Refleksi Kritis Terhadap
Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara
Oleh David Raja Marpaung
Pendahuluan
Kerahasiaan dan keterbukaan terhadap informasi menjadikan keduanya dalam
posisi yang diametral. Adanya tarik menarik kepentingan antara kebebasan sipil
dan rahasia negara memerlukan kajian yang panjang dan komprehensif untuk
memadukannya. Dalam praktek kenegaraan tarik-menarik tersebut telah banyak
terjadi. Sebut saja Amerika Serikat (AS), yang memiliki Government Secrecy Act
1997 yang kemudian disempurnakan menjadi Government Secrecy Reform Act 1999.
Undang-undang tersebut lahir sebagai amanat dari Title IX Foreign Relations Authorization Act. Amanat yang ditujukan
kepada Kongres AS tersebut bertujuan membentuk suatu komisi proteksi dan
pengurangan rahasia negara. Komisi tersebut membuat suatu proposal yang
komprihensif yang bertujuan untuk mengurangi jumlah informasi yang dirahasiakan
dan disisi lain memperkuat pengamanan terhadap informasi yang telah ditetapkan
sebagai rahasia. Usaha untuk melindungi rahasia negara ini tetap dibuat dan merasa
diperlukan walaupun jauh sebelum Government Secrecy Act 1997, masalah
kerahasiaan yang berkaitan dengan kerahasiaan negara/pemerintah telah tertuang
dalam The Freedom of Information Act 1966. Lalu Bagaimanakah dengan Indonesia?
Pembukaan UUD 1945 dengan tegas dinyatakan bahwa pemerintahan negara
Indonesia bertujuan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Kewajiban negara dalam
melindungi bangsa Indonesia tentunya merupakan tugas utama dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang menghendaki adanya sistem keamanan nasional
yang tangguh. Kerahasiaan negara merupakan bagian dari sistem keamanan yang
memiliki peran penting untuk menjaga informasi strategis/taktis yang dimiliki
oleh suatu negara/pemerintahan. Praktek-praktek kerahasiaan negara secara
langsung dan tidak langsung tentunya berkaitan dengan hak dan kebebasan
individu yang juga harus dilindungi. Oleh sebab itu rahasia negara harus
diatur dengan undang-undang.
Reformasi 1998 telah
mempengaruhi Indonesia khususnya dalam proses penyelenggaraan negara. Semangat
dasar reformasi adalah mengakhiri rezim kerahasiaan dengan mendorong kultur
keterbukaan sebagai basis partisipasi dan kontrol rakyat terhadap negara.
Dengan itu, terbangun relasi egaliter antara negara dan rakyat sebagai fundamen
dasar berdemokrasi
Relasi yang kemudian muncul memiliki sifat
yang lebih cair dan terbuka. Negara dengan masyarakat direlasikan dalam medium
terbuka dimana partisipasi masyarakat dituntut serta dikedepankan dalam
keikutsertaan mengelola transisi demokrasi. Di lain pihak, negara dituntut
untuk membuka diri terhadap ruang partisipasi masyakarat dalam setiap dimensi
kehidupan bernegara. Lewat konteks tersebut, transisi demokrasi di Indonesia
memberikan wujud dan karakter baru dalam relasi negara dengan masyarakat dimana
partisipasi masyarakat dan keterbukaan negara menjadi landasan utama. Wujudnya
melalui ruang-ruang akan kebebasan (Freedom from Fear, Freedom of Religion,
Freedom of Speech and Expression and Freedom of the Press), pembangunan,
dan pemerataan ekonomi yang diberikan seluas-luasnya oleh negara. Hal ini
dikuti dengan kaidah-kaidah demokrasi yang melekat pada negara, seperti
akuntabilitas, tata kelola yang baik (good governence), dan transparansi.
Prinsip-prinsip inilah yang menjadi aturan main di kala Indonesia dalam euforia
demokrasi.
