Sunday, June 7, 2015

Mengantisipasi Arah Demokrasi Ke Depan. Refleksi Atas UU Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah

Mengantisipasi Arah Demokrasi Ke Depan
Refleksi Atas UU Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah

Oleh David Raja Marpaung

            UU Pemilihan Kepala Daerah yang disyahkan pada 26 Sepember lalu akhirnya menetapkan mekanisme pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD.  Banyak pihak berpendapat; hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang baru berjalan 16 tahun. Sejak 2005, pilkada dilaksanakan secara langsung. Semangat dilaksanakannya adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung atau perwakilan di era sebelumnya. Melalui pilkada langsung, masyarakat berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dan bebas dari diskriminasi.
            Berkaca pada teori dan praktek demokrasi di negara-negara yang sudah terlebih dahulu memakai sistem demokrasi, maka sesungguhnya kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Karena itu hampir seluruh negara demokrasi memakai pemilihan langsung untuk memilih pemimpinnya, baik di tingkat nasional maupun daerah. Berbagai pembenaran pun berusaha dibangun oleh koalisi merah putih sebagai pihak yang menginginkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Dimulai dari biaya yang besar, rakyat yang dinilai belum cerdas dan siap dengan pilkada langsung, prinsip demokrasi keterwakilan, dan berbagai alasan lainnya.

Namun, apa pun pembenaran yang berusaha dibangun, sesungguhnya UU Pilkada yang baru telah mencederai demokrasi secara substansial. Pertama, Proses demokrasi tidak bisa disederhanakan dan diserahkan pada elit politik atau penguasa.. Setiap warga negara memiliki hak menentukan pilihan politiknya, termasuk dalam memilih pemimpinnya. Hak politik tidak boleh dirampas penguasa atas nama penyederhanaan pengaturan. Apabila memang alasan biaya yang dipakai misalnya; maka pilkada dapat diselenggarakan secara serentak.
            Kedua, para anggota DPRD memang memiliki hak dan legitimasi dari rakyat untuk menjalankan fungsinya sebagai legislatif di daerah. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa tidak seorang pun di antara mereka terbebas dari koordinasi paksa oleh pimpinan parpol. Para politisi dikendalikan secara terstruktur langsung dari pimpinan pusat setiap parpol. Jika ada anggota yang membangkang, risikonya disingkirkan atau diganti dengan anggota lainnya dengan mekanisme pergantian antar waktu.
            Ketiga, koalisi yang terbentuk dari tingkat pusat hingga daerah sesunguhnya akan menghasilkan oligarki atau kartel dalam politik. Kebijakan ke depan nantinya tidak akan berdasarkan apa kepentingan rakyat dan kebenaran yang harus diperjuangkan. Namun, konstestasi antar koalisi merupakan agenda utama  dalam setiap pilkada. Jadi tidak masalah dengan kualitas calon pemimpin yang akan diusung. Hal yang terpenting calon dari koalisi itulah yang akan menang. Hal ini tentunya akan sangat mengerikan bagi nasib demokrasi ke depan.
            Keempat, politik dagang sapi tentunya tidak akan terhindarkan dalam pilkada. Logikanya akan lebih mudah untuk membeli sekitar 30 suara atau 60 persen anggota DPRD di daerah, daripada harus membayar sekian juta masyarakat yang memiliki hak memilih. Dapat dipastikan, bahwa calon pemimpin daerah ke depan akan didominasi oleh para pengusaha atau elit politik yang telah mapan. Dengan demikian, kesempatan orang “kecil” tetapi memiliki niat besar untuk bekerja dan berbakti untuk bekerja semakin redup. Calon independen juga semakin kecil khasnya untuk terpilih, karena para partai politik pastinya tidak akan mau melepas kesempatan untuk menjadi penguasa daerah.
            Kelima, pemilu tidak langsung justru membuat rakyat semakin tidak cerdas di dalam politik. Dikatakan behwa rakyat sekarang kurang cerdas dalam memilih pemimpinnya secara langsung. Namun, bila rakyat semakin dijauhkan dari proses demokrasi, maka “kecerdasan” tersebut tidak akan pernah tercapai. Justru masyarakat akan belajar dari setiap keputusan, kesalahan, dinamika politik yang mereka lihat dan amati.

UU Pemerintahan Daerah                                                                                 
Terkait dengan UU Pilkada, maka pada hari yang sama, DPR RI juga mensyahkan UU Pemerintahan Daerah yang terdiri atas 27 Bab dengan 414 pasal. Salah satu hal yang positif dari UU baru ini ialah semakin ketatnya usulan untuk mengusulkan daerah pemekaran. UU Pemda mengamanatkan Gubernur berwenang mengajukan usulan daerah otonomi baru kepada DPR. Namun, mesti melalui proses persiapan jangka waktu tiga tahun. UU Pemda juga diberikan wewenang yang lebih luas dalam menentukan arah pembangunan, dan program-program yang akan diselenggarakan.

Namun, potensi ancaman terhadap demokrasi pun masih ada dalam UU yang baru ini. Seperti halnya UU Pemerintahan Daerah terdahulu. terdapat beberapa sektor yang harus diputuskan oleh Pmerintahan Pusat yakni seperti urusan luar negeri, pertahanan, keamanan nasional, manajemen penegakan hukum, urusan agama yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta moneter dan fiskal nasional..

Sesungguhnya keenam sektor hal tersebut merupakan wilayah dari negara, namun pada pelaksanaannya kewenangan tersebut  perlu kerja sama dan dukungan dari pemda. Menyangkut urusan pertahanan negara, sesungguhnya, pemda sangat penting perannya dalam ikut mempersiapkan SDM. Misalnya, penjagaan daerah-daerah perbatasan dalam konteks pertahanan akan bernilai strategis bagi daerah terkait jika mereka ikut dilibatkan. Jika pemda dibebaskan dari urusan ini, yang terjadi bisa saja sikap tak acuh serta tidak ada rasa memiliki dan rasa bertanggung jawab dalam upaya pertahanan negara. Pemda juga akan sangat berpengaruh bila ke depan pemerintah dan DPR akan membahas RUU Perbantuan dan RUU komponen Cadangan.

Kedua, urusan keamanan, keamanan nasional menjadi kewenangan pusat, tetapi keamanan lokal jelas merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurusnya. UU Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Konflik Sosial juga telah mengangkat konsep keamanan lokal dan menjabarkan kewenangan daerah dalam menjaga keamanan serta mengembangkan kewaspadaan.. Pada praktiknya ada program perpolisian masyarakat (polmas) dan lain sebagainya yang melibatkan partisipasi pemda, terutama dalam kerja sama dan pendanaan.

