Revolusi Mental Bagi Bangsa Indonesia
Oleh
David Raja Marpaung[1]
Tanggal 9 Juli 2014 merupakan sebuah
momentum besar bagi Bangsa Indonesia. Setelah dua periode yang sangat
mengecewakan, terutama di bidang kepemimpinan dan penghapusan korupsi, maka
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden mendatang merupakan kesempatan untuk
bangkitnya Bangsa dan Negara Indonesia.
Indonesia di masa yang datang harus
siap menghadapi ancaman yang dapat mengoyak kesatuan bangsa baik sebagai
entitas, maupun sebagai sebuah struktur kenegaraan. Krisis kepemimpinan menjadi
masalah yang begitu parah. Hampir tidak ada lagi elit politik yang dapat dipercaya
masyarakat. Para elit politik baik di pusat maupun di daerah sudah diidentikan
dengan korupsi dan rendahnya moralitas. Menteri Pemuda dan Olahraga dan Menteri
Agama sudah ditetapkan terkait kasus korupsi. Kondisi ini diperparah dengan 325
kepala daerah; dari tingkat gubernur hingga bupati atau walikota yang sudah terjerat
hukum, kebanyakan karena kasus korupsi.
Dengan
krisis kepemimpinan ini, maka masa transisi ke depan tidak lah mudah. Pemipin
yang nantinya akan terpilih tentu saja akan bertemu dengan para
politisi-politisi kotor; yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, serta
menghalalkan berbagai cara untuk meraih kekuasaan dan kekayaan. Untuk menghadapi “kekotoran” dalam
berpolitik, maka pemimpin masa depan harus memiliki prinsip atau nilai yang
menjadi panutan bagi masyarakat, sehingga kesempatan untuk membangun karakter
pemimpin yang baik dan penghapusan korupsi dapat diwujudkan. Tiada kata lain “Revolusi Mental” merupakan suatu hal
yang dilakukan, terutama bagi sang pemimpin.
Revolusi Mental bagi Indonesia
Kebangkutan sebuah bangsa atau
negara dimulai dari kebangkrutan moral. Ketika sebuah bangsa sudah kehilangan
pegangan nilai, maka hal buruk dapat dimanifestasikan sebagai sesuatu yang
baik. Demikian juga, hal yang baik dapat diinterpretasikan sebagai hal buruk
yang bersifat mengancam.
Mentalitas buruk yang paling
menonjol dari pemimpin kita adalah memiliki etos kerja yang minim, senang
dipuji, senang dilayani, suka dan pamer akan kemewahan, suka jalan pintas untuk
mencapai suatu tujuan, dan sifat-sifat buruk lainnya. Akibat dari mentalitas
buruk ini adalah korupsi dan inefisiensi. Korupsi merebak di mana-mana, dari tingkat
istana pusat hingga abdi masyakat di kelurahan/desa, dan terjadi dari Aceh
hingga Papua. Inefisiensi terjadi karena birokrasi yang lamban, suka disuap,
dan tidak menyadari tugas sebagai pelayan rakyat.
Banyak masyarakat yang sudah muak
dan jenuh akan kondisi ini. Kebanyakan dari mereka tahu bahwa untuk menjadi
hebat di level dunia, maka bangsa ini harus terlebih dahulu memiliki moralitas
yang baik. Untuk itu, dibutuhkan suatu revolusi mental yang dapat megikis
korupsi dan efisiensi di pemerintahan yang akan datang.
Konsep revolusi mental pada awalnya
didengungkan oleh seorang ahli manajemen Frederick W Taylor pada 1912. Dalam
karyanya “Scientific Management”, ia menegaskan perlunya ada revolusi mental
dalam era baru manajemen industri. Pada intinya ia menekankan harus adanya
perubahan besar dan mendasar antara para pekerja dan manajemen perusahaan untuk
mencapai tujuan industri yang baru. Etos kerja harus diubah, mental atau nilai
pekerja yang revolusioner , hubungan industrial yang lebih baik, dan lain lain.
Dalam level nasional, atau berbangsa
dan bernegara, hal ini dapat diimplementasikan dalam perubahan etos kerja
birokrat yang lebih baik, perubahan mental atau nilai kewarganegaraan yang
revolusioner, serta hubungan antara masyarakat yang salaing mendukung.
Perubahan mendasar pada etos
kerja birokrat yang lebih baik ialah mengingatkan dan mengembalikan kembali
posisi mereka sebagai abdi atau pelayan masyarakat. Dalam aplikasi sederhana,
para pegawai negeri harus masuk kerja dan pulang kerja tepat pada waktunya atau
on time. Kedua, proses birokrasi
harus disederhanakan atau dibuat dalam satu atap. Ketiga, menghapus adanya
pungutan liar atau tidak resmi dalam pengurusan administrasi dan perizinan.
Keempat, menghapus korupsi dalam setiap proyek pengadaan dan proyek kerja yang
melibatkan aparat pemerintah. Kelima, tranparansi dalam pelaporan keuangan yang
dapat diakses oleh masyarakat.
Revolusi mental dalam
kewarganegaraan ialah menanamkan rasa kecintaan dan kebanggan sebagai warga
negara, serta kewajiban yang harus dijalankan dalam masyarakat. Apabila warga
negara memiliki rasa kecintaan yang besar bagi negaranya, maka tidak dapat
diragukan bahwa mereka rela berkorban bagi kepentingan bangsa dan negara. Nilai
kewargangeraan berikutnya adalah adanya rasa memiliki, apabila masyarakat
merasa memiliki negara Indonesia, maka mereka akan mau dan berinisiatif untuk
membela Indonesia.
Revolusi mental berikutnya ialah
membangun hubungan yang baru antara masyarakat dan Pemerintah Indonesia. Untuk
ini, dibutuhkan rasa saling menghormati dan percaya di kedua belah pihak.
Pemerintah harus tahu bahwa mereka dibiayai oleh dana rakyat, oleh karena itu
mereka harus bekerja seoptimal mungkin bagi kesejahteraan rakyat. Pemerintah
juga harus rela dan mau dikontrol dan diawasi oleh masyarakat, jangan sampai
ada mental bobrok yang suka menyembunyikan kebohongan dan korupsi. Masyarakat
juga harus belajar menghargai dan mempercayai masyarakat, sehinga tercipta
sinergi dalam setiap rancangan pembangunan yang telah ditetapkan. Masyarakat
juga harus berpartisipasi aktif dalam program-program yang memang harus
melibatkan masyarakat. Dengan hubungan yang baru antara pemerintah dan
masyarakat, maka program-program yang terancang dapat tercapai, dan pada
akhirnya tercapai negara kuat dan rakyat sejahtera.
Tanpa memihak salah satu kandidat
pasangan calon presiden dan wakil presiden, maka revolusi mental harus
dilaksanakan oleh siapa saja pemimpin yang nanti akan terpilih. Revolusi mental
mutlak diperlukan dalam krisis kepemimpinan dan era kebobrokan korupsi yang
kian tidak terkendali. Dengan revolusi mental, maka secercah harapan akan
Negara dan Bangsa Indonesia yang sejahtera, mandiri, adil, dan bersih dapat tercapai.
[1]
Penulis adalah co-leader pada Central for Defense and Security Management.
Dapat dihubungi pada email : davidrajamarpaung@gmail.com.
Tulisan ini telah dipublikasikan pada
salah satu media cetak nasional