Pentingnya Kelanjutan MEF di Masa Mendatang
Oleh
David Raja Marpaung[1]
Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono telah menetapkan program revitalisasi dan modenisasi TNI yang bernama
Minimum Essential Force (MEF) atau postur atau kekuatan pertahanan mimimum pada
tahun 2009. Program ini berjalan pada tiga fase. Fase pertama ialah pada tahun
2009 hingga 2014. Fase kedua pada 2015-2019, dan fase terakhir pada 2020-2024.
Dengan pergantian pemerintahan pada tahun ini, maka akan menjadi pertanyaan dan
sorotan banyak pihak baik di lingkungan nasional maupun internasional; apakah
program MEF ini akan dilanjutkan? Hal ini menjadi sangat krusial mengingat
kondisi alutsista TNI yang sudah lama tidak ada peremajaan, serta perimbangan
dengan kekuatan militer negara-negara tetangga yang semakin jauh melesat dari
kekuatan TNI, ditambah dengan potensi konflik atas penguasaan wilayah Laut Cina Selatan.
MEF adalah Kekuatan Minimum
Dari nama programnya saja yang
bernama Minimum Essential Force atau Postur/kekuatan pertahanan minimum, ini
berarti bahwa hasil dari modernisasi alutsista tersebut ialah kekuatan minimum
yang diperlukan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu contoh minimum ialah, kekuatan
pesawat tempur untuk menjaga wilayah Indonesia Timur idealnya adalah satu kuadron pesawat tempur kelas
utama, dan dua skuadron kelas pertama. Dalam artian; Indonesia Timur harus
dijaga oleh satu skuadron pesawat tempur kelas Sukhoi SU 30 dan dua skuadron
F-16. Namun fokus pemerintah kini baru akan melengkapi satu skuadron sukhoi di
Makassar.
Contoh lainnya adalah, untuk melindungi luas wilayah laut Indonesia yang mencapai 3.287.010 km2,
maka idealnya diperlukan 12 buah kapal selam. Namun kini TNI hanya memilki dua
kapal selam buatan jerman tahun 1981 yakni KRI Cakra 401 dan KRI Nangalla 402 ,
dan tengah menanti tiga kapal selam baru kelas Changbogo buatan Korea.
Untuk angkatan darat, sudah mnjadi
rahasia umum bahwa kondisi alutsistanya sangat memprihatinkan. Teknologi
senjatanya masih mengandalkan kemampuan tempur generasi pertama yang masih
mengandalkan manusia sebgai kekuatan utama. Padahal di negara maju dan tetangga
seperti Malaysia dan Singapura, kekuatan tempur Angkatan Darat mereka sudah
kekuatan peperangan generasi ketiga yang mengandalkan teknologi senjata dan
teknologi Informatika. Bahkan khusus untuk Singapura, tentara mereka sudah mencapai teknologi untuk peperangan
generasi keempa, yakni peperangan
asimetris dan non-linier yang menggunakan seluruh sarana prasarana dan sistem
senjata, yang ditujukan untuk menghancurkan kemauan bertempur musuh
Dengan demikian, walaupun target
modernisasi MEF tercapai, dapat dikatakan kekuatan militer kita sesungguhnya
masih dalam batas untuk mengamankan kedaulatan wilayah saja. Hal ini linear
dengan pernyataan Presiden SBY yang beberapa kali menyatakan bahwa kekuatan
militer Indonesia bersifat defensive atau
bertahan, dan bukannya offensive atau
menyerang.
Prioritas Anggaran
Mengapa pemerintah menyatakan
minimum? Hal ini dikarenakan keterbatasan dana dan juga prioritas dalam program
pembangunan pemerintah. Pembangunan di sector pertahanan sangat berbeda denagn
pembangunan di sektor ekonomi, dan juga kesehatan. Pembangunan TNI pada
dasarnya tidak dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat, namun seungguhnya
harga dari sebuah kedaulatan dan rasa aman dari invasi, siponase, sabotase,
atau invasi asing sesungguhnya sangatlah mahal.