Ketiga, dalam manajemen penegakan hukumnyatanya tidak bisa berjalan efektif tanpa dukungan pemda. Oleh karena itu, pemda perlu dilibatkan dalam upaya-upaya penegakan hukum yang terkait dengan pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam, kejahatan lintas batas, perdagangan manusia , dan lain-lain.

Menyangkut urusan agama, justru monopoli pusat dapat mengancam pendekatan kedaerahan yang berbeda di setiap wilayah. Indonesia merupakan negara yang plural dengan kekhasan masing-masing daerah. Jadi pengewajantahan peraturan tentang keagamaan tidak dapat dipukul rata di setiap daerah.



Bentuk Ideal Komponen Cadangan Pertahanan Negara

Bentuk Ideal Komponen Cadangan Pertahanan Negara
Oleh David Raja Marpaung

Pendahuluan

Pertahanan negara merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup suatu negara. Eksistensi sebuah bangsa sangat bergantung kepada kemampuan bangsa tersebut, untuk dapat mempertahankan diri dari setiap ancaman baik dari luar maupun dari dalam negara itu sendiri. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki jiwa juang tinggi dan militansi rakyatnya pun telah teruji. Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan yang melibatkan seluruh kekuatan bangsa dengan bertumpu pada semangat dan militansi rakyat yang sukar dilawan dengan senjata apapun. Ikrar untuk membela, mempertahankan kemerdekaan, dan menegakkan kedaulatan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi sebuah pandangan hidup bersama bangsa Indonesia

Sebagai bagian dari kerangka reformasi sektor keamanan, pengaturan dan penataan ulang kembali institusi TNI sudah berjalan hampir 12 tahun. Reformasi TNI secara garis besar telah menghasilkan beberapa produk-produk legislasi, yang diantaranya meliputi: pemisahan Struktur dan Peran TNI- Polri (Tap MPR No VI dan VII tahun 2000), pembentukan UU no 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 2/2002 tentang Polri dan UU No 34/2004 tentang TNI. Meski demikian, problematika dalam menata sektor keamanan nasional tetap saja menghimpit. Bukan hanya sekadar perdebatan mengenai kegiatan teknis-operasional seperti pengaturan, pengelolaan dan pelaksanaan semata tetapi juga menyangkut paradigma luas tentang konsepsi keamanan nasional (national security).

Konsepsi keamanan nasional membawa implikasi logis terhadap pentingnya pembentukan sebuah Komponen Cadangan Pertahanan Negara (Komcad). Pertahanan, sebagai salah satu upaya untuk mencapai keamanan nasional, tentunya tidak bisa luput dari wacana tersebut. Apalagi, amanat konstitusi UUD 1945 dan perundangan yang berlaku menjadikan kekuatan pertahanan diluar TNI sebagai suatu keharusan legal terutama ketika dipandang dari sisi doktrin Sistem Pertahanan Semesta. Di sisi lain, pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi mendorong ancaman muncul makin bervariatif, hingga ke aspek-aspek nirmiliter yang tidak bisa dihadapi oleh kompetensi militer konvensional semata. Kompetensi teknis nirmiliter menjadi makin dibutuhkan untuk melakukan fungsi-fungsi militer. Pemerintah menilai dua alasan tersebut menjadi dasar yang cukup bagi perumusan sebuah Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU Komcad).

Meski demikian, ada beberapa hal kontroversial dalam RUU tersebut yang menjadi perdebatan bila dilihat dari tataran konseptual, teknis-operasional, serta hubungan sipil-militer. Position Paper ini akan mengulas dan mencoba menjembatani perdebatan tersebut. Paper ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama membahas sisi konseptual bahwa pembentukan komcad dinilai lebih termotivasikan oleh keharusan legal pemerintah, bukan didasari pada pertimbangan strategis, seperti dinamika lingkungan strategis masa mendatang serta sinkronisasinya dengan proses reformasi sektor keamanan. Dengan kata lain, komcad terlihat lebih merupakan “pilihan” daripada “kebutuhan” bagi pemerintah. Bagian kedua membahas sisi teknis-operasional yang menitikberatkan persoalan pada aspek pendanaan dan pengelolaan Komcad yang masih membutuhkan kejelasan dan penyempurnaan, terutama dari sisi efektifitas dan efisiensi militer. Bagian ketiga menerangkan bahwa pembentukan komcad belum memberikan jaminan akan hubungan sipil-militer yang harmonis. Bagian keempat memberikan kesimpulan dan menawarkan rekomendasi bagi pemerintah untuk memodifikasi draf RUU Komcad menjadi lebih baik dan dapat diterima oleh publik, khususnya organisasi masyarakat sipil.    

Konsep Komponen Cadangan
            Penggunaan istilah cadangan sangat beragam, mencakup aspek komponen pertahanan negara yang luas maupun sempit. Masing-masing negara di dunia ini menggunakan istilah dan metode rekrutmen, pengorganisasian, tugas dan fungsi, cakupan materi undang-undang, dan subyek tentang cadangan pertahanan negara sesuai dengan karakteristik negaranya masing-masing. Pengertian cadangan dalam konteks pertahanan dalam tata Bahasa Inggris adalah reserved. Military Reserved yang diterjemahkan sebagai tentara cadangan merupakan tentara reguler yang dipersiapkan sebagai kekuatan cadangan dari kekuatan utama. Fungsi reserved sendiri adalah simpanan untuk kekuatan bagi setiap matra angkatan bersenjata yaitu angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara, namun statusnya tetap menjadi bagian dari komponen utama pertahanan.Dalam Dictionary of British Military History (2nd edition) digunakan istilah reservist dengan definisi: A member of the armed forcer who can be called upon for active service in time of war. A reservist is often a person who has served in the armed forces and it then on a reserve list for a specific number of years
            Bagi bangsa Indonesia (versi pemerintah), komponen cadangan sebagai kekuatan pengganda dibentuk serta dibina guna memperbesar sekaligus memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama serta senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dikerahkan melalui mobilisasi apabila negara membutuhkan. Pola pembentukan, pembinaan, dan penggunaan komponen cadangan merupakan model yang efektif dan efisien dalam upaya meningkatkan jiwa militansi warga negara, kesiapan fisik, serta pengetahuan, dan kemampuan pertahanan Negara. Secara Garis besar. Konsep cadangan Negara ada dalam komponen pertahanan Negara yang dirancang pemerintah[1]:

Keinginan Kementerian Pertahanaan (Kemhan) untuk mensahkan secepatnya RUU Komcad pada dasarnya dimotivasi oleh keharusan legal, yakni pasal 30 ayat 1 UUD 45 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara, maka menjadi anggota komcad adalah wajib bagi warga negara yang telah memenuhi persyaratan termasuk pengerahan sumber daya nasional lainnya untuk pertahanan negara. Amanat konstitusi tersebut lebih dikonkritkan lagi oleh Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan negara yang menerangkan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta.