Keterbukaan dalam informasi mempunyai arti yang sangat
penting bagi demokrasi. Kebutuhan warga negara untuk mengatahui dan memahami
persoalan-persoalan publik sangat penting bagi berjalannya demokrasi. Adanya
informasi yang akurat melindungi masyarakat dari analisis yang keliru. Warga
negara sangat membutuhkan informasi yang cukup untuk dapat mengungkapkan suara
dan kepentingannya dan mengontrol pejabat-pejabat publik. Di sisi lain
pemerintah juga mengakui bahwa keterbukaan informasi merupakan sesuatu yang
sangat penting untuk mengatasi KKN, penegakkan hukum dan demokratisasi. Jaminan
akan keterbukaan atas informasi kepada publik adalah adanya kebebasan untuk
memeperoleh informasi. Kebebasan memperoleh informasi tersebut telah dijamin
sebagai hak konstitusional dalam pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sejalan dengan itu, Article 19 Universal Declaration of
Human Rights dan Article 19 Sec 2 International Covenant on Civil and Political
Rights juga memberikan jaminan yang sama terhadap kebebasan untuk memperoleh
informasi.
Uraian tentang akses
atas informasi yang diikuti dengan pentingnya menjaga rahasia kepentingan
pemerintah ini menjadi pintu masuk dalam
pembahasan kerahasiaan negara yang dilakukan oleh negara melalui suatu regulasi
politik atau Undang-Undang. Ini dapat dilihat, yakni ketika kebutuhan
masyarakat akan informasi merupakan hak dasar masyarakat, maka negara wajib memenuhi
kebutuhan tersebut. Namun, tidak semua bentuk dan jenis informasi dapat diakses
atau diketahui, terdapat informasi-informasi yang memiliki nilai strategis
tertentu yang diperhadapkan dengan dimensi-dimensi, seperti intelejen,
kemampuan militer (kondisi perang), persandian negara, dll. Pembatasan terhadap
informasi ini menjadi penting untuk ditempatkan dalam konsepsi keamanan
nasional dimana negara mempunyai kewajiban dalam menjaga keutuhan bangsa,
terlebih dari ancaman. Perahasian ini digunakan untuk pengendalian resiko
terhadap gangguan yang akan dan sedang dihadapi oleh negara.
Refleksi Kritis
Dalam sebuah negara demokrasi, rahasia negara adalah
informasi publik yang untuk sementara waktu dirahasiakan kepada publik. Rahasia
negara adalah batasan atau pengecualian dari hak atas informasi sebagai hak
asasi manusia. Maka prinsip yang tidak boleh dikalahkan dalam negara demokrasi
adalah bahwa semua informasi publik, termasuk informasi yang dimiliki negara,
adalah milik publik. Sebagai suatu pengecualian, pengaturan rahasia negara
sifatnya harus terbatas, limitatif dan berlaku pada jangka waktu tertentu saja
Upaya pelembagaan
prinsip-prinsip kerahasiaan informsi atau kerahasiaan negara berangkat dari
asumsi bahwa keterbukaan informasi berlebihan akan menimbulkan sejumlah dampak
merugikan bagi kepentingan nasional. Publikasi dokumen negara tertentu dapat
mengancam keselamatan negara, mengganggu upaya negara untuk mempertahankan
keamanan nasional. Pemerintah kemudian menerapkan system klasifikasi informasi:
sistem penyembuanyian atau penyimpanan informasi kerahasiaan berdasarkan
pertimbangan kerahasiaan tertentu. Sejumlah rambu-rambu diciptakan untuk
menentukan informasi-informasi yang tidak dapat diakses publik, berikut
sanksi-sanksi hukum bagi pelanggarnya.
Di sisi lain klasifikasi kerahasiaan informasi memang
suatu kebutuhan bagi setiap negara dan setiap pemerintahan. Persoalannya
pengalaman di banyak negara menunjukkan pemberlakuan system klasifikasi
informasi lebih banyak dipengaruhi oleh subyektivitas para penyelenggara
pemerintahan. Status rahasia negara seringkali dimaksudkan untuk melindungi
reputasi pemerintah, kepentingan birokrasi, dan tidak benar-benar untuk
melindungi kepentingan negara. Kredibilitas dan reputasi pemerintah dianggap lebih
penting daripada hak masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang kinerja
pemerintah. Steven Aftergood(1996) membedakan antara rahasia negara yang murni
(genuine national secrecy) di satu sisi, dan rahasia negara yang
bersifat politis (political secrecy) serta rahasia birokrasi (bureaucratic
secrecy). Pembedaan ini sangat relevan karena tidak semua klaim rahasia
negara merujuk pada informasi-informasi yang benar-benar dapat membahayakan
kepentingan dan kemanan nasional. Dengan kata lain dalam prakteknya political
secrecy dan bureaucratic secrecy jauh lebih dominan daripada
national genuine secrecy.
