Posisi Indonesia atas Konflik Laut Tiongkok
Selatan
Oleh David Raja Marpaung *
Potensi
konflik di Laut Tiongkok Selatan (LTS) cenderung meningkat Ketegangan antar negara
yang mengklaim wilayah di LTS belum juga mereda. Intensitasnya bahkan
menunjukkan grafik yang meningkat. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara
yang bersinggungan langsung dengan LTS, harus menunjukkan sikap aktif, sebelum
terjadinya penggunaan kekuatan militer antar negara yang bertikai.
Istilah konflik di LTS sebetulnya
merujuk pada gugusan kepulauan Paracels yang masih dipersengketakan oleh tiga
negara (China, Vietnam, dan Taiwan), dan kepulauan
Spratly yang dipersengketakan oleh enam negara (China, Taiwan, Vietnam,
Filipina, Malaysia, dan Brunei). Namun, kepulauan Spratly merupakan titik api
yang paling potensial untuk berkembang menjadi wilayah konflik militer di masa
depan, tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan
keenam negara, tetapi juga karena adanya kepentingan negara-negara besar
(Jepang, AS, Rusia) di perairan tersebut.
Seiring dengan mencuatnya
kabar mengenai kekayaan sumber daya alam yang berada di Laut Tingkok Selatan,
sejumlah aksi agresif dilakukan oleh negara-negara yang berbatasan langsung. Klaim
tersebut merujuk hingga kepada faktor historis, perhitungan ekonomi dan
pertimbangan geostrategis dari negara-negara yang terlibat
Posisi Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara memang tidak
terlibat secara langsung di dalam konflik perebutan wilayah di Laut Tingkok Selatan.
Namun, sesungguhnya konflik LTS terkait dengan kedaulatan Indonesia. Hal tersebut karena
karena wilayah yang disengketakan bersinggungan langsung dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di kepulauan
Natuna.
Atas
Pertimbangan tersebut, konflik ini diperkirakan akan menimbulkan sebuah kekacauan
atau chaos apabila dibiarkan semakin
memuncak. Sehingga, walaupun Indonesia bukan merupakan aktor yang langsung
terlibat di dalam sengketa wilayah ini,akan tetapi Indonesia memiliki potensi
untuk menjadi aktor kunci yang dapat memberikan peran secara konstruktif dalam
upaya penyelesaian masalah LTS secara damai.
Dengan
politik luar negeri bebas akfti, posisi yang diambil Indoinesia adalah melakukan
diplomasi preventif. Metode utama adalah dengan membangun serta meningkatkan rasa
saling percaya (confidence building measures) antara pihak-pihak yang
bertikai. Indonesia berkepentingan untuk mencegah terjadinya kekerasan
bersenjata di wilayah LTS, mengingat hal ini akan mengakibatkan kerugian yang
besar khususnya dalam kerjasama ekonomi dan hubungan Internasional di kawasan
ASEAN.
Solusi yang diawarkan Indonesia
Indonesia secara aktif mengupayakan
perdamaian dalam setiap penyelesaian masalah terkait politik luar negeri.
Diplomasi damai yang dipakai Indonesia merujuk pada Griffiths yang
menyatakan diplomasi menjadi salah satu faktor determinan bagi negara untuk
mencapai kepentingannya dan menjalin hubungan baik dengan negara lainnya.
Diplomasi menjadi alat yang digunakan negara untuk menjalankan misinya tanpa membangkitkan rasa permusuhan
dengan negara lain.
Salah
satu jenis diplomasi yang sering digunakan adalah diplomasi preventif.
Diplomasi preventif mulai berkembang setelah Perang Dingin. Diplomasi ini
cenderung lebih banyak dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga. Diplomasi ini bertujuan untuk
mencegah timbulnya konflik yang berpotensi hingga perang senjata.
Diplomasi preventif secara umum digunakan untuk mencegah keterlibatan negara-negara adidaya yang mencoba
untuk melakukan intervensi
Salah
satu bukti nyata keberhasilan Indonesia dengan penggunaan diplomasi
preventif adalah dengan terciptanya Declaration
onThe Conduct of The Parties in the South China Sea pada tahun 2002.
Deklarasi ini dianggap sebagai implementasi dari perspektif luar negeri
Indonesia yang dikenal dengan “Doktrin Natalegawa” (Dynamic Equilibrium) atau keseimbangan
dinamis. Perspektif dynamic equilibrium memiliki
dua termin penting. Pertama, dynamic
merujuk pada dinamisme politik global. Marty Natalegawa selaku Menteri Luar Negeri Indonesia
memaknai dinamisme politik global sebagai sebuah hal yang selalu terjadi.
Artinya, negara-negara di dalam politik global selalu mengalami perubahan
baik dalam hal kekuasaan, kekuatan, maupun pengaruh. Termin
kedua adalah equilibrium
atau keseimbangan yang berarti tidak ada kekuatan yang dominan
yang berlandaskan tiga prinsip utama; yakni keamanan bersama (common security), kestabilan bersama (common stability), dan kesejahteraan
bersama (common prosperity)
Perspektif
baru kebijakan luar negeri dynamic
equilibrium menjadi preferensi Indonesia untuk menjawab berbagai
persoalan yang muncul sehubungan dengan konflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan.
Impelentasi
nyata dalam konflik di LTS adalah dengan menjaga perdamaian dan mengubah
potensi konflik menjadi potensi kerjasama melalui sejumlah perundingan damai
demi terselenggaranya kerjasama yang aktif, produktif dan efektif antar negara
yang terlibat.
ASEAN sebagai Wadah
Komunikasi
Sekretaris Jenderal ASEAN Le Luong Minh dalam
paparan ringkasan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-24 ASEAN pad bulan Mei
2014 lalu; menyatakan mendukung penuh
penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan meski diakui situasi konflik terus
memanas.
Dalam menghadapi masalah klaim di
Laut Tiongkok Selatan, ASEAN harus tampil sebagai "an honest broker" atau
peredam konflik. Keterlibatan beberapa negara ASEAN dalam sengketa Laut
Tiongkok Selatan, menjadi semakin penting dilakukannya perundingan damai secara
terus-menerus. Terutama ketika harus berhadapan dengan Cina yang mengklaim
seluruh LTS.
Sebenarnya, ASEAN sudah
berhasil menandatangani code of conduct atau
kode perilaku dengan Cina tahun 2002. Berdasarkan perjanjian itu, negara-negara
yang mengklaim sepakat menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi dengan
cara damai tanpa penggunaan kekerasan, dan melalui perundingan. Tetapi intensitas
konflik akhir-akhir ini menunjukkan Vietnam, Filipina, dan Cina tidak mematuhi
semangat kesepakatan tersebut
Untuk meredam maslah konflik LTS akhirnya ASEAN berusaha
membuat komunike bersama antara nagara-negara ASEAN dengan Cina. Komunike
bersama itu merupakan wujud kesepakatan 10 tahun yang tidak mengikat antara
China dan ke-10 negara anggota agar menangani klaim perebutan LTS secara damai.
Namun hingga kini, komunike tersebut belumlah terwujud. Dengan kegagalan tercapainya komunike bersama tersebut,
maka hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi ASEAN. Lembaga ini harus
membuktikan ke depan; apakah masih bisa menjadi wadah aktif komunikasi antar
negara di Asia tenggara dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi.
Apabila tidak, maka ASEAN akan ditinggalkan atau minimum tidak dianggap lagi
oleh para negara anggota.
*Tulisan ini sudah dipublikasikan pada salah satu media cetak nasional
No comments:
Post a Comment