Alasan keharusan legal hendaknya tidak menjadi satu-satunya dasar pertimbangan pemerintah untuk membentuk komponen cadangan. Kejelasan di tataran konseptual perlu disempurnakan pemerintah sebelum masuk ke tataran teknis-operasional. Tidak hanya karena ini akan menentukan teknis-operasional komcad Indonesia, melainkan lebih penting lagi, pertimbangan ini juga akan menentukan sejauh mana penerimaan masyarakat sipil terhadap konsep negara tentang RUU tersebut.

Secara sederhana, ada dua tingkat penilaian untuk menentukan apakah sebuah negara memerlukan sebuah komponen cadangan atau reserve – personil militer paruh waktu, hanya aktif dalam jangka waktu tertentu, dan dapat dimobilisasi dalam keadaan darurat. Pertama, analisa mendalam dan menyeluruh atas lingkungan strategis dan keamanan. Analisa ini bukan hanya sekedar ulasan lingkungan strategis, tapi juga harus memunculkan tantangan-tantangan spesifik yang akan dihadapi dalam jangka waktu 10-25 tahun ke depan. Kedua, analisa atas lingkungan politik, ekonomi, sosial-budaya. Analisa ini tidak hanya bicara mengenai kemampuan negara atau keputusan politik, tapi juga “kesesuaian” (congruence) antara kebijakan pertahanan dengan nilai-nilai demokratisasi dan budaya bangsa serta kondisi sosial-demografi masyarakat. 

Dengan kata lain, persoalan apakah Indonesia membutuhkan Komcad hendaknya diukur berdasar jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
  1. Apa saja yang menjadi ancaman negara, baik di kini dan masa mendatang (hingga 25 tahun minimal)?
  2. Bagaimana komponen cadangan menjawab tantangan-tantangan tersebut?
  3. Apakah pembentukan komponen cadangan dibentuk secara sukarela (volunteer) atau dengan “wajib militer” (compulsory draft)? Mengapa?
  4. Jika dibentuk dengan compulsory draft, apakah hal tersebut sesuai dengan keadaan atau dinamika dalam masyarakat serta hubungan sipil-militer yang demokratis?
  5. Apa dampak dari dibentuknya komcad melalui wajib militer bagi usaha-usaha reformasi dan transformasi pertahanan serta military effectiveness?
  6.  Apa dampak dari dibentuknya komcad bagi hubungan sipil-militer dan proses demokratisasi?
  7. Apa dampak dari dibentuknya komcad bagi stabilitas regional, khususnya di Asia Tenggara?
  8. Pembentukan Komcad membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apakah negara mampu menyediakannya, mengingat dana untuk militer hingga kini masih minim. Dan apakah output dan outcomes yang diberikan sesuai dengan anggaran yang dikeluarkan.

Pastinya, alasan pembentukan komcad menurut pertimbangan pemerintah muncul sebagai sebuah kebutuhan, dan bukan pilihan, bagi Indonesia. Komcad sebagai sebuah kebutuhan tentunya lebih dari sebatas keharusan legal. Pertimbangan jenis dan karakter ancaman, dinamika lingkungan strategis, kapasitas anggaran dan manajemen personil, semuanya harus masuk kalkulus pemerintah. Kesalahan atau kegagalan dalam melakukan telaah tersebut akan berpotensi menciptakan peluang penyalahgunaan wewenang komcad. Jangan sampai upaya pemerintah untuk secepatnya mensahkan RUU Komcad akan mengompromikan aspek konseptual yang justru menjadi elemen paling penting. Hal ini semakin diperumit dengan persoalan legal bahwa RUU Komcad memiliki potensi berbenturan dengan UU terkait lainnya karena UU yang menjadi landasan legal untuk RUU Komcad, seperti UU TNI, direncanakan akan diamandemen pada periode 2010-11. Ketidakjelasan di tataran konseptual akan memunculkan persoalan teknis-operasional. Meski sudah berulang kali direvisi, draf RUU Komcad terbukti masih juga memuat persoalan teknis-operasional yang perlu segera diklarifikasi pemerintah.

Persoalan teknis-operasional
Di tataran teknis-operasional, permasalahan terdapat di dua kategori, yakni pendanaan dan pengelolaan Komcad. Pendanaan komcad menjadi pertanyaan publik ketika kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan TNI sebagai komponen utama (komput) hingga saat ini masih belum memadai. Argumen Kemhan bahwa komcad tidak akan menyerap anggaran besar tidak berhasil meyakinkan publik dalam hal efisiensi alokasi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) untuk pertahanan. Lagipula, pembentukan komcad tidak menjamin peningkatan efektifitas pertahanan atau cost-effectiveness.

Persoalan bertambah ketika komcad terkesan bias angkatan darat. Hal ini tampak jelas ketika dokumen Postur Pertahanan Negara menyebutkan bahwa akan dibentuk Batalyon Cadangan di tiap Kodim. Pelaksanaan dilakukan secara bertahap dari pembentukan I Kompi Cadangan di tiap Kodim pada Tahap I, lalu 2 Kompi pada Tahap II, dan 1 Batalyon pada Tahap III. Ada kesan bahwa yang dimaksud memperbesar dan memperkuat TNI sebagai komponen utama melalui pembentukan Komcad merupakan penambahan kuantitas personil semata. Akibatnya, muncul tendensi Komcad dijadikan “proyek padat karya.” Tentunya, hal semacam ini hanya akan menambah beban anggaran pertahanan Indonesia.

