Monday, November 10, 2014

Posisi Indonesia atas Konflik Laut Tiongkok Selatan



Posisi Indonesia atas Konflik Laut Tiongkok Selatan
Oleh David Raja Marpaung *

            Potensi konflik di Laut Tiongkok Selatan (LTS) cenderung meningkat Ketegangan antar negara yang mengklaim wilayah di LTS belum juga mereda. Intensitasnya bahkan menunjukkan grafik yang meningkat. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang bersinggungan langsung dengan LTS, harus menunjukkan sikap aktif, sebelum terjadinya penggunaan kekuatan militer antar negara yang bertikai.

            Istilah konflik di LTS sebetulnya merujuk pada gugusan kepulauan Paracels yang masih dipersengketakan oleh tiga negara (China, Vietnam, dan Taiwan), dan kepulauan Spratly yang dipersengketakan oleh enam negara (China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei). Namun, kepulauan Spratly merupakan titik api yang paling potensial untuk berkembang menjadi wilayah konflik militer di masa depan, tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan keenam negara, tetapi juga karena adanya kepentingan negara-negara besar (Jepang, AS, Rusia) di perairan tersebut.

            Seiring dengan mencuatnya kabar mengenai kekayaan sumber daya alam yang berada di Laut Tingkok Selatan, sejumlah aksi agresif dilakukan oleh negara-negara yang berbatasan langsung. Klaim tersebut merujuk hingga kepada faktor historis, perhitungan ekonomi dan pertimbangan geostrategis dari negara-negara yang terlibat

Posisi Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara memang tidak terlibat secara langsung di dalam konflik perebutan wilayah di Laut Tingkok Selatan. Namun, sesungguhnya konflik LTS terkait dengan kedaulatan Indonesia. Hal tersebut karena karena wilayah yang disengketakan bersinggungan langsung dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di kepulauan Natuna.

            Atas Pertimbangan tersebut, konflik ini diperkirakan akan menimbulkan sebuah kekacauan atau chaos apabila dibiarkan semakin memuncak. Sehingga, walaupun Indonesia bukan merupakan aktor yang langsung terlibat di dalam sengketa wilayah ini,akan tetapi Indonesia memiliki potensi untuk menjadi aktor kunci yang dapat memberikan peran secara konstruktif dalam upaya penyelesaian masalah LTS secara damai.
            Dengan politik luar negeri bebas akfti, posisi yang diambil Indoinesia adalah melakukan diplomasi preventif. Metode utama adalah dengan membangun serta meningkatkan rasa saling percaya (confidence building measures) antara pihak-pihak yang bertikai. Indonesia berkepentingan untuk mencegah terjadinya kekerasan bersenjata di wilayah LTS, mengingat hal ini akan mengakibatkan kerugian yang besar khususnya dalam kerjasama ekonomi dan hubungan Internasional di kawasan ASEAN.

Solusi yang diawarkan Indonesia
            Indonesia secara aktif mengupayakan perdamaian dalam setiap penyelesaian masalah terkait politik luar negeri. Diplomasi damai yang dipakai Indonesia merujuk pada Griffiths yang menyatakan diplomasi menjadi salah satu faktor determinan bagi negara untuk mencapai kepentingannya dan menjalin hubungan baik dengan negara lainnya. Diplomasi menjadi alat yang digunakan negara untuk menjalankan misinya tanpa membangkitkan rasa permusuhan dengan negara lain.
            Salah satu jenis diplomasi yang sering digunakan adalah diplomasi preventif. Diplomasi preventif mulai berkembang setelah Perang Dingin. Diplomasi ini cenderung lebih banyak dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga. Diplomasi ini bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang berpotensi hingga perang senjata. Diplomasi preventif secara umum digunakan untuk mencegah keterlibatan negara-negara adidaya yang mencoba untuk melakukan intervensi
            Salah satu bukti nyata keberhasilan Indonesia dengan penggunaan diplomasi preventif adalah dengan terciptanya Declaration onThe Conduct of The Parties in the South China Sea  pada tahun 2002. Deklarasi ini dianggap sebagai implementasi dari perspektif luar negeri Indonesia yang dikenal dengan “Doktrin Natalegawa” (Dynamic Equilibrium) atau keseimbangan dinamis. Perspektif dynamic equilibrium memiliki dua termin penting. Pertama, dynamic merujuk pada dinamisme politik global. Marty Natalegawa selaku Menteri Luar Negeri Indonesia memaknai dinamisme politik global sebagai sebuah hal yang selalu terjadi. Artinya, negara-negara di dalam politik global selalu mengalami perubahan baik dalam hal kekuasaan, kekuatan, maupun pengaruh. Termin kedua adalah equilibrium atau keseimbangan yang berarti tidak ada kekuatan yang dominan yang berlandaskan tiga prinsip utama; yakni keamanan bersama (common security), kestabilan bersama (common stability), dan kesejahteraan bersama  (common prosperity)

            Perspektif baru kebijakan luar negeri dynamic equilibrium menjadi preferensi Indonesia untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul sehubungan dengan konflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Impelentasi nyata dalam konflik di LTS adalah dengan menjaga perdamaian dan mengubah potensi konflik menjadi potensi kerjasama melalui sejumlah perundingan damai demi terselenggaranya kerjasama yang aktif, produktif dan efektif antar negara yang terlibat.

ASEAN sebagai Wadah Komunikasi
            Sekretaris Jenderal ASEAN Le Luong Minh dalam paparan ringkasan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-24 ASEAN pad bulan Mei 2014 lalu; menyatakan  mendukung penuh penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan meski diakui situasi konflik terus memanas.
            Dalam menghadapi masalah klaim di Laut Tiongkok Selatan, ASEAN harus tampil sebagai "an honest broker" atau peredam konflik. Keterlibatan beberapa negara ASEAN dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan, menjadi semakin penting dilakukannya perundingan damai secara terus-menerus. Terutama ketika harus berhadapan dengan Cina yang mengklaim seluruh LTS.
            Sebenarnya, ASEAN sudah berhasil menandatangani code of conduct atau kode perilaku dengan Cina tahun 2002. Berdasarkan perjanjian itu, negara-negara yang mengklaim sepakat menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi dengan cara damai tanpa penggunaan kekerasan, dan melalui perundingan. Tetapi intensitas konflik akhir-akhir ini menunjukkan Vietnam, Filipina, dan Cina tidak mematuhi semangat kesepakatan tersebut
            Untuk meredam maslah konflik LTS akhirnya ASEAN berusaha membuat komunike bersama antara nagara-negara ASEAN dengan Cina. Komunike bersama itu merupakan wujud kesepakatan 10 tahun yang tidak mengikat antara China dan ke-10 negara anggota agar menangani klaim perebutan LTS secara damai.
            Namun hingga kini, komunike tersebut belumlah terwujud. Dengan kegagalan tercapainya komunike bersama tersebut, maka hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi ASEAN. Lembaga ini harus membuktikan ke depan; apakah masih bisa menjadi wadah aktif komunikasi antar negara di Asia tenggara dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi. Apabila tidak, maka ASEAN akan ditinggalkan atau minimum tidak dianggap lagi oleh para negara anggota.

*Tulisan ini sudah dipublikasikan pada salah satu media cetak nasional

No comments:

Post a Comment