Threats Against State Sovereignty
TNI VS Police Clashes
By David Raja Marpaung
The problem of conflict between the armed forces and the police now reached the chronic stage. In the past year alone has happened five times clashes between troops, and at least 10 people died in the conflict, both within the police and military. This of course brings its own concerns. It turns out that the process of reform in the defense and security sector is not yet finished and can be said to be largely unsuccessful.
Reform era emphasize to put TNI out of social political role. Dual Function role already abolished and as a consequence, a very dominant role of the army in the field is now replaced by the Police. Police, who had been a part of the military, now have enormous power. On the other hand, the officers, who had been to school together at the academy, now the engagement between of the two bodies is also automatically also stretchable
With the issuance of Law defense, military law, and the law firm path beckons Police dichotomy between defense and security. Police put the Police Act as authority for security and law enforcement, much wider than its role before 1998. While the TNI reform era can be said to go back to the barracks, and only holds the only defense functions.
Based on the facts available, the military and police clash caused by the accumulation of disappointment and aggravation of soldiers in the field who failed to anticipate the work unit. This is also compounded by the lack of a chain of command that should be held centrally by the executor center or headquarters.
On the other hand, the clashes between members of the military and the National Police are caused by competition partner between the two security officers. On the other hand, the position of the military who made the object of the law, often make the soldiers feel to discrimination in a legal proceeding.
Solution
As threats both in defense and security sector, the task of the military and police would also be more severe in the future. Both these institutions must not only counteract the growing domestic threat, but also must be able to anticipate the social politics dynamics, both domestically and internationally. This inevitably requires professionalism military personnel and police are increasingly higher.
To address the chronic condition that has occurred then the lack of education and lack of supervision in the ranks in the field should be followed up with efforts to improve the existing system, both education and supervision. Without it, will still be a gap between assets available human resources and the demands of existing .
Furthermore, the leadership ranks of the military and police clear sense of mission and a great responsibility to perform the functions of education and supervision of subordinates. Going forward, the chain of command must also clearly held, so there is no longer a search scapegoat or the reasons for unsuccessful the command leader both at national and local levels to control the behavior of the soldiers in the field.
Defense Analysis is providing the analysis about the contemporary development of defense world. The Analysis that presented in here are consist of global, regional and national Indonesia. Defense Analysis also offering consultancy services and defense application including policy analysis and recommendation, monitoring and evaluation, security survey etc. Further Information please contact us at defenseanalysis@gmail.com or davidrajamarpaung@gmail.com.
Wednesday, November 26, 2014
Ancaman Terhadap Kedaulatan : Bentrok TNI VS Polri
Ancaman Terhadap Kedaulatan
Bentrok TNI VS Polri
Oleh David Raja Marpaung
Masalah konflik antara pasukan di tubuh Polri dan TNI kini sudah mencapai tahap kronis. Dalam setahun terakhir saja sudah terjadi lima kali bentrok antar pasukan, dan setidaknya 10 orang menjadi korban dalam bentrok tersebut, baik di tubuh Polri maupun TNI. Hal ini tentunya membawa keprihatinan tersendiri. Ternyata proses reformasi di sektor pertahanan dan keamanan belumlah selesai dan dapat dikatakan sebagian besar gagal.
Era reformasi meletakkan TNI keluar dari peran sosial politiknya. Dwi Fungsi Tni dihapuskan dan sebagai konsekuensinya, peran tentara sangat dominan di masyarakat kini digantikan oleh Polri. Polri, yang tadinya merupakan bagian dari TNI,
sekarang memiliki kekuasaan yang sangat besar. Di sisi lain, para perwira, yang tadinya sekolah
bersama di akademi, kini sudah terpisah.Kerekatan antar dua tubuh ini pun otomatis juga merenggang
Dengan disyahkannya UU pertahanan, UU TNI, dan UU Kepolisian menmbuat jalur tegas dikotomi antara pertahanan dan keamanan. UU Kepolisian meletakkan Polri sebagai pemegang kekuasaan atas keamanan dan penegakan hukum, jauh lebih luas dari perannya sebelum era reformasi 1998. Sedangkan TNI dapat dikatakan kembali ke barak, dan hanya memegang fungsi pertahanan saja.
Berdasarkan fakta-fakta yang ada, bentrokan TNI dan Polri
terjadi akibat akumulasi kekecewaan dan kejengkelan prajurit di
lapangan yang gagal diantisipasi satuan kerja. Hal ini juga diperparah dengan lemahnya rantai komando yang seharusnya dipegang secara tersentral oleh pelaksana pusat atau markas besar.