Permasalahan teknis-operasional RUU di tataran pengelolaan Komcad terlihat dalam beberapa aspek, antara lain: mekanisme perekrutan, status, latihan dan mobilisasi, serta pemeliharaan komcad.
Mekanisme Perekrutan. Permasalahan terletak pada dikotomi wajib atau sukarela.  Menurut Pasal.... RUU Komcad, wajib komcad hanya berlaku bagi PNS, buruh, mantan anggota TNI/Polri, dan tenaga ahli. Sementara, bagi komcad sukarela berlaku di luar kelompok tersebut. Permasalahan muncul terkait status “sukarela” tersebut karena tidak diatur dalam RUU. Alternatif solusi yang ditawarkan adalah menjadikan komcad sebagai pilihan sukarela bagi kelompok di luar kategori yang telah disebutkan, namun menjadi wajib ketika mereka sudah ditetapkan menjadi komcad.

Status. Permasalahan status bergulir seputar kombatan/non-kombatan. Ada kesan bahwa pemerintah terlalu bersemangat untuk memberi status kombatan pada personil komcad. Padahal, pemberian status kombatan akan menghilangkan prinsip impunitas personil komcad yang bahkan mungkin tidak memiliki peran bantuan tempur sekalipun.

Latihan dan Mobilisasi. Persoalan terletak pada mekanisme latihan bagi personil komponen cadangan. Pasal 9 ayat 1 RUU Komcad menyebutkan bahwa syarat personil komcad ialah telah mengikuti latihan dasar kemiliteran. Latihan ini tentunya tidak cukup untuk menjadikan personil komcad memiliki status kombatan dan dapat masuk ke tiga matra angkatan. Perlu ada latihan menengah atau canggih kemiliteran yang dapat meningkatkan kompetensi teknis personil komcad hingga minimal setaraf personil TNI reguler. Kedua, waktu mobilisasi komcad belum diatur melalui mekanisme perundangan, seperti misalnya, UU mobilisasi dan demobilisasi. Ketiga, persamaan status dan kesejahteraan personil Komcad dengan anggota TNI sebagai komponen utama akan merendahkan moril komponen utama mengingat mekanisme perekrutan personil komcad. Keempat, RUU masih belum menjelaskan tentang kedudukan komcad dalam pertahanan negara, melainkan hanya menyebutkan matra darat, laut, dan udara. Padahal, perlu ada definisi yang lebih spesifik terkait hal ini, misalnya komcad memiliki fungsi tempur, bantuan tempur, atau di luar keduanya. Aspek teknis semacam ini perlu diperjelas dalam RUU. Kelima, belum ada identifikasi jelas mengenai batasan usia dan kompetensi membuat personil Komcad hanya diarahkan untuk siap tempur secara fisik tanpa memperhitungkan faktor intelektualitas dan ranah fungsi penggunaannya. Pembentukan komcad tanpa disertai keahlian atau kompetensi yang memadai akan justru menambah beban logistik komponen utama tanpa menghasilkan dampak positif yang signifikan bagi kredibilitas pertahanan negara. Dengan demikian, muncul kesan bahwa wacana komcad hanya sekedar menampung semangat juang atau menanamkan nilai-nilai patriotik dan nasionalisme pada masyarakat dan bukan untuk membangun kapasitas pertahanan yang kredibel.

Keenam, masih belum ada rumusan komprehensif mengenai komcad dari unsur non-manusia. Padahal, potensi komcad non-manusia lebih besar untuk direalisasikan guna meningkatkan kapabilitas pertahanan Indonesia daripada komcad manusia. Terakhir, namun tidak kalah penting, ialah mekanisme mobilisasi komcad dalam operasi militer. Permasalahan muncul ketika komcad dimobilisasi untuk operasi militer selain perang (OMSP). Banyak kalangan menilai kebijakan semacam ini akan cenderung menciptakan konflik horizontal dalam masyarakat oleh karena komcad yang dapat berstatus militer dan sipil sekaligus. Meski demikian, banyak pula yang mempermasalahkan perihal komcad yang digunakan dalam operasi militer perang (OMP) mengingat kompetensi komcad yang serba terbatas dari sisi teknis kompetensi tempur. Solusi alternatif yang muncul adalah mendudukkan komcad dalam operasi bantuan tempur, misalnya di bagian logistik, komunikasi, transportasi, dan sebagainya.

Pemeliharaan. Permasalahan juga muncul ketika suatu obyek, baik manusia ataupun non-manusia, yang telah ditetapkan sebagai komcad harus dipelihara dalam jangka waktu tertentu untuk mempertahankan kapasitasnya sebagai komcad. Khusus komcad manusia, hal ini cenderung relatif lebih mudah untuk dilakukan. Pasal 26 RUU Komcad mensyaratkan latihan maksimal selama tiga puluh hari tiap tahun dalam bentuk dinas aktif sebagai penugasan. Akan tetapi, akan lebih sulit menerapkan hal yang sama untuk komcad non-manusia. Pemeliharaan komcad non-manusia tentunya tidak hanya membutuhkan pendanaan ekstra, melainkan pula supervisi langsung di masa non-mobilisasi oleh pemerintah guna memastikan unsur kelaikannya sebagai komcad. Hal teknis-operasional seperti ini masih belum diatur dalam draf RUU yang ada sekarang. Terlebih lagi, untuk komcad manusia yang mendapatkan latihan lebih singkat, namun mendapatkan status dan gaji yang sama dengan komput, akan cenderung menurunkan moralitas komput, bahkan tidak mustahil penurunan moralitas itu akan berujung pada kecemburuan yang memicu konflik intra-TNI.

Oleh sebab itu, perlu ada pembahasan lebih lanjut, terutama secara teknis-operasional, dari draf RUU Komcad yang sekarang diajukan ke DPR. Antusiasme pemerintah (yang terkesan berlebihan) untuk mensahkan RUU ini seharusnya tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau modifikasi terkait aspek teknis-operasional itu. Persiapan RUU Komcad yang matang dari sisi teknis-operasional tentunya akan memudahkan upaya implementasi yang justru lebih penting. Kegagalan dalam implementasi sebagai akibat dari kurangnya ketelitian dan ketekunan dalam mengkaji RUU itu hendaknya diantisipasi sejak dini. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah mempersiapkan RUU itu sematang mungkin dari sisi teknis-operasional, hal ini bukan berarti RUU itu sudah sempurna. Desakan, tekanan, serta kritikan dari masyarakat sipil dengan berbagai alasan kekhawatiran mereka atas RUU ini memiliki potensi besar untuk mengembalikan RUU ini ke Kemhan untuk dikaji ulang. Dengan kata lain, masyarakat sipil memiliki kekuatan untuk mengagalkan RUU ini dalam lobi-lobi di DPR. Mereka tidak hanya melihat sisi kesempurnaan aspek teknis-operasional, tetapi juga analisa dampak RUU ini terhadap prospek hubungan sipil-militer.


