Tuesday, October 14, 2014

Hegemoni ISIS dan Kedaulatan NKRI



Hegemoni ISIS dan Kedaulatan NKRI
Oleh David Raja Marpaung[1]

            Kehadiran kelompok teroris  Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Suriah telah menarik sebagian besar energi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dengan memanasnya kondisi di Timur Tengah, maka kehadiran ISIS menambah problema dari usaha mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan yang menjadi agenda pokok dunia internasional di abad 21.
            Masalah ISIS menjadi pelik terkait dengan isu ideologi kekalifahan dan solidaritas internasional yang mereka gunakan. ISIS bertujuan mewujudkan suatu pemerintahan yang melintasi batas negara dan wilayah di dalam hukum suatu agama. Organisasi ini terbuka bagi semua kelompok radikal islam manapun tanpa memandang asal negara mereka. Hal ini terbukti dari keterlibatan pejuang ISIS yang berasal dari Indonesia, dan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina.
            Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memudahkan penyebaran paham ISIS. Bahkan ditenggarai ada beberapa kelompok di dalam negeri yang mendukung ISIS. Pemerintah pun telah memperingatkan dengan serius akan bahaya dari ISIS, dan kemungkinan keberadaan jaringannya di Indonesia.

Perang Hegemoni
            Usaha untuk mencegah berkembangnya ISIS sesungguhnya merupakan sebuah perang hegemoni. Antonio Gramsci seorang pemikir politik asal Italia telah mengingatkan akan pentingnya usaha menyampaikan ideologi secara terus menerus dan meyakinkan masyarakat akan kebenarannya. Pada titik inilah hegemoni ideologi dari negara ditantang.
            Perang hegemoni yang terjadi adalah pertentangan antara Ideologi Pancasila dan terorisme. Pancasila yang merupakan ideologi negara sejak kemerdekaan mengandung nilai pluralisme, toleransi, gotong royong, musyawarah mufakat, dan nilai-nilai nasonal lainnya yang telah diadopsi. Sedangkan terorisme mengandung nilai ekslusifisme pada ajaran tertentu, intoleransi, pemaksaan kehendak, pembenaran penggunaan kekerasan, dan nilai-nilai lainnya yang identik dengan berbagai kelompok teroris di dunia.
            Pemerintah harus secara berani secara terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia, apakah tetap menginginkan Indonesia yang berdasarkan Pancasila, atau berubah menjadi suatu negara teroris yang penuh kekerasan. Dengan dikotomi frontal yang dilakukan, maka masyarakat akan langsung secara terbuka memahami permasalahan apa yang sebenarnya terjadi. Pertentangan ideologi yang setengah-setengah atau tidak total justru membuka peluang pembenaran bagi kehadiran kelompok ISIS di Indonesia. Dengan demikian pemerintah harus berani berkata “Pilih Pancasila atau Terorisme yang menjadi dasar negara”

Kedaulatan Negara dan Dukungan Masyarakat
            Ancaman utama ISIS adalah mereka tidak mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan paham internasionalisme maka batas wilayah dan yuridiksi yang dipakai Indonesia maka tidak diterima oleh ISIS. Mereka tidak akan tunduk pada suatu pemerintahan mana pun di dunia. Ancaman berikutnya ialah konflik ideologi yang telah dibahas di atas. Paham ISIS telah nyata-nyata berseberangan dengan Pancasila. Berikutnya, pembenaran pemakaian kekerasan dalam perjuangan ISIS merupakan potensi konflik yang besar antar umat beragama di Indonesia. Jangan sampai konflik di Poso dan Maluku terulang lagi terkait dengan dukungan ISIS di Indonesia.
            Belajar dari sejarah; kehadiran kelompok yang ingin mendirikan negara islam di Indonesia bukanlah yang pertama terjadi. Indonesia pernah mengalami pemberontakan kelompok negara darul islam (DI/TII) yang dipimpin oleh kartosuwiryo dan pengikutnya di berbagai daerah di Indonesia. Untuk memadamkan pemberontakan DI/TII diperlukan waktu puluhan tahun sejak 1950 an hingga 1960 an. Belum lagi ratusan ribu jiwa yang menjadi korban perang, dan energi yang dihabiskan selama masa peperangan.
            Isu mendirikan negara islam benar-benar suatu masalah serius karena akarnya telah lama ada di Indonesia. Jangan sampai dengan kehadiran ISIS akan ada benih-benih baru yang mendukung kehadiran negara islam di Indonesia. Perdebatan mengenai ideologi negara telah selesai pada saat proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945. Indonesia merupakan suatu negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
            Peran masyarakat tentunya tidak dapat dilepaskan dalam mencegah perluasan paham ISIS. Unsur pembantu birokrasi seperti rukun tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) harus pro aktif untuk memantau akan keberadaan kelompok ISIS di lingkungan mereka. Kelompok-kelompok kekerabatan dan organisasi kemasyarakatan juga harus aktif dilibatkan dalam mencegah perkembangan ISIS.
            Tokoh-tokoh kunci seperti para pemuka agama, tokoh adat, pemimpin lokal, serta aktor-aktor kunci di masyarakat juga tentunya harus sadar akan betapa berbahanya ISIS. Untuk itu, pemerintah juga diharapkan aktif untuk mendekati mereka, dan memberikan transfer pengetahuan dan informasi akan ISIS pada masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat ini juga dapat digunakan sebagai alat kontra intelijen yang dapat dipakai sebagai simpul untuk menggerakkan masyarakat melawan ISIS.
            Terakhir, perubahan kurikulum pendidikan merupakan alat dan kekuatan utama mencegah ISIS dan kelompok radikal laiinya. Pendidikan ideologi harus dirubah, sehingga tidak menjadi sebuah indoktrinasi tapi menjadi sebuah usaha kesadaran dan kecintaaan untuk mengaplikasikan sebuah ideologi negara. Diskursus pancasila untuk membangun sebuah hegemoni yang cantik dan elok, merupakan suatu tantangan tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat yang masih menghendaki Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.












[1] Penulis  adalah dosen di Lasalle College International. Penulis juga merupakan Head Operation of Central for Defense and Security Management. Tulisan ini sudah dimuat di salah satu media cetak nasional. Dapat dihubungi di email davidrajamarpaung@gmail.com

No comments:

Post a Comment