Jika menelusuri perjalanan rancangan undang-undang
Rahasia Negara mulai dari perencanaan awal yang dilakukan pada era Orde Baru
yang dilanjutkan setelah reformasi (2006), hingga rancangan terakhir pada tahun
2010 menunjukan beberapa pergeseran baik dari kuantitas jumlah (pasal, ayat,
dan butir), maupun dari segi substansi. Namun, yang menjadi menarik ketika
kembali direformulasikan RUU Rahasia Negara di tahun 2010 guna kebutuhan
program legislasi nasional 2010-2014. Meskipun terjadi pergeseran, namun
terdapat beberapa pokok bahasan yang menjadi kerawanan terhadap munculnya suatu
rejim ketertutupan. Untuk itu, pada uraian selanjutnya akan dipaparkan beberapa
poin penting yang menjadi refleksi kritis
Pertama, masalah bingkai dalam upaya pengkategorian atau ruang
lingkup yang ingin dirahasiakan. Ketika menempatkan rahasia negara dalam kutub
keamanan nasional perlu diperkuat beberapa ruang lingkup yang terkait dengan
instrumen tersebut. Rancangan yang ada hanya menggeser beberapa poin
pengecualian yang terdapat pada UU No.14 Tahun 2008. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa tidak ada pijakan utama atau bingkai besar yang mendasari pengkategorian
rahasia negara, terlebih ketika mengkaiatkan elemen rahasia negara dalam ruang
irisan dengan keamanan nasional.
Kedua, perihal selanjutnya yang menjadi penting untuk
dipermasalahakan dalam draf Rahasia Negara, yakni terkait dengan pengkategorian
atau cakupan yang dirahasiakan. Dalam hal detail objek yang dirahasikan,
rancangan ini telah memberikan uraian tentang apa saja yang menjadi rahasia.
Misalanya dalam kategori pertahanan negara dimana hal-hal, seperti rencana
kekuatan gelar pasukan dalam kondisi perang atau dalam operasi atau pengumpulan
data intelejen dalam lingkup intelejen negara. Hal ini dapat dimaklumi sebagai
suatu objek rahasia. Namun, terdapat beberapa rincian yang memberikan
intrepetasi bahkan ketidakperluan suatu objek menjadi rahasia. Misalnya, pada
lingkup pertahanan negara, rincian terhadap rencana alokasi dan pembelanjaan
yang berkaitan dengan misi dan tugas pertahanan. Ini menjadi aneh dan
menimbulkan peluang atau celah untuk penyelewengan ketika objek tersebut
dirahasikan, terutama terkait dengan perencanaan anggaran.
Dua hal tersebut yang
kemudian menjadi permasalahan tersendiri dimana ketidakjelasan bingkai
kerahasian negara yang diikuti dengan beberapa rincian tentang objek yang
dirahasiakan dengan multii-interpretasi menciptakan peningkatan kerawanan serta
kecurigaan terhadap pelaksanaan RUU ini nantinya.
Refleksi ketiga,
yakni mekanisme (cara) untuk menentukan kerahasian dimana pada rancangan ini
telah dimasukan bahasan tersendiri terkait dengan klasifikasi dan deklasifikasi
suatu rahasia negara. Namun, secara eksplisit bahasan tersebut hanyalah suatu
proses administrasi kenegaraan dimana lembaga yang ditunjuk sebagai
pelaksana/penentu rahasia negara memberikan suatu pertimbangan tertulis
terhadap akibat yang ditimbulkan ketika objek tersebut tidak dirahasiakan dan
pertimbangan tersebut disampaikan pada presiden. Paparan tersebut hanya
memberikan suatu pemahaman administrasi kenegaraan, bukan suatu mekanisme jelas
dan spesifik. Terkait dengan klasifikasi dan deklasifikasi tersebut, pada
rancangan ini tidak ditemukan relasional antara jenis rahasia negara (sangat
rahasia, rahasia, rahasia terbatas) dengan dampak yang ditimbulkan jika terjadi
penyalahgunaan rahasia negara. Ini menjadi penting dalam upaya
pengklasifikasian dan pendeklasifikasian suatu rahasia negara.