Komcad dan Hubungan Sipil-Militer
Tidak dapat dipungkiri, sebagian kalangan masyarakat, khususnya organisasi masyarakat sipil (CSO), cenderung menilai komcad dengan skeptis. Terdapat kekhawatiran bahwa komcad berpotensi menjadi pintu bagi TNI untuk masuk ke dalam ranah sipil. Dengan kata lain, komcad dianggap sebagai upaya militerisasi sipil. Tidak hanya itu, komcad dipandang berpotensi menjadi “kuda troya” militer untuk memfaksionalisasi masyarakat sipil antara mereka yang sepandangan dengan TNI dan mereka yang tidak; antara mereka yang pro-penguatan negara dan mereka yang menuntut sebaliknya. Fenomena ini dapat berujung pada konflik horizontal dalam masyarakat antara kelompok sipil-komcad dan kelompok sipil lainnya. Bila disederhanakan, sebagian kalangan menilai komcad justru akan cenderung memperburuk hubungan sipil-militer yang selama 12 tahun terakhir berusaha untuk diperbaiki, terlepas dari manfaat komcad itu sendiri bagi sistem pertahanan Indonesia.
            Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa penggunaan komponen cadangan harus melalui keputusan politik dan dalam keadaan darurat militer atau perang. Jadi, tidak bisa digunakan untuk kepentingan yang tidak ditetapkan dalam keputusan politik. Dan komponen cadangan tidak berarti menjadi tentara reguler, bukan merupakan wajib militer, serta bukan sebagai alat militer. Komponen cadangan adalah masyarakat sipil tapi memerlukan latihan kemiliteran agar siap digunakan, dan setelah itu tetap sipil

Pertama, CSO menilai bahwa komcad selain dinilai tidak memiliki akar dalam UUD 45, juga secara moralitas ditolak karena bertentangan dengan alasan-alasan humaniter. Penolakan Mahatma Gandhi terhadap penerapan komcad (sebuah eufimisme dari wajib militer) di India pada dekade 1920-an menjadi salah satu contohnya. Kedua, berkaitan dengan yang pertama, RUU Komcad tidak menerapkan mekanisme penolakan selain alasan kesehatan, akademis, dan religius. Penolakan atas dasar pertimbangan nurani atau consciencetous objection, atau bahkan, keyakinan politik, seharusnya juga memperoleh tempat dalam mekanisme penolakan tersebut. Apalagi, terdapat pasal yang mewajibkan komcad bagi golongan masyarakat tertentu. Ketiga, keberadaan pasal yang mewajibkan PNS untuk bergabung dalam komcad memberi indikasi kuat ke arah militerisasi birokrasi dan masyarakat. Ada kesan bahwa nilai-nilai militeristik merupakan hal positif untuk diinternalisasi dalam kultur birokrasi di Indonesia melalui penerapan komcad. Padahal, jajaran birokrasi bertujuan untuk melayani kepentingan masyarakat sipil secara optimal. Keempat, sipil menilai bahwa TNI masih memiliki banyak permasalahan internal untuk ditangani. Akan tetapi, hal ini menjadi agak janggal ketika TNI yang di satu sisi belum mampu secara optimal menyelesaikan permasalahan itu, namun di sisi lain akan diberikan wewenang melatih, membina, dan mendidik komcad yang direkrut dari sipil. Tentunya hal ini menjadi kekhawatiran ketika komcad akan mengalami permasalahan serupa dengan yang dialami oleh TNI sebagai komput.

Penanganan terhadap permasalahan tersebut diatas menjadi keharusan bagi pemerintah untuk menindaklanjuti. Hal ini bukan sama sekali berarti menerima dan mengakomodasi semua masukan, saran, kritikan, serta rekomendasi berbagai kalangan ke dalam RUU. Tetapi, pemerintah, khususnya Kemhan, perlu memahami bahwa sematang apapun draf RUU Komcad yang disusun, bukan berarti draf tersebut lantas merupakan sesuatu yang final. Justru, pandangan masyarakat sipil, baik itu berupa saran ataupun kritikan, dapat dijadikan parameter kemungkinan resistensi masyarakat terhadap draf tersebut, dan hendaknya tidak dianggap sebagai “kerikil dalam sepatu.” Bila Kemhan benar-benar menginginkan RUU ini disahkan oleh DPR sudah seharusnya masukan masyarakat sipil tersebut dijadikan perhatian utama. Kewenangan pemerintah atas penyusunan RUU ini bukan berarti kontrol absolut. Kemhan perlu memahami bahwa RUU ini memiliki implikasi signifikan terhadap hubungan sipil-militer tidak hanya sekarang, tetapi juga di masa mendatang. Adalah kepentingan masyarakat sipil untuk mencegah kemungkinan negatif dari implikasi tersebut.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Draf RUU Komcad yang dirilis Kemhan bukanlah sesuatu yang final. Masih banyak hal dalam draf tersebut yang perlu ditambahkan dan dikurangi di tataran konseptual, teknis-operasional, maupun kemungkinan dampaknya terhadap hubungan sipil-militer. Di tataran konseptual, komcad sebagai sebuah keharusan legal mengindikasikan bahwa pembentukan komcad lebih pada pilihan, bukan kebutuhan. Di tataran teknis-operasional, konsep komcad masih belum menekankan aspek cost-effectiveness dan cost-efficiency dari segi pendanaan. Dari segi pengelolaan, perlu ada penyempurnaan dalam mekanisme perekrutan, status, latihan dan mobilisasi, serta pemeliharaan. Sementara, dalam kaitannya dengan hubungan sipil-militer, draf komcad saat ini belum memberikan gambaran akan prospek hubungan sipil-militer yang lebih harmonis, atau minimal tidak saling konfliktual. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan modifikasi dalam ketiga lini tersebut demi menyempurnakan RUU ini.


