Konflik di Papua dan Kesalahan Pemerintah Republik Indonesia
Oleh David Raja Marpaung S.IP M.Def
Konflik di Papua bermula pada tahun 1965, ketika didirikannya Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang merupakan wujud penolakan wilayah Papua masuk sebagai bagian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan ini bertujuan untuk memisahkan Paua Barat terlepas dari Indonesia. Pada awalnya gerakan OPM hanyalah berusaha mengibarkan bendera bintang kejora, namun seiring penindasan yang mereka peroleh, maka perjuangan melalui cara militer tidak terhindakarkan.
Kini masalah Papaua semakin runyam, terakhir enam orang tewas pasca pembubaran paksa Kongres Rakyat Papua III yang digelar Tim Kerja Nasional Rakyat Papua Barat (TKNRPB) di lapangan Zakeus,Waena,Jayapura pada 20 oktober 2011.
A. Latar Belakan Masalah Papua
Berdasarkan kajian dari Sekretariat Keadilan dan Perdamian yang diusung Keuskupan Jayapura, terdapat tiga unsur faktual yang turut melatarbelakangi persoalan di Papua dewasa ini[1]:
1. Suatu kompleks pengalaman selama puluhan tahun terakhir ini yang lazimnya disebut “Memoria Passionis” yang kolektif, atau “ingatan penderitaan sebangsa”. Pengalaman-pengalaman penderitaan bersumber pada:
a. pada kebijaksanaan pembangunan yang diterapkan Pemerintah Indonesia selama 38 tahun terakhir ini.
b. terjadinya puluhan pelanggaran HAM di wilayah Papua selama Papua diintegrasikan kedalam Republik Indonesia.
c. kehadiran serta tingkahlaku ABRI di wilayah ini yang lazimnya ditandai suatu sikap arogan dan main kuasa sewenang-wenang.
2. Kejadian-kejadian selama sejarah Bangsa Papua seperti:
a. Program pemerdekaan yang diprakarsai oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 1 Desember 1961, dengan [1] mengangkat wakil-wakil masyarakat setempat menjadi 50% dari jumlah anggota Nieuw Guinea Raad (DPR), [2] mengibarkan bendera Bintang Kejora berdampingan dengan bendera Belanda, dan [3] mensosialisasikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”.
b. Penetapan “New York Agreement” (NYA) pada tahun 1962, yang dijadikan dasar peralihan Nederlands Nieuw Guinea dari kekuasaan pemerintah Belanda kepada kekuasaan pemerintah Indonesia. Kesepakatan dasar ini ditetapkan tanpa pengambilan bagian oleh Bangsa Papua sendiri didalam perundingan.
c. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969, yang dilaksanakan secara tidak benar karena disertai intimidasi, paksaan, penganiayaan, dan dengan menafsirkan secara sepihak isi persyaratan pelaksanaan sebagaimana tertuang dalam NYA, hingga bercacat hukum.
3. Protes masyarakat selama ini yang tidak pernah didengar atau ditanggapi dengan serius oleh pihak yang berkuasa, maka
a. Bangsa Papua tidak pernah merasa diri diakui martabat serta jati dirinya sebagai manusia sejati.
b. Bangsa Papua tidak pernah merasa diri diakui dan dilindungi sebagai warga negara Indonesia sepenuhnya dengan segala hak serta kewajibannya sebagai warga negara, seperti digariskan dalam alinea ke-4 pembukaan konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945)
Baru-Baru ini Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menyebut ada empat permasalahan mendasar yang memicu gejolak di Papua. Pertama, masih adanya perbedaan persepsi masalah integrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut dia, pemerintah menganggap masalah Papua telah final sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Kedua, adanya marjinalisasi terhadap penduduk asli Papua. Sayangnya, Hasanuddin tidak merinci bentuk marjinalisasi tersebut. Ketiga, masih adanya pelanggaran HAM yang terus terjadi kendati memasuki era reformasi. Keempat, masalah otonomi khusus (Otsus) yang dianggap masyarakat Papua tak jalan. Hasanuddin berpendapat semua masalah tersebut tercermin dalam kehidupan sehari-hari[2].
Hal senada juga didengungkan Tim Kajian LIPI tentang Papua. LIPI melakukan penelitian secara khusus untuk mencari penyebab mengapa terus terjadi aksi kekerasan di Papua. Hasil penelitian kemudian dituangkan dalam Papua World Map.