Keempat, yakni terkait dengan masa retensi yang terpapar dalam
rancangan tersebut dimana ada tiga tingkatan, yakni sangat rahasia 30 tahun,
rahasia 15 tahun, dan rahasia terbatas 5 tahun. Masa retensi menjadi penting,
namun tidak selalu suatu informasi, benda, dan kegiatan yang memiliki implikasi
terhadap keutuhan bangsa dan negara (sangat rahasia) diberikan waktu 30 tahun.
Terdapat beberapa informasi, benda, dan kegiatan yang memiliki kandungan
kerawanan yang tinggi namun dapat diselesaikan kerawanan dalam kurun waktu
kurang dari 30 tahun. Sebab dalam bahasan deklasifikasi tidak diuraiakan
paparan terkait dengan penghentian suatu rahasia negara ketika ancaman dan
kerawanan telah diselesaikan dalam kurun waktu kurang dari masa retensi.
Uraian klasifikasi,
deklasifikasi, dan masa retensi menjadi penting untuk direfleksikan karena
ketiga menjadi suatu simpul dalam penetapan dan pengakhiran suatu objek yang
telah dan akan menjadi rahasia negara.
Kelima, yaitu permasalahan terkait dengan aktor penyelengaara,
penentu, pengelola dan pelindung rahasia negara. Dalam rancangan yang
digulirkan sekarang, tidak terdapat secara jelas siapa yang akan melakukan
upaya-upaya tersebut. Yang disajikan hanyalah presiden sebagai pemegang
kewenangan tertinggi yang dapat melimpahkan kewenangan tersebut pada lembaga
negara, baik itu lembaga kementerian maupun lembaga non-kementerian. Tidak
diatur secara jelas dan terperinci siapa yang berhak dan bertanggung jawab
dalam menanganan perahasian objek rahasia. Ini memunuculkan kerawanan demokrasi
dimana presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam tata kelola negara
(pemerintahan) memberikan cek kosong pada lembaga negara tersebut untuk
melakukan pelaksnanaan perahasian negara tanpa didasari suatu uraian pasal atau
ayat dalam rancangan tersebut.
Keenam terkait pengaturan terhadap siapa saja pejabat negara
yang karena jabatan dan kepentingannya dapat menggunakan rahasia negara. Dalam
rancangan ini belum dijelaskan secara rinci terkait dengan uraian tersebut.
Yang kemudian muncul dalam RUU Rahasia Negara ini, yakni setiap pejabat negara
ketika akan mengakses dan memiliki informasi, benda, dan kegiatan yang
dirahasikan memerlukan “hak untuk mengetahui” berdasarkan tingkat atau jenis
rahasia negara. Terlebih yang sangat merisaukan terkait dengan standar prosedur
dalam proses kepemilikan atau akses terhadap objek rahasia dimana tidak
dijelaskan apa yang menjadi standar prosedur yang rinci ataukah hanya
kepemilikan “hak untuk mengetahui” yang menjadi dasar proses tersebut.
Ketujuh, refleksi kritis tertuju pada tidak adanya bahasan pada
RUU Rahasia Negara yang menyangkut tentang akses masyarakat terhadap objek yang
dirahasiakan. Yang kemudian muncul pada teks RUU ini adalah hanya pejabat
negara yang dapat mengakses dan memiliki objek rahasia tersebut. Ini menunjukan
bahwa RUU ini sangat eksklusif bagi apartus negara (stata apparatus).
Masyarakat biasa tidak ditempatkan dalam upaya pengendalian resiko lewat
rahasia negara. Yang ada hanyalah masyarakat biasa dapat memiliki dan mengakses
ketika kondisi tidak sengaja dan dilakukan dengan melawan hukum. Hal ini sangat
ironis, dimana lewat rancangan ini masih sangat kuat upaya-upaya membentukan
kembali rejim ketertutupan jika meliha belum diberikannya peran seran
masyarakat untuk dapat memperoleh apa yang disebut rahasia.
Kedelapan, yakni perihal anggaran yang dibutuhkan dalam upaya
perahasian suatu objek yang dirahasian. Dalam rancangan ini belum memberikan
suatu usulan yang terkait dengan bagaimana dana atau alokasi anggaran dalam
pengelolaan suatu mekanisme perahasian, yang ada hanyalah dana-dana yang
dialokasikan pada aparat negara yang bekerja dalam penyelenggaraan, penetapan,
pengelolaan, dan perlindungan rahasia negara. Hal ini menjadi penting ketika
melihat tingkata masa retensi yang memerlukan biaya dalam sistem penanganan
rahasia negara. Tak hanya itu, penggunaan teknologi dalam pengelolaan rahasia
negara dapat dipastikan memerlukan biaya besar. Untuk itu, sangat mengherankan
ketika anggaran atau alokasi dana perahasian tidak dicantumkan, karena akan
menimbulkan kecurigaan yang tinggi tentang asal biaya yang dikeluarkan ketika
rancangan ini dilaksanakan dalam level operasional.