Secara garis besar, modifikasi yang perlu dilakukan, antara lain:
  1. Tataran konseptual. Pertama, pemerintah perlu menekankan paradigma bahwa komcad muncul sebagai sebuah kebutuhan pertahanan dan meyakini bahwa tidak ada alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut selain melalui pembentukan komcad. Kebutuhan respon untuk ancaman nirmiliter merupakan suatu awalan yang baik, namun hal ini dirasa belum cukup. Pemerintah harus pula mengidentifikasi lingkungan strategis sekarang hingga satu-dua dekade mendatang yang memunculkan kebutuhan untuk pembentukan sebuah komcad. Kedua, pemerintah harus memastikan bahwa konsep komcad sinkron, atau minimal tidak berseberangan, dengan reformasi sektor keamanan yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi dan HAM.
  2. Tataran teknis-operasional. Pertama, dari sisi pendanaan, pemerintah harus memastikan bahwa pembiayaan komcad tidak menjadi opportunity cost bagi pengembangan komput. Dalam hal ini, komcad mampu memberikan nilai tambah dari sisi peningkatan efektifitas dan efisiensi pertahanan tanpa mengkompromikan sumber daya yang dialokasikan untuk pengembangan komput. Kedua, komcad Indonesia harus didesain sesuai dengan tren Revolution in Military Affairs (RMA). Penekanan pada karakter militer dan perang kontemporer seharusnya dijadikan basis formatting komcad Indonesia dari sisi teknis-operasional. Pembentukan komcad bukan sekedar penambahan jumlah personil maupun alat utama sistem persenjataan (alutsista), namun lebih penting lagi ialah penyesuaian dengan tren strategis (strategic trend) global. Konkritnya, paling tidak pembentukan komcad harus selaras dengan program pembangunan kekuatan pokok minimum (MEF) pertahanan.   
  3. Hubungan sipil-militer. Dalam rangka mencegah implikasi negatif terhadap hubungan sipil-militer, komcad harus didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan keberlangsungan proses harmonisasi hubungan sipil-militer. Hal itu bisa dilakukan dengan (1) penentuan mobilisasi komcad hanya pada operasi militer perang; (2) penerapan mekanisme penolakan yang lebih inklusif dan humanis; dan (3) transparansi dalam aspek perekrutan dan pengelolaan.  



[1] Ditjen Pothan Dephan R.I buku naskah Sishanneg 
asnama� � p m �e> � C komponen cadangan. Dikhawatirkan pula pembentukan Komcad akan memperkuat kembali komando territorial, hal ini bertentangan dengan UU No. 34 tahun 2004 yang memandatkan restrukturisasi komando territorial.


Hal-hal yang dapat dilakukan aktor negara dalam memperbaiki RUU Komcad:
1.     Pengadopsian nilai-nilai HAM, dan kejelasan status concentious objection
2.     Penekanan bahwa penggunaan Komcad sebagai last resort
3.     Sebelum Undang-Undang ini disyahkan, sebaiknya pemerintah menyelesaikan reformulasi doktrin dan postur pertahanan, membuat UU keamanan nasional sebagai referensi operasional Komcad





Refleksi Kritis Terhadap Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara

Refleksi Kritis Terhadap Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara
Oleh David Raja Marpaung

Pendahuluan
Kerahasiaan dan keterbukaan terhadap informasi menjadikan keduanya dalam posisi yang diametral. Adanya tarik menarik kepentingan antara kebebasan sipil dan rahasia negara memerlukan kajian yang panjang dan komprehensif untuk memadukannya. Dalam praktek kenegaraan tarik-menarik tersebut telah banyak terjadi. Sebut saja Amerika Serikat (AS), yang memiliki Government Secrecy Act 1997 yang kemudian disempurnakan menjadi Government Secrecy Reform Act 1999. Undang-undang tersebut lahir sebagai amanat dari Title IX Foreign Relations Authorization Act. Amanat yang ditujukan kepada Kongres AS tersebut bertujuan membentuk suatu komisi proteksi dan pengurangan rahasia negara. Komisi tersebut membuat suatu proposal yang komprihensif yang bertujuan untuk mengurangi jumlah informasi yang dirahasiakan dan disisi lain memperkuat pengamanan terhadap informasi yang telah ditetapkan sebagai rahasia. Usaha untuk melindungi  rahasia negara ini tetap dibuat dan merasa diperlukan walaupun jauh sebelum Government Secrecy Act 1997, masalah kerahasiaan yang berkaitan dengan kerahasiaan negara/pemerintah telah tertuang dalam The Freedom of Information Act 1966. Lalu  Bagaimanakah  dengan Indonesia?

Pembukaan UUD 1945 dengan tegas dinyatakan bahwa pemerintahan negara Indonesia bertujuan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Kewajiban negara dalam melindungi bangsa Indonesia tentunya merupakan tugas utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menghendaki adanya sistem keamanan nasional yang tangguh. Kerahasiaan negara merupakan bagian dari sistem keamanan yang memiliki peran penting untuk menjaga informasi strategis/taktis yang dimiliki oleh suatu negara/pemerintahan. Praktek-praktek kerahasiaan negara secara langsung dan tidak langsung tentunya berkaitan dengan hak dan kebebasan individu yang juga harus dilindungi. Oleh sebab itu rahasia negara harus diatur dengan undang-undang.
Reformasi 1998 telah mempengaruhi Indonesia khususnya dalam proses penyelenggaraan negara. Semangat dasar reformasi adalah mengakhiri rezim kerahasiaan dengan mendorong kultur keterbukaan sebagai basis partisipasi dan kontrol rakyat terhadap negara. Dengan itu, terbangun relasi egaliter antara negara dan rakyat sebagai fundamen dasar berdemokrasi
 Relasi yang kemudian muncul memiliki sifat yang lebih cair dan terbuka. Negara dengan masyarakat direlasikan dalam medium terbuka dimana partisipasi masyarakat dituntut serta dikedepankan dalam keikutsertaan mengelola transisi demokrasi. Di lain pihak, negara dituntut untuk membuka diri terhadap ruang partisipasi masyakarat dalam setiap dimensi kehidupan bernegara. Lewat konteks tersebut, transisi demokrasi di Indonesia memberikan wujud dan karakter baru dalam relasi negara dengan masyarakat dimana partisipasi masyarakat dan keterbukaan negara menjadi landasan utama. Wujudnya melalui ruang-ruang akan kebebasan (Freedom from Fear, Freedom of Religion, Freedom of Speech and Expression and Freedom of the Press), pembangunan, dan pemerataan ekonomi yang diberikan seluas-luasnya oleh negara. Hal ini dikuti dengan kaidah-kaidah demokrasi yang melekat pada negara, seperti akuntabilitas, tata kelola yang baik (good governence), dan transparansi. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi aturan main di kala Indonesia dalam euforia demokrasi. 
            Keterbukaan dalam informasi mempunyai arti yang sangat penting bagi demokrasi. Kebutuhan warga negara untuk mengatahui dan memahami persoalan-persoalan publik sangat penting bagi berjalannya demokrasi. Adanya informasi yang akurat melindungi masyarakat dari analisis yang keliru. Warga negara sangat membutuhkan informasi yang cukup untuk dapat mengungkapkan suara dan kepentingannya dan mengontrol pejabat-pejabat publik. Di sisi lain pemerintah juga mengakui bahwa keterbukaan informasi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengatasi KKN, penegakkan hukum dan demokratisasi. Jaminan akan keterbukaan atas informasi kepada publik adalah adanya kebebasan untuk memeperoleh informasi. Kebebasan memperoleh informasi tersebut telah dijamin sebagai hak konstitusional dalam pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan dengan itu, Article 19 Universal Declaration of Human Rights dan Article 19 Sec 2 International Covenant on Civil and Political Rights juga memberikan jaminan yang sama terhadap kebebasan untuk memperoleh informasi.