Di sisi lain, terjadinya bentrokan antara anggota TNI dengan Polri lebih
banyak disebabkan oleh perebutan partner antara kedua aparat keamanan
itu. Di sisi lain, kedudukan TNI yang dijadikan obyek hukum, seringkali membuat prajurit TNI merasa diperlakukan
diskriminatif dalam suatu proses hukum.
Solusi Ke Depan
Seiring ancaman baik di sektor pertahanan dan keamanan, maka tugas TNI dan Polri tentunya juga akan semakin berat ke depan. Kedua institusi ini bukan hanya harus menangkal ancaman domestik yang kian berkembang, melainkan juga harus mampu mengantisipasi dinamika sosial-politik,
baik domestik maupun internasional. Mau tidak mau ini
menuntut profesionalisme personel TNI dan Polri yang makin tinggi pula.Untuk menyikapi kondisi kronis yang sudah terjadi maka rendahnya pendidikan dan kurangnya pengawasan pada jajaran di lapangan harus ditindaklanjuti dengan upaya memperbaiki sistem yang ada, baik pendidikan maupun pengawasan.Tanpa itu, akan tetap terjadi kesenjangan antara aset sumber daya manusia yang tersedia dan tuntutan kebutuhan yang ada.
Selanjutnya, jajaran pimpinan TNI dan Polri jelas punya misi dan tanggung jawab besar untuk melakukan fungsi pendidikan dan pengawasan terhadap para bawahannya. Ke depan, rantai komando juga harus jelas dipegang, sehingga tidak ada lagi pencarian kambing hitam atau alasan-alasan atas ketidak berhasilan para pemipin komando baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengontrol tingkah laku para prajurit di lapangan.
Monday, November 10, 2014
Posisi Indonesia atas Konflik Laut Tiongkok Selatan
Posisi Indonesia atas Konflik Laut Tiongkok
Selatan
Oleh David Raja Marpaung *
Potensi
konflik di Laut Tiongkok Selatan (LTS) cenderung meningkat Ketegangan antar negara
yang mengklaim wilayah di LTS belum juga mereda. Intensitasnya bahkan
menunjukkan grafik yang meningkat. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara
yang bersinggungan langsung dengan LTS, harus menunjukkan sikap aktif, sebelum
terjadinya penggunaan kekuatan militer antar negara yang bertikai.
Istilah konflik di LTS sebetulnya
merujuk pada gugusan kepulauan Paracels yang masih dipersengketakan oleh tiga
negara (China, Vietnam, dan Taiwan), dan kepulauan
Spratly yang dipersengketakan oleh enam negara (China, Taiwan, Vietnam,
Filipina, Malaysia, dan Brunei). Namun, kepulauan Spratly merupakan titik api
yang paling potensial untuk berkembang menjadi wilayah konflik militer di masa
depan, tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan
keenam negara, tetapi juga karena adanya kepentingan negara-negara besar
(Jepang, AS, Rusia) di perairan tersebut.
Seiring dengan mencuatnya
kabar mengenai kekayaan sumber daya alam yang berada di Laut Tingkok Selatan,
sejumlah aksi agresif dilakukan oleh negara-negara yang berbatasan langsung. Klaim
tersebut merujuk hingga kepada faktor historis, perhitungan ekonomi dan
pertimbangan geostrategis dari negara-negara yang terlibat
Posisi Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara memang tidak
terlibat secara langsung di dalam konflik perebutan wilayah di Laut Tingkok Selatan.
Namun, sesungguhnya konflik LTS terkait dengan kedaulatan Indonesia. Hal tersebut karena
karena wilayah yang disengketakan bersinggungan langsung dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di kepulauan
Natuna.
Atas
Pertimbangan tersebut, konflik ini diperkirakan akan menimbulkan sebuah kekacauan
atau chaos apabila dibiarkan semakin
memuncak. Sehingga, walaupun Indonesia bukan merupakan aktor yang langsung
terlibat di dalam sengketa wilayah ini,akan tetapi Indonesia memiliki potensi
untuk menjadi aktor kunci yang dapat memberikan peran secara konstruktif dalam
upaya penyelesaian masalah LTS secara damai.
Dengan
politik luar negeri bebas akfti, posisi yang diambil Indoinesia adalah melakukan
diplomasi preventif. Metode utama adalah dengan membangun serta meningkatkan rasa
saling percaya (confidence building measures) antara pihak-pihak yang
bertikai. Indonesia berkepentingan untuk mencegah terjadinya kekerasan
bersenjata di wilayah LTS, mengingat hal ini akan mengakibatkan kerugian yang
besar khususnya dalam kerjasama ekonomi dan hubungan Internasional di kawasan
ASEAN.