Kesembilan, yakni terkait dengan belum adanya bahasan tentang
pengecualian terhadap objek kerahasian ketika diperhadapkan dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Ini menjadi penting karena rahasia negara
ditempatkan tidak hanya pada kutub (kepentingan keamanan nasional), melainkan
konteks demokrasi menjadi penting untuk dikedepankan dalam rancangan tersebut.
Terlebih, ketika terkait dengan upaya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan, suatu objek rahasia negara tidak dapat ditempatkan
sebagai alat bukti dalam persidangan umum. Ini menjadikan kelemahan tersendiri,
bagaimana ketika dalam pelaksanaan rahasia negara terbentur atau terkait dengan
kasus-kasus hukum pidana.
Kesepuluh, terkait dengan dimensi pengawasan yang diatur dalam
rancangan ini telah dipaparkan tentang pengawasan dua arah, yakni eksekutif
(lewat presiden), dan legislatif (lewat sub komisi atau komisi khusus). Bahasan
ini tidak menjadikan cukup dalam suatu dimensi pengawasan yang ideal. Terlebih
dalam prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan perihal checks and
balances yang menuntut untuk pengawasan yang berlapis dan bertingkat mulai
dari tiga pilar negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif), hingga pada
upaya-upaya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil atau aktor yang
memiliki sifat independen.
Kesepuluh paparan yang
terkait dengan peramasalahan yang terkandung dalam sisi substansi tersebut
mengindikasikan bahwa RUU Rahasia Negara masih berada dalam level perdebatan
substansi yang terkai dengan prinsip-prinsip demokrasi dengan kepentingan
keamanan nasional. Jika melihat rancangan tersebut menjadi wajar ketika
masyarakat sipil perlu merefleksikan secara kritis pokok-pokok bahasan yang
nantinya akan menciptakan kerawanan terhadap sistem dan suasanan demokrasi yang
telah dibangun kurang lebih satu dasawarsa ini.
Rekomendasi Reflektif
Ketika masih
bervariasinya jenis dan karakter permasalahan dalam substansi RUU Rahasia
Negara, menjadi penting untuk memberikan rekomendasi (awal) terhadap refleksi
kritis yang telah dipaparkan tersebut. Rekomendasi ini juga akan ditempatkan
pada dua kutub, yakni demokrasi dan keamanan nasional. Untuk itu, terdapat
beberapa rekomendasi yang coba disajikan dalam uraian selanjutnya.
Pertama, RUU Rahasia negara haruslah ditempatkan dalam tujuan
dan kepentingan keamanan nasional sebagai bingkai utama. Ini diharapkan untuk
tidak menciptakan suatu rejim ketertutupan yang coba menutup segala akses
informasi dalam terhadap masyarakat. Implikasinya jelas yang kemudian akan
diatur dalam pasal, ayat, dan butir pada rancangan ini akan selalu terbatas dan
hanya pada kepentingan keamana nasional. Kedua, yakni terkait dengan
rincian kategori atau ruang lingkup yang tertera dalam rancangan ini dimana
ketika perincian tersebut diperlukan maka implikasinya jelas, yakni rincian
tersebut tidak menimbulkan mulit-interpretasi yang akan menimbulkan perdebatan
tajam antar aktor negara dan masyarakat sipil.
Rekomendasi ketiga,
yakni terkait mekanisme (cara) untuk menentukan kerahasian. Ketika RUU ini
diperlukan dalam pengendalian resiko (risk control), maka perincian
secara jelas tentang bagaimana suatu cara dalam menentukan kerahasian menjadi
keharusan yang ditampilan dalam uraian RUU Rahasia Negara. Reformulasi tentang
mekanisme penentuan yang kemudian dikaitkan dengan upaya klasifikasi dan deklasifikasi
menjadi penting dan harus dipaparakan dalam RUU ini. Keempat, yakni
penggunaan tingkatan masa retensi tersebut dimana RUU ini harus memformulasikan
tentang masa retensi yang dihubungkan dengan jenis rahasia negara. Dan
bagaimana masa retensi ini berakhir ketika telah selesai dan tidak menimbulkan
ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara dan sebulum waktu yang ditentukan. Hal
ini perlu diatur melihat konteks ancaman yang cepat eskalasi dan penanganannya.