Hal ini sangat berbeda dengan
pembangunan pada bidang ekonomi yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat,
misalnya dengan penyerapan tenaga kerja, peningkatan penghasilan, hingga jumlah tabungan yang terus bertambah. Begitu juga
di sektor kesehatan yang sangat kasat mata seperti pembangunan rumah sakit dan
puskesmas, penyediaan alat-alat kesehatan yang modern, hingga adanya tenaga
dokter yang professional untuk memberikan pelayanan kesehatan maksimum bagi
Indonesia.
Namun sesungguhnya prioritas
pembangunan anggaran tidak dapat disederhanakan secara mudah. Harus dapat
dilihat bahwa manfaat jangka panjang yang akan diterima, serta pengakuan
sebagai sebuah negara yang berdaulat yang tidak terbayarkan.
Bila dilihat dari anggarannya, maka
anggaran pertahanan Indonesia saat ini yakni Rp 83 triliun hanyalah sekitar 0,8
hingga 0,9 persen dari total produk domestik bruto. Padahal idealnya, anggaran
pertahanan di negara-negara maju ialah
pada kisaran 2 persen dari PDB. Bandingkan dengan anggaran pertahan Singapura
yang mencapai 3,3 persen dari PDB.
Rendahnya anggaran pertahanan
menyebabkan upaya pencapaian MEF semakin sulit. Bahkan sesungguhnya apabila MEF
benar-benar mau terwujud maka, kondisi ideal anggaran pembangunan pertahanan Indonesia dalam periode lima
tahun kedepan diharapkan berkisar antara 3–4 persen dari PDB.
Manfaat MEF
Pada akhinya, semua rakyat Indonesia akan bertanya; apakah
manfaat dari program modernisasi alutsista dengan dana yang sedemikian besarnya
dalam kurun waktu 15 tahun. Apakah dana yang sedemikian besar tersebut hanya
untuk pamer kekuatan saja, atau adakah manfaat lebih yang akan diterima.
Manfaat
pertama dari modernisasi TNI ialah pemberdayaan dan pengelolaan perbatasan,
serta pulau-pulau kecil terluar. Dengan
demikian tidak ada lagi pencaplokan wilayah oleh negara tetangga, pencurian kekayaan laut oleh nelayan
asing, serta eksistensi kedaulatan di garis-garis terluar laut kita.
Manfaat
Kedua ialah kemandirian alutsista. Pengadaan beberapa jenis alutsista
mewajibakan adanya alih teknologi (Transfer of Technology/ToT),
atau juga produksi bersama (Join Production). Pemerintah melalui Kemhan mendorong tumbuhnya
industri dalam negeri, terutama industri pertahanan, bekerjasama dengan
beberapa negara maju berencana membuat kapal selam, kapal permukaan tertentu
dan pesawat tempur modern. Dengan demikian di masa depan, Indonesia dapat
merawat dan memproduksi alutsisnya sendiri. Hal ini sudah dilakukan oleh
beberapa perusahaan industry pertahanan, antara lain PT Pindad, PT Dirgantara
Indonesia, dan PT PAL
Manfaat
Ketiga ialah pembangunan ekonomi pertahanan. Tujuan lain dari program MEF
adalah Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dari alat-alat perang, namun akan
menjadi produsen dari senjata-senjata tersebut.
Dengan pembangunan industri strategis dalam negeri, maka hal ini akan menyerap
tenaga kerja dan menghasilkan devisa bagi negara. Indoenesia juga akan dikenal
sebagai negara penghasil teknologi, dan bukannya hanya sebagai penerima
teknologi asing saja.
Melihat
manfaat yang ada, ternyata pada akhirnya pengeloaan anggaran pertahanan dengan
baik, sesunggunya akan menggerakkan roda ekonomi Indonesia. Berkaca dari negara-negara
maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, mereka justru mendapatkan devisa yang
besar dari menjual senjata dan teknologi pertahanan pada negara lainnya.
[1]
Penulis adalah Co-Leader pada Center for Defense and Security Management, juga
pengajar pada Lasalle College International. Dapat dihubungi di
email:davidrajamarpaung@gmail.com
No comments:
Post a Comment