad
dalam operasi bantuan tempur, misalnya di bagian logistik, komunikasi,
transportasi, dan sebagainya.
Pemeliharaan. Permasalahan juga muncul ketika
suatu obyek, baik manusia ataupun non-manusia, yang telah ditetapkan sebagai
komcad harus dipelihara dalam jangka waktu tertentu untuk mempertahankan
kapasitasnya sebagai komcad. Khusus komcad manusia, hal ini cenderung relatif
lebih mudah untuk dilakukan. Pasal 26 RUU Komcad mensyaratkan latihan maksimal
selama tiga puluh hari tiap tahun dalam bentuk dinas aktif sebagai penugasan.
Akan tetapi, akan lebih sulit menerapkan hal yang sama untuk komcad non-manusia.
Pemeliharaan komcad non-manusia tentunya tidak hanya membutuhkan pendanaan
ekstra, melainkan pula supervisi langsung di masa non-mobilisasi oleh
pemerintah guna memastikan unsur kelaikannya sebagai komcad. Hal
teknis-operasional seperti ini masih belum diatur dalam draf RUU yang ada
sekarang. Terlebih lagi, untuk komcad manusia yang mendapatkan latihan lebih
singkat, namun mendapatkan status dan gaji yang sama dengan komput, akan
cenderung menurunkan moralitas komput, bahkan tidak mustahil penurunan
moralitas itu akan berujung pada kecemburuan yang memicu konflik intra-TNI.
Oleh sebab itu, perlu ada pembahasan lebih lanjut, terutama secara
teknis-operasional, dari draf RUU Komcad yang sekarang diajukan ke DPR.
Antusiasme pemerintah (yang terkesan berlebihan) untuk mensahkan RUU ini
seharusnya tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau modifikasi terkait
aspek teknis-operasional itu. Persiapan RUU Komcad yang matang dari sisi
teknis-operasional tentunya akan memudahkan upaya implementasi yang justru
lebih penting. Kegagalan dalam implementasi sebagai akibat dari kurangnya
ketelitian dan ketekunan dalam mengkaji RUU itu hendaknya diantisipasi sejak
dini. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah mempersiapkan RUU itu sematang
mungkin dari sisi teknis-operasional, hal ini bukan berarti RUU itu sudah
sempurna. Desakan, tekanan, serta kritikan dari masyarakat sipil dengan
berbagai alasan kekhawatiran mereka atas RUU ini memiliki potensi besar untuk
mengembalikan RUU ini ke Kemhan untuk dikaji ulang. Dengan kata lain,
masyarakat sipil memiliki kekuatan untuk mengagalkan RUU ini dalam lobi-lobi di
DPR. Mereka tidak hanya melihat sisi kesempurnaan aspek teknis-operasional,
tetapi juga analisa dampak RUU ini terhadap prospek hubungan sipil-militer.
Komcad dan Hubungan
Sipil-Militer
Tidak dapat dipungkiri, sebagian kalangan masyarakat, khususnya
organisasi masyarakat sipil (CSO), cenderung menilai komcad dengan skeptis.
Terdapat kekhawatiran bahwa komcad berpotensi menjadi pintu bagi TNI untuk
masuk ke dalam ranah sipil. Dengan kata lain, komcad dianggap sebagai upaya
militerisasi sipil. Tidak hanya itu, komcad dipandang berpotensi menjadi “kuda
troya” militer untuk memfaksionalisasi masyarakat sipil antara mereka yang
sepandangan dengan TNI dan mereka yang tidak; antara mereka yang pro-penguatan
negara dan mereka yang menuntut sebaliknya. Fenomena ini dapat berujung pada
konflik horizontal dalam masyarakat antara kelompok sipil-komcad dan kelompok
sipil lainnya. Bila disederhanakan, sebagian kalangan menilai komcad justru
akan cenderung memperburuk hubungan sipil-militer yang selama 12 tahun terakhir
berusaha untuk diperbaiki, terlepas dari manfaat komcad itu sendiri bagi sistem
pertahanan Indonesia.
Yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa penggunaan komponen cadangan harus melalui keputusan politik dan dalam
keadaan darurat militer atau perang. Jadi, tidak bisa digunakan untuk
kepentingan yang tidak ditetapkan dalam keputusan politik. Dan komponen
cadangan tidak berarti menjadi tentara reguler, bukan merupakan wajib militer,
serta bukan sebagai alat militer. Komponen cadangan adalah masyarakat sipil
tapi memerlukan latihan kemiliteran agar siap digunakan, dan setelah itu tetap
sipil
Pertama, CSO menilai bahwa komcad selain dinilai tidak memiliki akar dalam
UUD 45, juga secara moralitas ditolak karena bertentangan dengan alasan-alasan
humaniter. Penolakan Mahatma Gandhi terhadap penerapan komcad (sebuah eufimisme
dari wajib militer) di India pada dekade 1920-an menjadi salah satu contohnya. Kedua,
berkaitan dengan yang pertama, RUU Komcad tidak menerapkan mekanisme penolakan
selain alasan kesehatan, akademis, dan religius. Penolakan atas dasar
pertimbangan nurani atau consciencetous
objection, atau bahkan, keyakinan politik, seharusnya juga memperoleh tempat
dalam mekanisme penolakan tersebut. Apalagi, terdapat pasal yang mewajibkan
komcad bagi golongan masyarakat tertentu. Ketiga, keberadaan pasal yang
mewajibkan PNS untuk bergabung dalam komcad memberi indikasi kuat ke arah
militerisasi birokrasi dan masyarakat. Ada kesan bahwa nilai-nilai militeristik
merupakan hal positif untuk diinternalisasi dalam kultur birokrasi di Indonesia
melalui penerapan komcad. Padahal, jajaran birokrasi bertujuan untuk melayani
kepentingan masyarakat sipil secara optimal. Keempat, sipil menilai bahwa TNI
masih memiliki banyak permasalahan internal untuk ditangani. Akan tetapi, hal
ini menjadi agak janggal ketika TNI yang di satu sisi belum mampu secara
optimal menyelesaikan permasalahan itu, namun di sisi lain akan diberikan
wewenang melatih, membina, dan mendidik komcad yang direkrut dari sipil.
Tentunya hal ini menjadi kekhawatiran ketika komcad akan mengalami permasalahan
serupa dengan yang dialami oleh TNI sebagai komput.
Penanganan terhadap permasalahan tersebut diatas menjadi keharusan bagi
pemerintah untuk menindaklanjuti. Hal ini bukan sama sekali berarti menerima
dan mengakomodasi semua masukan, saran, kritikan, serta rekomendasi berbagai
kalangan ke dalam RUU. Tetapi, pemerintah, khususnya Kemhan, perlu memahami bahwa
sematang apapun draf RUU Komcad yang disusun, bukan berarti draf tersebut
lantas merupakan sesuatu yang final. Justru, pandangan masyarakat sipil, baik
itu berupa saran ataupun kritikan, dapat dijadikan parameter kemungkinan resistensi
masyarakat terhadap draf tersebut, dan hendaknya tidak dianggap sebagai
“kerikil dalam sepatu.” Bila Kemhan benar-benar menginginkan RUU ini disahkan
oleh DPR sudah seharusnya masukan masyarakat sipil tersebut dijadikan perhatian
utama. Kewenangan pemerintah atas penyusunan RUU ini bukan berarti kontrol
absolut. Kemhan perlu memahami bahwa RUU ini memiliki implikasi signifikan
terhadap hubungan sipil-militer tidak hanya sekarang, tetapi juga di masa
mendatang. Adalah kepentingan masyarakat sipil untuk mencegah kemungkinan
negatif dari implikasi tersebut.