Hal ini juga diperlukan untuk menghindari pembiaran suatu objek yang telah
tidak memiliki nilai strategis dalam kurun waktu yang lama.
Rekomendasi kelima,
yakni penentuan secara eksplisit, jelas, dan rinci terhadap aktor negara
(pemerintah) yang menjadi penyelenggara, penentu, pengelola, dan pelindung
objek yang dirahasikan. Ini dapat dilakukan dengan menunjukan secara langsung
satu atau lebih lembaga negara baik itu kementerian atau non-kementerian yang
memiliki kompetensi dan instrumen dalam pelaksanaan rahasia negara. Atau dapat
dengan membentuk suatu komite atau lembaga baru yang diakomdasi dari aparatur
negara yang menjadi penyelenggara, penentu, pengelola, dan pelindung objek yang
dirahasikan. Keenam, yakni tentang standar prosedur yang dibutuhkan
ketika pejabat negara yang berdasarkan jabatan dan kepentingannya membutuhkan
dan memiliki objek yang dirahasiakan. Tidak hanya melalui “hak untuk
mengetahui”, namun standar prosedur ini menjadi penting untuk diperinci dan
diperjelas bagiamana cara atau tata kelola dan merujuk pula pada dampak dan
kebutuhan ketika terjadi pemindahan tangan dalam kepemilikan suatu objek yang
dirahasian.
Ketujuh, yakni sehaursnya secara ideal dan memenuhi prinsip demokrasi,
yaitu partisipasi aktif masyarakat, maka ruang untuk masyarakat (sipil) untuk
mengakses dan memiliki objek yang dirahasikan menjadi penting untuk diberikan.
Ini dapat dilakukan dengan menggunakan security clearence yang menjadi
jembatan untuk masyarakat dapat mengakses objek yang dirahasiakan. Hak ini juga
dengan melihat dampak dan implikasi yang terkait dengan tujuan dan kepentingan
keamanan nasional. Rekomendasi selanjutnya, kedelapan, yakni terkait
dengan pemenuhan anggaran terhadap pelaksanaan rahasia negara. Pemenuhan
tersebut dapat didapat lewat sumber-sumber resmi dan legal yang dimiliki
negara. Untuk itu, rekomendasi menuntut untuk memberikan suatu bahasan tentang
anggaran dalam pelaksaan rahasia negara.
Kesembilan, yakni terkait dengan bahasan pengecualian dimana
pokok-pokok objek yang dirahasikan dapat luntur atau gugur seiring dengan
kasus-kasus, seperti HAM dan Korupsi yang melekat dalam upaya-upaya perahasian
negara. Ini menjadi penting untuk memberikan klausul tentang upaya pengecualian
yang diperhadapkan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Rekomendasi kesepuluh,
yakni tentang pengawasan berlapis dimana pada RUU ini hanya memberikan dua arah
pengawasan belum cukup, diperlukan pengawasan berlapis, seperti ekskutif
(presiden dan jajaran), legislatif (komisi khusus), yudikatif (polri,
kejaksaan, kehakiman), yang ditambahkan dengan KPK sebagai pengawas dalam
semangat anti korupsi, Komnas HAM (dalam pencegahaan pelanggaran hak dasar
masyarakat), dan lembaga independen (masyarakat sipil) untuk kontrol eksternal
terhadap perahasian negara.
Standing Point
Dalam melihat dan
merefleksikan rancangan undang-undang yang kembali digulirkan pada Prolegnas
2010-2014, terdapat dua poin penting dalam penempatan posisi dalam merespon
draf tersebut. Pertama, rancangan ini memiliki intisari yang menjadi
alat pengendali resiko terhadap ancaman bagi keutuhan bangsa (terutama dalam
kerawanan terhadap gangguan yang akan merusak secara fisik). Hal ini menjadi
penting dalam konteks tujuan dan kepentingan keamanan nasional. Kedua,
namun ketika konteks keamanan nasional tidak memenuhi prinsip demokrasi yang
tertuang dalam rancangan undang-undang rahasia ini (terutama dalam sisi
substansi), maka kecenderungan untuk kembali pada budaya kerahasian (rejim
ketertutupan) dan penyelewengan terhadap kekuasaan memiliki potensi yang kuat
dan tinggi. Untuk itu, ketika tujuan dan kepentingan keamanan nasional yang
dituangkan dalam RUU Rahasia Negara masih memiliki masalah substantif yang mana
memungkinkan untuk terjadinya penyelewengan, maka upaya resistensi menjadi
penting untuk dikedepankan.
