Hegemoni ISIS dan Kedaulatan NKRI
Oleh
David Raja Marpaung[1]
Kehadiran kelompok teroris Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Suriah telah menarik
sebagian besar energi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dengan memanasnya
kondisi di Timur Tengah, maka kehadiran ISIS menambah problema dari usaha
mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan yang menjadi agenda pokok dunia
internasional di abad 21.
Masalah
ISIS menjadi pelik terkait dengan isu ideologi kekalifahan dan solidaritas
internasional yang mereka gunakan. ISIS bertujuan mewujudkan suatu pemerintahan
yang melintasi batas negara dan wilayah di dalam hukum suatu agama. Organisasi
ini terbuka bagi semua kelompok radikal islam manapun tanpa memandang asal
negara mereka. Hal ini terbukti dari keterlibatan pejuang ISIS yang berasal
dari Indonesia, dan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand,
dan Filipina.
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi memudahkan penyebaran paham ISIS. Bahkan
ditenggarai ada beberapa kelompok di dalam negeri yang mendukung ISIS.
Pemerintah pun telah memperingatkan dengan serius akan bahaya dari ISIS, dan
kemungkinan keberadaan jaringannya di Indonesia.
Perang Hegemoni
Usaha
untuk mencegah berkembangnya ISIS sesungguhnya merupakan sebuah perang
hegemoni. Antonio Gramsci seorang pemikir politik asal Italia telah
mengingatkan akan pentingnya usaha menyampaikan ideologi secara terus menerus
dan meyakinkan masyarakat akan kebenarannya. Pada titik inilah hegemoni
ideologi dari negara ditantang.
Perang
hegemoni yang terjadi adalah pertentangan antara Ideologi Pancasila dan terorisme.
Pancasila yang merupakan ideologi negara sejak kemerdekaan mengandung nilai
pluralisme, toleransi, gotong royong, musyawarah mufakat, dan nilai-nilai
nasonal lainnya yang telah diadopsi. Sedangkan terorisme mengandung nilai
ekslusifisme pada ajaran tertentu, intoleransi, pemaksaan kehendak, pembenaran
penggunaan kekerasan, dan nilai-nilai lainnya yang identik dengan berbagai
kelompok teroris di dunia.
Pemerintah
harus secara berani secara terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia, apakah
tetap menginginkan Indonesia yang berdasarkan Pancasila, atau berubah menjadi
suatu negara teroris yang penuh kekerasan. Dengan dikotomi frontal yang
dilakukan, maka
masyarakat akan langsung secara terbuka memahami permasalahan apa yang
sebenarnya terjadi. Pertentangan ideologi yang setengah-setengah atau tidak
total justru membuka peluang pembenaran bagi kehadiran kelompok ISIS di
Indonesia. Dengan demikian pemerintah harus berani berkata “Pilih Pancasila
atau Terorisme yang menjadi dasar negara”
Kedaulatan Negara dan
Dukungan Masyarakat
Ancaman
utama ISIS adalah mereka tidak mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan paham
internasionalisme maka batas wilayah dan yuridiksi yang dipakai Indonesia maka
tidak diterima oleh ISIS. Mereka tidak akan tunduk pada suatu pemerintahan mana
pun di dunia. Ancaman berikutnya ialah konflik ideologi yang telah dibahas di
atas. Paham ISIS telah nyata-nyata berseberangan dengan Pancasila. Berikutnya,
pembenaran pemakaian kekerasan dalam perjuangan ISIS merupakan potensi konflik
yang besar antar umat beragama di Indonesia. Jangan sampai konflik di Poso dan
Maluku terulang lagi terkait dengan dukungan ISIS di Indonesia.
Belajar
dari sejarah; kehadiran kelompok yang ingin mendirikan negara islam di
Indonesia bukanlah yang pertama terjadi. Indonesia pernah mengalami
pemberontakan kelompok negara darul islam (DI/TII) yang dipimpin oleh
kartosuwiryo dan pengikutnya di berbagai daerah di Indonesia. Untuk memadamkan
pemberontakan DI/TII diperlukan waktu puluhan tahun sejak 1950 an hingga 1960
an. Belum lagi ratusan ribu jiwa yang menjadi korban perang, dan energi yang
dihabiskan selama masa peperangan.
Isu
mendirikan negara islam benar-benar suatu masalah serius karena akarnya telah
lama ada di Indonesia. Jangan sampai dengan kehadiran ISIS akan ada benih-benih
baru yang mendukung kehadiran negara islam di Indonesia. Perdebatan mengenai
ideologi negara telah selesai pada saat proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Indonesia merupakan suatu negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila dan
Bhineka Tunggal Ika.
Peran
masyarakat tentunya tidak dapat dilepaskan dalam mencegah perluasan paham ISIS.
Unsur pembantu birokrasi seperti rukun tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) harus
pro aktif untuk memantau akan keberadaan kelompok ISIS di lingkungan mereka.
Kelompok-kelompok kekerabatan dan organisasi kemasyarakatan juga harus aktif
dilibatkan dalam mencegah perkembangan ISIS.
Tokoh-tokoh
kunci seperti para pemuka agama, tokoh adat, pemimpin lokal, serta aktor-aktor
kunci di masyarakat juga tentunya harus sadar akan betapa berbahanya ISIS.
Untuk itu, pemerintah juga diharapkan aktif untuk mendekati mereka, dan
memberikan transfer pengetahuan dan informasi akan ISIS pada masyarakat.
Tokoh-tokoh masyarakat ini juga dapat digunakan sebagai alat kontra intelijen
yang dapat dipakai sebagai simpul untuk menggerakkan masyarakat melawan ISIS.
Terakhir,
perubahan kurikulum pendidikan merupakan alat dan kekuatan
utama mencegah ISIS dan kelompok radikal laiinya. Pendidikan ideologi harus
dirubah, sehingga
tidak menjadi sebuah indoktrinasi tapi menjadi sebuah usaha kesadaran dan
kecintaaan untuk mengaplikasikan sebuah ideologi negara. Diskursus pancasila
untuk membangun sebuah hegemoni yang cantik dan elok, merupakan
suatu tantangan tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat yang masih
menghendaki Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[1]
Penulis adalah dosen di Lasalle College
International. Penulis juga merupakan Head Operation of Central for Defense and
Security Management. Tulisan ini sudah dimuat di salah satu media cetak
nasional. Dapat dihubungi di email davidrajamarpaung@gmail.com
No comments:
Post a Comment