Uraian tentang akses atas informasi yang diikuti dengan pentingnya menjaga rahasia kepentingan pemerintah  ini menjadi pintu masuk dalam pembahasan kerahasiaan negara yang dilakukan oleh negara melalui suatu regulasi politik atau Undang-Undang. Ini dapat dilihat, yakni ketika kebutuhan masyarakat akan informasi merupakan hak dasar masyarakat, maka negara wajib memenuhi kebutuhan tersebut. Namun, tidak semua bentuk dan jenis informasi dapat diakses atau diketahui, terdapat informasi-informasi yang memiliki nilai strategis tertentu yang diperhadapkan dengan dimensi-dimensi, seperti intelejen, kemampuan militer (kondisi perang), persandian negara, dll. Pembatasan terhadap informasi ini menjadi penting untuk ditempatkan dalam konsepsi keamanan nasional dimana negara mempunyai kewajiban dalam menjaga keutuhan bangsa, terlebih dari ancaman. Perahasian ini digunakan untuk pengendalian resiko terhadap gangguan yang akan dan sedang dihadapi oleh negara.




Refleksi Kritis
            Dalam sebuah negara demokrasi, rahasia negara adalah informasi publik yang untuk sementara waktu dirahasiakan kepada publik. Rahasia negara adalah batasan atau pengecualian dari hak atas informasi sebagai hak asasi manusia. Maka prinsip yang tidak boleh dikalahkan dalam negara demokrasi adalah bahwa semua informasi publik, termasuk informasi yang dimiliki negara, adalah milik publik. Sebagai suatu pengecualian, pengaturan rahasia negara sifatnya harus terbatas, limitatif dan berlaku pada jangka waktu tertentu saja
Upaya pelembagaan prinsip-prinsip kerahasiaan informsi atau kerahasiaan negara berangkat dari asumsi bahwa keterbukaan informasi berlebihan akan menimbulkan sejumlah dampak merugikan bagi kepentingan nasional. Publikasi dokumen negara tertentu dapat mengancam keselamatan negara, mengganggu upaya negara untuk mempertahankan keamanan nasional. Pemerintah kemudian menerapkan system klasifikasi informasi: sistem penyembuanyian atau penyimpanan informasi kerahasiaan berdasarkan pertimbangan kerahasiaan tertentu. Sejumlah rambu-rambu diciptakan untuk menentukan informasi-informasi yang tidak dapat diakses publik, berikut sanksi-sanksi hukum bagi pelanggarnya.
            Di sisi lain klasifikasi kerahasiaan informasi memang suatu kebutuhan bagi setiap negara dan setiap pemerintahan. Persoalannya pengalaman di banyak negara menunjukkan pemberlakuan system klasifikasi informasi lebih banyak dipengaruhi oleh subyektivitas para penyelenggara pemerintahan. Status rahasia negara seringkali dimaksudkan untuk melindungi reputasi pemerintah, kepentingan birokrasi, dan tidak benar-benar untuk melindungi kepentingan negara. Kredibilitas dan reputasi pemerintah dianggap lebih penting daripada hak masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang kinerja pemerintah. Steven Aftergood(1996) membedakan antara rahasia negara yang murni (genuine national secrecy) di satu sisi, dan rahasia negara yang bersifat politis (political secrecy) serta rahasia birokrasi (bureaucratic secrecy). Pembedaan ini sangat relevan karena tidak semua klaim rahasia negara merujuk pada informasi-informasi yang benar-benar dapat membahayakan kepentingan dan kemanan nasional. Dengan kata lain dalam prakteknya political secrecy dan bureaucratic secrecy jauh lebih dominan daripada national genuine secrecy.
            Jika menelusuri perjalanan rancangan undang-undang Rahasia Negara mulai dari perencanaan awal yang dilakukan pada era Orde Baru yang dilanjutkan setelah reformasi (2006), hingga rancangan terakhir pada tahun 2010 menunjukan beberapa pergeseran baik dari kuantitas jumlah (pasal, ayat, dan butir), maupun dari segi substansi. Namun, yang menjadi menarik ketika kembali direformulasikan RUU Rahasia Negara di tahun 2010 guna kebutuhan program legislasi nasional 2010-2014. Meskipun terjadi pergeseran, namun terdapat beberapa pokok bahasan yang menjadi kerawanan terhadap munculnya suatu rejim ketertutupan. Untuk itu, pada uraian selanjutnya akan dipaparkan beberapa poin penting yang menjadi refleksi kritis

Pertama, masalah bingkai dalam upaya pengkategorian atau ruang lingkup yang ingin dirahasiakan. Ketika menempatkan rahasia negara dalam kutub keamanan nasional perlu diperkuat beberapa ruang lingkup yang terkait dengan instrumen tersebut. Rancangan yang ada hanya menggeser beberapa poin pengecualian yang terdapat pada UU No.14 Tahun 2008. Kondisi ini memperlihatkan bahwa tidak ada pijakan utama atau bingkai besar yang mendasari pengkategorian rahasia negara, terlebih ketika mengkaiatkan elemen rahasia negara dalam ruang irisan dengan keamanan nasional.

