Membangun
Keperecayaan Jakarta-Papua
Oleh David Raja Marpaung
Salah
satu isu atau tema penting dalam politik di Indonesia ialah rendahnya kepercayaan antara Jakarta dan Papua. Dua faktor utama
ketidakpercayaan ini adalah rakyat papua menganggap pemerintah pusat atau
Jakarta sebagai penipu yang suka mengumbar janji dan tidak konsisten
melaksanakan berbagai kebijakan yang telah dibuat. Di sisi lain, pemerintah
Jakarta hingga kini masih menaruh rasa curiga yang besar pada rakyat Papua yang
dikenai stigma sebagai separatis, serta adanya upaya sistematis menghambat
karier orang Papua dalam politik dan pemerintahan.
Kecurigaan
ini jelas merupakan hal yang salah. Pemerintah pusat atau Jakarta seharusnya
berusaha melindungi setiap warga Negara Indonesia tanpa memandang asal sukunya,
serta memberikan kesmpatan yang sama untuk hidup dan berkarya. Di lain sisi,
sikap orang Papua yang sudah antipati dan terkesan enggan memberikan kesempatan
lagi kepada pemerintah pusat juga tidak benar. Harus ada koordinasi pembagunan
antara pusat dan daerah dalam sinergi yang saling menguntungkan.
Salah
kegagalan pembangunan Papua yang memancing banyak konflik dan berujung pada
ketidak percayaan adalah pelaksanaan otonomi khusus, yang sebenarnya bertujuan
mensejahterakan rakyat. Otonomi
khusus (otsus) telah dilaksanakan di Papua sejak 2001. Sejak otsus berjalan,
kucuran dana dari pemerintah pusat melalui dana alokasi umum (DAU), dana
alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus, serta dana tambahan infrastruktur
terus meningkat. Total dana otsus yang telah dikucurkan sejak 2002 sampai 2011
mencapai 32 triliun rupiah, namun mayoritas rakyat di Papua masih bergelut
dengan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Papua mencapai 944 ribu jiwa atau
32 persen dari total penduduk. Sementara rata-rata angka penduduk nasional
ialah 12 persen. Hal ini berarti
persentase orang miskin di Papua mencapai tiga kali lipat dibandingkan
rata-rata provinsi lainnya. Suatu hal yang memilukan bagi daerah yang memiliki
kekayaan sumber daya alam yang begitu melimpah.
Untuk membangun kembali kepercayaan
antara Jakarta dan Papua, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang.
A.
Solusi Jangka Pendek
Dalam periode jangka pendek, ada dua hal yang
harus mendapatkan perhatian para pemangku kepentingan dalam konflik di Papua.
Tahap
1. Desekuritisasi Konflik Papua
·
Harus dicatat bahwa desekuritisasi bukan
berarti pengurangan secara total aparat keamanan di Papua. Akan tetapi,
desekuritisasi merupakan model pendekatan keamanan yang lebih sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi dan resolusi konflik damai. Terkait dengan TNI maka
desekuritisasi mencakup TIGA aspek utama. Pertama, setiap penempatan (deployment) personel TNI di Papua harus
melalui keputusan politik antara pemerintah dan DPR atau sesuai dengan
mekanisme yang diamanatkan UU TNI. Ini penting untuk menghindari terjadinya
perilaku/operasi yang illegal. Kedua, penempatan personel TNI di
Papua harus terukur baik itu kuantitas, kualitas, durasi dan target operasinya
sehingga masyarakat Indonesia secara keseluruhan dapat mengawasi kinerja TNI di
Papua. Kemudian, ketiga, TNI harus sedapat mungkin menggunakan
pendekatan-pendekatan non-kekerasan (lebih persuasif ketimbang represif) di
Papua. Hal ini sangat penting, mengingat wajah ‘Indonesia’ di Papua seringkali
dikenali hanya sebatas kekerasan aparat bukan sebagai entitas yang melindungi
segenap rakyat Papua.
·
Terkait dengan aparat penegak hukum
(kepolisian) maka mereka harus sesegera mungkin mengevaluasi kebijakan
pengamanan di Papua. Seringkali, aparat penegak hukum bertindak tidak sesuai
dengan identitasnya sebagai aparat negara khususnya dalam konteks kepentingan
korporasi asing di Papua. Akibatnya, tidak mengherankan ketika masih ada rakyat
Papua yang beranggapan bahwa aparat penegak hukum di Indonesia adalah bentuk
‘penjajahan’ terhadap tanah Papua bukan ‘Ke-Indonesia-an’ karena rasa keadilan
mereka dicederai. Praktek diskriminatif oleh aparat ini harus dievaluasi oleh
pemerintah karena akan semakin memperburuk wajah ‘Indonesia’ di Papua.
·
Selain itu, Pemerintah dapat menggunakan
instrumen kontrol internal dalam mengawasi kinerja aparat negara di Papua,
misalnya dengan menempatkan perwakilan/kantor Komnas HAM,
Ombudsman, Kompolnas, LPSK
di Papua; Hal ini dapat efektif sebagai lembaga negara
yang bertugas memberi koreksi kepada lembaga negara lainnya sekaligus memberi
rasa aman bagi rakyat Papua.
·
Secara strategis, desekuritisasi akan
menumbuhkan rasa saling percaya baik itu antara pemerintah dan rakyat Papua
bahwa konflik dapat diselesaikan tanpa adanya rasa saling curiga lewat dominasi
pendekatan keamanan. Hal ini kemudian mendorong terbentuknya tahap berikut.