Kedepan diharapkan, dalam konteks rahasia
negara, maka UU Rahasia Negara harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Pengaturan rahasia negara harus berlandaskan pada
paradigma bahwa semua informasi hakikatnya terbuka. Hanya terdapat
pengaturan-pengaturan yang membedakan pejabat mana yang memiliki security
clearance kewenangan untukmembuka sebuah informasi.
- Penetapan
mengenai security clearance harus berdasarkan pada
prinsip-prinsipkebebasan informasi di mana pengaturan mengenai wewenang
membukainformasi tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan
informasi.
- Pengaturan
mengenai rahasia negara harus menganut prinsip sunset. Artinya ada jangka
waktu yang jelas mengenai berlakunya peraturan tersebut.
- Penetapan akses terhadap sebuah harus informasi
harus memenuhi kaidah balancing on public interest test dimana
sesuatu yang dianggap rahasia apabila kepentingan publik menghendaki untuk
membukanya maka ia harus tetap bias dibuka dan consequential harm test yaitu
uji konsekuensi terhadap suatu ketentuan rahasia. Apabila setelah diuji
ketentuan rahasia tersebut lebih besar manfaatnya apabila dibuka maka
ketentuan tersebut harus dibuka.
- Harus ada jangka waktu kadaluwarsa bagi suatu
ketentuan kerahasiaan. Dalam jangka waktu tertentu suatu informasi yang
tadinya hanya bisa diakses oleh sekelompok orang, dan kemudian harus bisa
dibuka dan diumumkan kepada publik
i be! u o = �e> ara terhadap
unsure-unsur pemerintah dan institusi di bawahnya. Termasuk aktor-aktor yang
bertugas mengurus pertahanan negara.
Bagi negara-negara
yang memiliki peraturan tentang adanya wajib militer, maka PBB merekomendasikan
untuk memberikan bagi warga yang menggunakan Conscentius Objection dengan berbagai
dinas pengganti seperti ikut melayani kepentingan public, kerja sosial, dan
lainnya.
D. Langkah Apa yang dapat Diambil?
Rencana
Pemerintah untuk membentuk Komponen Cadangan pertahanan dapat diterima, akan
tetapi harus ada penjelasan dari pemerintah tentang tujuan serta “blueprint” dalam pengelolaannya.
Harus dipikirkan
kembali efek dari komcad terhadap
komponen utama. Apakah nantinya bias berakibat positif atau negatif. Perlu juga
dilihat efek dari penyatuan tugas dari Komponen utama dan komponen cadangan.
Secara prinsipil,
sebuah kebijakan pemerintah tidak hanya memikirkan kepentingan negara, namun
kepentingan hak-hak dasar warga negara juga harus terpenuhi. Oleh karena itu
perlu dibuat mekanisme concentious
objection dan alternatif bagi warga yang tidak mengikuti
komcad, seperti kerja sosial, magang di instansi pemerintah, dsb
RUU Komponen
Cadangan juga membuka peluang
terjadinya penyalah gunaan wewenang terkait penguasaan sumber daya non manusia
mengatasnamakan pembentukan komponen cadangan. Dikhawatirkan pula pembentukan
Komcad akan memperkuat kembali komando territorial, hal ini bertentangan dengan
UU No. 34 tahun 2004 yang memandatkan restrukturisasi komando territorial.
Hal-hal yang
dapat dilakukan aktor negara dalam memperbaiki RUU Komcad:
1.
Pengadopsian nilai-nilai
HAM, dan kejelasan status
concentious objection
2.
Penekanan bahwa
penggunaan Komcad sebagai last resort
3. Sebelum Undang-Undang ini disyahkan, sebaiknya pemerintah menyelesaikan
reformulasi doktrin dan postur pertahanan, membuat UU keamanan nasional sebagai
referensi operasional Komcad