Tuesday, August 19, 2014

Pentingnya Kelanjutan MEF di Masa Mendatang



Pentingnya Kelanjutan MEF di Masa Mendatang
Oleh David Raja Marpaung[1]

            Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah menetapkan program revitalisasi dan modenisasi TNI yang bernama Minimum Essential Force (MEF) atau postur atau kekuatan pertahanan mimimum pada tahun 2009. Program ini berjalan pada tiga fase. Fase pertama ialah pada tahun 2009 hingga 2014. Fase kedua pada 2015-2019, dan fase terakhir pada 2020-2024. Dengan pergantian pemerintahan pada tahun ini, maka akan menjadi pertanyaan dan sorotan banyak pihak baik di lingkungan nasional maupun internasional; apakah program MEF ini akan dilanjutkan? Hal ini menjadi sangat krusial mengingat kondisi alutsista TNI yang sudah lama tidak ada peremajaan, serta perimbangan dengan kekuatan militer negara-negara tetangga yang semakin jauh melesat dari kekuatan TNI, ditambah dengan potensi konflik atas penguasaan wilayah Laut Cina Selatan.

MEF adalah Kekuatan Minimum
            Dari nama programnya saja yang bernama Minimum Essential Force atau Postur/kekuatan pertahanan minimum, ini berarti bahwa hasil dari modernisasi alutsista tersebut ialah kekuatan minimum yang diperlukan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Salah satu contoh minimum ialah, kekuatan pesawat tempur untuk menjaga wilayah Indonesia Timur idealnya adalah satu kuadron pesawat tempur kelas utama, dan dua skuadron kelas pertama. Dalam artian; Indonesia Timur harus dijaga oleh satu skuadron pesawat tempur kelas Sukhoi SU 30 dan dua skuadron F-16. Namun fokus pemerintah kini baru akan melengkapi satu skuadron sukhoi di Makassar.
            Contoh lainnya adalah, untuk melindungi luas wilayah laut Indonesia yang mencapai 3.287.010 km2, maka idealnya diperlukan 12 buah kapal selam. Namun kini TNI hanya memilki dua kapal selam buatan jerman tahun 1981 yakni KRI Cakra 401 dan KRI Nangalla 402 , dan tengah menanti tiga kapal selam baru kelas Changbogo buatan Korea.
            Untuk angkatan darat, sudah mnjadi rahasia umum bahwa kondisi alutsistanya sangat memprihatinkan. Teknologi senjatanya masih mengandalkan kemampuan tempur generasi pertama yang masih mengandalkan manusia sebgai kekuatan utama. Padahal di negara maju dan tetangga seperti Malaysia dan Singapura, kekuatan tempur Angkatan Darat mereka sudah kekuatan peperangan generasi ketiga yang mengandalkan teknologi senjata dan teknologi Informatika. Bahkan khusus untuk Singapura, tentara mereka sudah mencapai teknologi untuk peperangan generasi keempa, yakni  peperangan asimetris dan non-linier yang menggunakan seluruh sarana prasarana dan sistem senjata, yang ditujukan untuk menghancurkan kemauan bertempur musuh
            Dengan demikian, walaupun target modernisasi MEF tercapai, dapat dikatakan kekuatan militer kita sesungguhnya masih dalam batas untuk mengamankan kedaulatan wilayah saja. Hal ini linear dengan pernyataan Presiden SBY yang beberapa kali menyatakan bahwa kekuatan militer Indonesia bersifat defensive atau bertahan, dan bukannya offensive atau menyerang.