·
Tahap
2. Memperkuat wacana Dialog sebagai resolusi konflik
·
Baik itu pemerintah pusat dan rakyat Papua
harus sadar bahwa dialog adalah model resolusi konflik yang menempati prioritas
utama. Pemerintah harus berbesar hati untuk menyadari bahwa selama ini telah
terjadi marjinalisasi secara politik, sosial, ekonomi dan budaya terhadap
rakyat Papua dalam konteks Ke-Indonesia-an. Sementara itu, rakyat Papua juga
harus menyadari bahwa jalan kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk
mengingatkan kelalaian pemerintah tersebut. Membangun kesadaran ini merupakan
kunci bagi kedua belah pihak (pemerintah dan rakyat Papua) untuk dapat duduk
bersama dan membicarakan solusi yang bisa ditawarkan.
·
Wacana dialog harus mendapatkan legitimasi
dari kedua belah pihak, bukan dari satu pihak semata untuk menghindari
terjadinya politisasi upaya damai dari salah satu pihak.
B.
Solusi Jangka Panjang
Ketika desekuritisasi konflik Papua telah
diterapkan dan wacana dialog semakin menguat, maka tahapan berikutnya adalah
melaksanakan dialog yang mencakup tiga tahap:
Tahap
1. Identifikasi aktor dan isu dalam Dialog
·
Dalam konteks dialog, identifikasi aktor
menjadi proses awal yang akan menentukan legitimasi dari dialog tersebut. Hal
ini penting untuk mencegah adanya pihak-pihak yang merasa disisihkan dari
resolusi konflik dan berpotensi mengacaukan dialog.
·
Identifikasi aktor tersebut harus secara
hati-hati mempertimbangkan isu yang akan dibicarakan dan kepentingan yang akan
dinegosiasikan dalam dialog.
·
Selain itu, perlu juga diperhatikan mengenai
lokasi dialog yang representatif serta mediator sebagai pengamat/pihak yang
menjaga agar agenda dialog tetap konsisten.
Tahap
2. Pentingnya Rekonsiliasi dalam Dialog
·
Tujuan utama dialog adalah membangun rasa
saling percaya antara aktor yang berkonflik agar mau membicarakan solusi konflik
yang dapat disepakati bersama.
·
Salah satu unsur utama untuk membangun rasa
saling percaya tersebut adalah melalui rekonsiliasi.
·
Rekonsiliasi mensyaratkan adanya pemahaman
bersama antara pihak yang berkonflik bahwa mereka adalah ‘korban’ dari konflik
dengan kekerasan yang terjadi.
·
Oleh karena itu, upaya menyelesaikan konflik
dengan jalan kekerasan hanya akan menambah korban dimasing-masing pihak tanpa
ada solusi yang konstruktif untuk masa depan Papua.
Tahap
3. Membangun Pemahaman bahwa Dialog bersifat keberlanjutan (kontinuitas)
·
Dialog bukanlah cara cepat (instant) untuk menyelesaikan konflik.
Akan tetapi, dialog adalah cara mengelola konflik yang lebih bermartabat
ketimbang menggunakan kekerasan yang hanya akan menimbulkan kerugian pada
masing-masing pihak.
·
Model cara berpikir (mindset) seperti ini harus mendominasi setiap aktor dalam dialog
agar tidak kembali lagi menggunakan kekerasan ketika terjadi deadlock dalam negosiasi. Diharapkan
ketika terjadi deadlock dalam
negosiasi, maka setiap aktor harus menahan diri dan mengagendakan kembali
dialog dengan pikiran yang lebih jernih.
Kunci
Keberhasilan Resolusi Konflik di Papua
·
Resolusi konflik di Papua bukan hanya milik
pemerintah Pusat dan Rakyat Papua semata, akan tetapi tanggung jawab seluruh
rakyat Indonesia. Disini, pentingnya memperkuat kesadaran dari seluruh rakyat
Indonesia bahwa identitas ‘Ke-Indonesia-an’ di Papua telah tersandera oleh aksi
kekerasan dalam konflik. Oleh karenanya, upaya perdamaian non-kekerasan untuk
konflik di Papua harus mendapatkan dukungan penuh dari seluruh rakyat
Indonesia.
·
Sebagai sebuah negara yang demokratis, maka
cara-cara penyelesaian konflik lewat kekerasan di Indonesia sudah sepatutnya
tidak menjadi prioritas. Sebaliknya, penyelesaian konflik harus menempatkan cara-cara
damai khususnya melalui dialog. Baik itu pemerintah maupun kelompok-kelompok
yang terlibat dalam konflik di Papua harus menghentikan semua aksi kekerasan
dengan alasan apapun.
Catatan
Penutup
·
Penyelesaian konflik di Papua adalah salah
satu ujian besar bagi Bangsa Indonesia untuk mampu menyelesaikan konflik secara
bermartabat. Dalam konteks ini, setidaknya Indonesia telah memiliki pengalaman
dalam menyelesaikan konflik di Aceh secara damai.
·
Bertumpu hanya pada pemerintah semata tidak
akan menjamin bahwa masalah Papua dapat diselesaikan secara damai. Akan tetapi,
yang lebih penting lagi adalah memperkuat solidaritas dan soliditas seluruh
elemen Bangsa Indonesia untuk mendukung dan terlibat secara nyata (konkret)
dalam upaya resolusi konflik yang bermartabat untuk saudara-saudara kita di
Papua.
No comments:
Post a Comment