Permasalahan pertama adalah marjinalisasi yang terjadi terhadap masyarakat Papua. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan yang dialami masyarakat Papua dalam sisi hubungan daerah dengan pusat. Kedua, terjadinya kegagalan pembangunan yang bisa dilihat dari ketidaksetaraan hasil pembangunan. Ketiga, persoalan status politik Papua. Adapun faktor keempat adalah masalah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM)[3]
B. Kesalahan Pemerintah dalam Konflik di Papua
Kesalahan utama dari Pemerintah Republik Indonesia ialah tidak bisa menjamin keamanan warga negara dan lebih mendahulukan kepentingan asing. Papua merupakan wilayah yang sangat akan tambang emas, tembaga, nikel, platina, pasir besi, batu bara, hasil hutan, hingga tambang uranium yang sangat langka di dunia. Sebagian besar kekayaan tambang tersebut dikeruk oleh perusahaan asing seperti PT Freeport McMoran Indonesia
Namun ironisnya, jumlah penduduk miskin di Papua sangat tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Sumlah penduduk miskin di Provinsi Papua Barat hingga Maret 2010 mencapai 256.250 jiwa atau 34,88 persen dari total jumlah penduduk. Kemiskinan di Papua meupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia.
Kedua, penggunaan aparat penegak keamanan untuk melakukan kekerasan dan membunuh pihak-pihak yang dicurigai sebagai separatis. Berdasarkan data Amnesti Internasional, Sejak 1977, konflik di Papua telah menewaskan 100 ribu orang. Pada bulan Oktober 2011 saja, konflik Papua telah menelan korban sebanyak 14 jiwa[4]. Pendekatan militer seharusnya merupakan cara terakhir dalam mencari solusi persoalan Papua. Hal ini justru akan semakin menguntukan OPM yang akan dengan mudah menaikkan isu HAM untuk mendapat dukungan internasional. Apa pun alasannya kekerasan harus dihentikan.
Ketiga, pembiaran birokrasi yang korup. Pada 2011, jumlah kasus korupsi di Papua dan Papua Barat yang saat ini ditangani pihak Kejaksaan Tinggi Papua mencapai 142 kasus. para tersangka kasus korupsi di Papua dan Papua Barat, paling didominasi oleh para pejabat publik seperti pejabat Pemerintah dan politisi di DPR Papua, DPRD Papua Barat serta DPRD Kabupaten/Kota di kabupate/kota di Papua dan Papua Barat[5]. Walaupun sudah diketahui sejak lama, namun jumlah kasus korupsi di Papua bukannya menurun, namun bertambah subur. Hal ini menunjukkan pembiaranyang dilakukan pemerintah pusat.
Keempat, adanya rekayasa dalam penyaluran dana otonomi khusus. Hal ini dilakukan secara sistematis sehingga pembangunan di Papua tidak akan mencapai kesejahteraan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigatif terkait dana otonomi khusus (Otsus) di Papua dan Papua Barat. Hasilnya, BPK menemukan 218 kasus penyimpangan yang menyebabkan kerugian daerah. mencapai lebih dari 281 milliar rupiah[6]. Namun ironisnya, pemerintah dan DPR tetap bersikeras untuk mengucurkan dana otsus ke Papua walaupun ditemui banyak penyimpangan[7].
Kelima, diskrimisasi merupakan permasalahan serius di Papua. Selama bertahun-tahun hanya sedikit orang Papua asli yang duduk dalam pemerintahan. Selebihnya, pemerintahan dikuasai para pendatang. Sehingga orang-orang Papua tidak menjadi tuan di tanah mereka sendiri. Data yang dihimpun oleh Fransiskan International menunjukkan, pada tahun 2004 sebanyak 80 persen penduduk pribumi Papua hidup dalam kemiskinan. Selain itu, sebanyak 36,1 persen warga di daerah tersebut tidak memiliki akses fasilitas kesehatan[8]. Kondisi kian diperparah dengan meningkatnya eksploitasi sumber daya alam di Papua yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.
Secara garis besar bentuk diskriminasi rasial yang terjadi di Papua terjadi dalam 4 (empat) hal yaitu dalam kasus Perampasan Tanah/sumber daya alam, Kebijakan Pembangunan, Politik Pencitraan dan Diskriminasi akibat Regulasi Negara.
No comments:
Post a Comment