Prioritas Anggaran
            Mengapa pemerintah menyatakan minimum? Hal ini dikarenakan keterbatasan dana dan juga prioritas dalam program pembangunan pemerintah. Pembangunan di sector pertahanan sangat berbeda denagn pembangunan di sektor ekonomi, dan juga kesehatan. Pembangunan TNI pada dasarnya tidak dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat, namun seungguhnya harga dari sebuah kedaulatan dan rasa aman dari invasi, siponase, sabotase, atau invasi asing sesungguhnya sangatlah mahal.
            Hal ini sangat berbeda dengan pembangunan pada bidang ekonomi yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, misalnya dengan penyerapan tenaga kerja, peningkatan penghasilan, hingga jumlah tabungan yang terus bertambah. Begitu juga di sektor kesehatan yang sangat kasat mata seperti pembangunan rumah sakit dan puskesmas, penyediaan alat-alat kesehatan yang modern, hingga adanya tenaga dokter yang professional untuk memberikan pelayanan kesehatan maksimum bagi Indonesia.
            Namun sesungguhnya prioritas pembangunan anggaran tidak dapat disederhanakan secara mudah. Harus dapat dilihat bahwa manfaat jangka panjang yang akan diterima, serta pengakuan sebagai sebuah negara yang berdaulat yang tidak terbayarkan.
            Bila dilihat dari anggarannya, maka anggaran pertahanan Indonesia saat ini yakni Rp 83 triliun hanyalah sekitar 0,8 hingga 0,9 persen dari total produk domestik bruto. Padahal idealnya, anggaran pertahanan  di negara-negara maju ialah pada kisaran 2 persen dari PDB. Bandingkan dengan anggaran pertahan Singapura yang mencapai 3,3 persen dari PDB.
            Rendahnya anggaran pertahanan menyebabkan upaya pencapaian MEF semakin sulit. Bahkan sesungguhnya apabila MEF benar-benar mau terwujud maka, kondisi ideal anggaran pembangunan pertahanan Indonesia dalam periode lima tahun kedepan diharapkan berkisar antara 3–4 persen dari PDB.

Manfaat MEF
            Pada akhinya, semua rakyat Indonesia akan bertanya; apakah manfaat dari program modernisasi alutsista dengan dana yang sedemikian besarnya dalam kurun waktu 15 tahun. Apakah dana yang sedemikian besar tersebut hanya untuk pamer kekuatan saja, atau adakah manfaat lebih yang akan diterima.
            Manfaat pertama dari modernisasi TNI ialah pemberdayaan dan pengelolaan perbatasan, serta pulau-pulau kecil  terluar. Dengan demikian tidak ada lagi pencaplokan wilayah oleh negara tetangga, pencurian kekayaan laut oleh nelayan asing, serta eksistensi kedaulatan di garis-garis terluar laut kita.
            Manfaat Kedua ialah kemandirian alutsista. Pengadaan beberapa jenis alutsista mewajibakan adanya alih teknologi (Transfer of Technology/ToT), atau juga produksi bersama (Join Production).  Pemerintah melalui Kemhan mendorong tumbuhnya industri dalam negeri, terutama industri pertahanan, bekerjasama dengan beberapa negara maju berencana membuat kapal selam, kapal permukaan tertentu dan pesawat tempur modern. Dengan demikian di masa depan, Indonesia dapat merawat dan memproduksi alutsisnya sendiri. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan industry pertahanan, antara lain PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL
            Manfaat Ketiga ialah pembangunan ekonomi pertahanan. Tujuan lain dari program MEF adalah Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dari alat-alat perang, namun akan menjadi produsen dari senjata-senjata tersebut.  Dengan pembangunan industri strategis dalam negeri, maka hal ini akan menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa bagi negara. Indoenesia juga akan dikenal sebagai negara penghasil teknologi, dan bukannya hanya sebagai penerima teknologi asing saja.
            Melihat manfaat yang ada, ternyata pada akhirnya pengeloaan anggaran pertahanan dengan baik, sesunggunya akan menggerakkan roda ekonomi Indonesia. Berkaca dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, mereka justru mendapatkan devisa yang besar dari menjual senjata dan teknologi pertahanan pada negara lainnya.



[1] Penulis adalah Co-Leader pada Center for Defense and Security Management, juga pengajar pada Lasalle College International. Dapat dihubungi di email:davidrajamarpaung@gmail.com

No comments:

Post a Comment