Kesimpulan dan
Rekomendasi
Draf RUU Komcad yang dirilis Kemhan bukanlah sesuatu yang final. Masih
banyak hal dalam draf tersebut yang perlu ditambahkan dan dikurangi di tataran
konseptual, teknis-operasional, maupun kemungkinan dampaknya terhadap hubungan
sipil-militer. Di tataran konseptual, komcad sebagai sebuah keharusan legal
mengindikasikan bahwa pembentukan komcad lebih pada pilihan, bukan kebutuhan.
Di tataran teknis-operasional, konsep komcad masih belum menekankan aspek cost-effectiveness
dan cost-efficiency dari segi pendanaan. Dari segi pengelolaan, perlu ada penyempurnaan
dalam mekanisme perekrutan, status, latihan dan mobilisasi, serta pemeliharaan.
Sementara, dalam kaitannya dengan hubungan sipil-militer, draf komcad saat ini belum
memberikan gambaran akan prospek hubungan sipil-militer yang lebih harmonis,
atau minimal tidak saling konfliktual. Oleh karena itu, pemerintah perlu
melakukan modifikasi dalam ketiga lini tersebut demi menyempurnakan RUU ini.
Secara garis besar, modifikasi yang perlu dilakukan, antara lain:
- Tataran
konseptual. Pertama, pemerintah perlu menekankan paradigma bahwa komcad muncul
sebagai sebuah kebutuhan pertahanan dan meyakini bahwa tidak ada
alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut selain melalui
pembentukan komcad. Kebutuhan respon untuk ancaman nirmiliter merupakan
suatu awalan yang baik, namun hal ini dirasa belum cukup. Pemerintah harus
pula mengidentifikasi lingkungan strategis sekarang hingga satu-dua dekade
mendatang yang memunculkan kebutuhan untuk pembentukan sebuah komcad.
Kedua, pemerintah harus memastikan bahwa konsep komcad sinkron, atau
minimal tidak berseberangan, dengan reformasi sektor keamanan yang
mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan HAM.
- Tataran
teknis-operasional. Pertama, dari sisi pendanaan, pemerintah
harus memastikan bahwa pembiayaan komcad tidak menjadi opportunity cost bagi pengembangan komput.
Dalam hal ini, komcad mampu memberikan nilai tambah dari sisi peningkatan
efektifitas dan efisiensi pertahanan tanpa mengkompromikan sumber daya
yang dialokasikan untuk pengembangan komput. Kedua, komcad Indonesia harus
didesain sesuai dengan tren Revolution
in Military Affairs (RMA). Penekanan pada karakter militer dan perang
kontemporer seharusnya dijadikan basis formatting
komcad Indonesia dari sisi teknis-operasional. Pembentukan komcad bukan
sekedar penambahan jumlah personil maupun alat utama sistem persenjataan
(alutsista), namun lebih penting lagi ialah penyesuaian dengan tren
strategis (strategic trend)
global. Konkritnya, paling tidak pembentukan komcad harus selaras dengan
program pembangunan kekuatan pokok minimum (MEF) pertahanan.
- Hubungan
sipil-militer. Dalam rangka mencegah implikasi negatif terhadap hubungan
sipil-militer, komcad harus didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan
keberlangsungan proses harmonisasi hubungan sipil-militer. Hal itu bisa
dilakukan dengan (1) penentuan mobilisasi komcad hanya pada operasi
militer perang; (2) penerapan mekanisme penolakan yang lebih inklusif dan
humanis; dan (3) transparansi dalam aspek perekrutan dan pengelolaan.
Hal-hal yang
dapat dilakukan aktor negara dalam memperbaiki RUU Komcad:
1.
Pengadopsian nilai-nilai
HAM, dan kejelasan status
concentious objection
2.
Penekanan bahwa
penggunaan Komcad sebagai last resort
3. Sebelum Undang-Undang ini disyahkan, sebaiknya pemerintah menyelesaikan
reformulasi doktrin dan postur pertahanan, membuat UU keamanan nasional sebagai
referensi operasional Komcad
No comments:
Post a Comment