Solusi yang diawarkan Indonesia
Indonesia secara aktif mengupayakan
perdamaian dalam setiap penyelesaian masalah terkait politik luar negeri.
Diplomasi damai yang dipakai Indonesia merujuk pada Griffiths yang
menyatakan diplomasi menjadi salah satu faktor determinan bagi negara untuk
mencapai kepentingannya dan menjalin hubungan baik dengan negara lainnya.
Diplomasi menjadi alat yang digunakan negara untuk menjalankan misinya tanpa membangkitkan rasa permusuhan
dengan negara lain.
Salah
satu jenis diplomasi yang sering digunakan adalah diplomasi preventif.
Diplomasi preventif mulai berkembang setelah Perang Dingin. Diplomasi ini
cenderung lebih banyak dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga. Diplomasi ini bertujuan untuk
mencegah timbulnya konflik yang berpotensi hingga perang senjata.
Diplomasi preventif secara umum digunakan untuk mencegah keterlibatan negara-negara adidaya yang mencoba
untuk melakukan intervensi
Salah
satu bukti nyata keberhasilan Indonesia dengan penggunaan diplomasi
preventif adalah dengan terciptanya Declaration
onThe Conduct of The Parties in the South China Sea pada tahun 2002.
Deklarasi ini dianggap sebagai implementasi dari perspektif luar negeri
Indonesia yang dikenal dengan “Doktrin Natalegawa” (Dynamic Equilibrium) atau keseimbangan
dinamis. Perspektif dynamic equilibrium memiliki
dua termin penting. Pertama, dynamic
merujuk pada dinamisme politik global. Marty Natalegawa selaku Menteri Luar Negeri Indonesia
memaknai dinamisme politik global sebagai sebuah hal yang selalu terjadi.
Artinya, negara-negara di dalam politik global selalu mengalami perubahan
baik dalam hal kekuasaan, kekuatan, maupun pengaruh. Termin
kedua adalah equilibrium
atau keseimbangan yang berarti tidak ada kekuatan yang dominan
yang berlandaskan tiga prinsip utama; yakni keamanan bersama (common security), kestabilan bersama (common stability), dan kesejahteraan
bersama (common prosperity)
Perspektif
baru kebijakan luar negeri dynamic
equilibrium menjadi preferensi Indonesia untuk menjawab berbagai
persoalan yang muncul sehubungan dengan konflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan.
Impelentasi
nyata dalam konflik di LTS adalah dengan menjaga perdamaian dan mengubah
potensi konflik menjadi potensi kerjasama melalui sejumlah perundingan damai
demi terselenggaranya kerjasama yang aktif, produktif dan efektif antar negara
yang terlibat.
ASEAN sebagai Wadah
Komunikasi
Sekretaris Jenderal ASEAN Le Luong Minh dalam
paparan ringkasan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-24 ASEAN pad bulan Mei
2014 lalu; menyatakan mendukung penuh
penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan meski diakui situasi konflik terus
memanas.
Dalam menghadapi masalah klaim di
Laut Tiongkok Selatan, ASEAN harus tampil sebagai "an honest broker" atau
peredam konflik. Keterlibatan beberapa negara ASEAN dalam sengketa Laut
Tiongkok Selatan, menjadi semakin penting dilakukannya perundingan damai secara
terus-menerus. Terutama ketika harus berhadapan dengan Cina yang mengklaim
seluruh LTS.
Sebenarnya, ASEAN sudah
berhasil menandatangani code of conduct atau
kode perilaku dengan Cina tahun 2002. Berdasarkan perjanjian itu, negara-negara
yang mengklaim sepakat menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi dengan
cara damai tanpa penggunaan kekerasan, dan melalui perundingan. Tetapi intensitas
konflik akhir-akhir ini menunjukkan Vietnam, Filipina, dan Cina tidak mematuhi
semangat kesepakatan tersebut
Untuk meredam maslah konflik LTS akhirnya ASEAN berusaha
membuat komunike bersama antara nagara-negara ASEAN dengan Cina. Komunike
bersama itu merupakan wujud kesepakatan 10 tahun yang tidak mengikat antara
China dan ke-10 negara anggota agar menangani klaim perebutan LTS secara damai.
Namun hingga kini, komunike tersebut belumlah terwujud. Dengan kegagalan tercapainya komunike bersama tersebut,
maka hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi ASEAN. Lembaga ini harus
membuktikan ke depan; apakah masih bisa menjadi wadah aktif komunikasi antar
negara di Asia tenggara dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi.
Apabila tidak, maka ASEAN akan ditinggalkan atau minimum tidak dianggap lagi
oleh para negara anggota.
*Tulisan ini sudah dipublikasikan pada salah satu media cetak nasional
Subscribe to:
Posts (Atom)