Kebijakan Maritim Era Jokowi
Oleh David Raja Marpaung
(email:davidrajamarpaung@gmail.com)
Kebijakan geopolitik maritim
merupakan sebuah kebijakan yang potensial dan paling komprhensif bagi Indonesia untuk dikembangkan. Kebijakan
ini di dasarkan pada asumsi negara bahwa
wilayah maritime merupakan kekuatan nasional selain aspek wilayah daratan.
Kondisi inilah yang dimanfaatkan
oleh Jokowi dengan munculnya kebijakan poros
maritimnya yang menunjukan keciri khas orientasi model kebijakan luar negeri Indonesia
di era Jokowi. Dengan bertumpu pada akses berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik membawa
Jokowi ingin mengembalikan Indonesia kepada identitas semula yakni sebagai
negara kepulauan dengan basis budaya maritim wawasan nusantara disertai dengan
segala kepemilikan potensi maritim terhadap 17.000 pulau lebih yang dimiliki
Indonesia.
Kebijakan politik luar negeri
Indonesia di era Jokowi terlihat jelas dari lembar visi dan misi pada halaman ke 6 yang sudah
bahwa orientasi kebijakan politik luar negeri
Jokowi pada geopolitik maritim. Konsep ini mengadopsi teori geopolitik Alfred Thayer Mahan sebagai pelopor orientasi maritim
yang membuktikan bahwa kekuatan laut
merupakan instrumen negara untuk menguasai dunia dalam paradigma geopolitik maritim.
Terbukti dengan pengelola
an laut yang baik oleh Amerika
Serikat sebagai orientasi kekuatan sumber ekonomi dan pertahanan negara dimasa
itu.
Keseriusan Jokowi untuk
mengkapitalisasi potensi maritim nasional didukung oleh terbentuknya Badan Keamanan Laut melalui
Instruksi Presiden no 178 tahun 2014 serta terbentuknya Kementrian Koordinator
Bidang Maritim dan Sumberdaya RI sesuai Inpres
nomor 10 tahun 2015. Terbentuknya dua intansi tersebut yakni Kementrian Koordinator Bidang Maritim yang membawahi
empat kementrian yakni Kementrian ESDM, Kementrian Kelautan dan Perikanan,
Kementrian Pariwisata, Kementrian Perhubungan.
Arah kebijakan politik luar negeri
Jokowi membawa Indonesia memasuki abad “geopolitics”.
Konsep ini didasarkan pada transformasi sifat negara yang libensraum, dimana
setiap negara berlomba memperebutkan kekuasan dominasi baik negara kecil
maupun negara besar dalam spasial
dunia. Pendekatan ini mengacu pada hubungan keseluruhan antara politik dan geografi,
ekonomi dan secara khusus berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri suatu negara.
Knox Paul bahwa “is the state ‘s power to control space and territory and shape foreign
policy of individual states and international political relations.”
Berhubungan
dengan batas laut Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau namun yang terdaftar di PBB baru 13.466 dan dari 92 pulau
terluar Indonesia ada 31 pulau yang
tidak berpenghuni. Dengan kondisi ini, Indonesia harus terlibat sengketa
wilayah laut dengan beberapa negara ASEAN termasuk Tiongkok, Australia, India,
Palau, Timor Leste yang sampai saat ini
dari semua sengketa tersebut belum ada kesepakatan secara resmi untuk semua jenis sengketa baik sengketa laut territorial,
laut ZEE dan landasan kontinen.
Realitas
ini tidak bisa dipungkiri tentunya akibat letak geopolitik Indonesia sebagi
negara pulau. Berbicara tentang pengaruh geopolitik ini menjadikan salah satu
sebab sengketa antar negara. Geopolitik menyangkut struktur negara, bentuk
negara, sehingga menjadikan negara
tersebut meng ambil kebijakan luar negerinya berdasarkan realitas fisik negaranya.
Kondisi harus disikapi dengan baik oleh pemerintah dalam level global governance agar isu ini menjadi fokus
bersama .
No comments:
Post a Comment