Kedua, perihal selanjutnya yang menjadi penting untuk dipermasalahakan dalam draf Rahasia Negara, yakni terkait dengan pengkategorian atau cakupan yang dirahasiakan. Dalam hal detail objek yang dirahasikan, rancangan ini telah memberikan uraian tentang apa saja yang menjadi rahasia. Misalanya dalam kategori pertahanan negara dimana hal-hal, seperti rencana kekuatan gelar pasukan dalam kondisi perang atau dalam operasi atau pengumpulan data intelejen dalam lingkup intelejen negara. Hal ini dapat dimaklumi sebagai suatu objek rahasia. Namun, terdapat beberapa rincian yang memberikan intrepetasi bahkan ketidakperluan suatu objek menjadi rahasia. Misalnya, pada lingkup pertahanan negara, rincian terhadap rencana alokasi dan pembelanjaan yang berkaitan dengan misi dan tugas pertahanan. Ini menjadi aneh dan menimbulkan peluang atau celah untuk penyelewengan ketika objek tersebut dirahasikan, terutama terkait dengan perencanaan anggaran.

Dua hal tersebut yang kemudian menjadi permasalahan tersendiri dimana ketidakjelasan bingkai kerahasian negara yang diikuti dengan beberapa rincian tentang objek yang dirahasiakan dengan multii-interpretasi menciptakan peningkatan kerawanan serta kecurigaan terhadap pelaksanaan RUU ini nantinya.

Refleksi ketiga, yakni mekanisme (cara) untuk menentukan kerahasian dimana pada rancangan ini telah dimasukan bahasan tersendiri terkait dengan klasifikasi dan deklasifikasi suatu rahasia negara. Namun, secara eksplisit bahasan tersebut hanyalah suatu proses administrasi kenegaraan dimana lembaga yang ditunjuk sebagai pelaksana/penentu rahasia negara memberikan suatu pertimbangan tertulis terhadap akibat yang ditimbulkan ketika objek tersebut tidak dirahasiakan dan pertimbangan tersebut disampaikan pada presiden. Paparan tersebut hanya memberikan suatu pemahaman administrasi kenegaraan, bukan suatu mekanisme jelas dan spesifik. Terkait dengan klasifikasi dan deklasifikasi tersebut, pada rancangan ini tidak ditemukan relasional antara jenis rahasia negara (sangat rahasia, rahasia, rahasia terbatas) dengan dampak yang ditimbulkan jika terjadi penyalahgunaan rahasia negara. Ini menjadi penting dalam upaya pengklasifikasian dan pendeklasifikasian suatu rahasia negara.

Keempat, yakni terkait dengan masa retensi yang terpapar dalam rancangan tersebut dimana ada tiga tingkatan, yakni sangat rahasia 30 tahun, rahasia 15 tahun, dan rahasia terbatas 5 tahun. Masa retensi menjadi penting, namun tidak selalu suatu informasi, benda, dan kegiatan yang memiliki implikasi terhadap keutuhan bangsa dan negara (sangat rahasia) diberikan waktu 30 tahun. Terdapat beberapa informasi, benda, dan kegiatan yang memiliki kandungan kerawanan yang tinggi namun dapat diselesaikan kerawanan dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun. Sebab dalam bahasan deklasifikasi tidak diuraiakan paparan terkait dengan penghentian suatu rahasia negara ketika ancaman dan kerawanan telah diselesaikan dalam kurun waktu kurang dari masa retensi.

Uraian klasifikasi, deklasifikasi, dan masa retensi menjadi penting untuk direfleksikan karena ketiga menjadi suatu simpul dalam penetapan dan pengakhiran suatu objek yang telah dan akan menjadi rahasia negara.
           
Kelima, yaitu permasalahan terkait dengan aktor penyelengaara, penentu, pengelola dan pelindung rahasia negara. Dalam rancangan yang digulirkan sekarang, tidak terdapat secara jelas siapa yang akan melakukan upaya-upaya tersebut. Yang disajikan hanyalah presiden sebagai pemegang kewenangan tertinggi yang dapat melimpahkan kewenangan tersebut pada lembaga negara, baik itu lembaga kementerian maupun lembaga non-kementerian. Tidak diatur secara jelas dan terperinci siapa yang berhak dan bertanggung jawab dalam menanganan perahasian objek rahasia. Ini memunuculkan kerawanan demokrasi dimana presiden sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam tata kelola negara (pemerintahan) memberikan cek kosong pada lembaga negara tersebut untuk melakukan pelaksnanaan perahasian negara tanpa didasari suatu uraian pasal atau ayat dalam rancangan tersebut.

Keenam terkait pengaturan terhadap siapa saja pejabat negara yang karena jabatan dan kepentingannya dapat menggunakan rahasia negara. Dalam rancangan ini belum dijelaskan secara rinci terkait dengan uraian tersebut. Yang kemudian muncul dalam RUU Rahasia Negara ini, yakni setiap pejabat negara ketika akan mengakses dan memiliki informasi, benda, dan kegiatan yang dirahasikan memerlukan “hak untuk mengetahui” berdasarkan tingkat atau jenis rahasia negara. Terlebih yang sangat merisaukan terkait dengan standar prosedur dalam proses kepemilikan atau akses terhadap objek rahasia dimana tidak dijelaskan apa yang menjadi standar prosedur yang rinci ataukah hanya kepemilikan “hak untuk mengetahui” yang menjadi dasar proses tersebut.

Ketujuh, refleksi kritis tertuju pada tidak adanya bahasan pada RUU Rahasia Negara yang menyangkut tentang akses masyarakat terhadap objek yang dirahasiakan. Yang kemudian muncul pada teks RUU ini adalah hanya pejabat negara yang dapat mengakses dan memiliki objek rahasia tersebut. Ini menunjukan bahwa RUU ini sangat eksklusif bagi apartus negara (stata apparatus). Masyarakat biasa tidak ditempatkan dalam upaya pengendalian resiko lewat rahasia negara. Yang ada hanyalah masyarakat biasa dapat memiliki dan mengakses ketika kondisi tidak sengaja dan dilakukan dengan melawan hukum. Hal ini sangat ironis, dimana lewat rancangan ini masih sangat kuat upaya-upaya membentukan kembali rejim ketertutupan jika meliha belum diberikannya peran seran masyarakat untuk dapat memperoleh apa yang disebut rahasia.

Kedelapan, yakni perihal anggaran yang dibutuhkan dalam upaya perahasian suatu objek yang dirahasian. Dalam rancangan ini belum memberikan suatu usulan yang terkait dengan bagaimana dana atau alokasi anggaran dalam pengelolaan suatu mekanisme perahasian, yang ada hanyalah dana-dana yang dialokasikan pada aparat negara yang bekerja dalam penyelenggaraan, penetapan, pengelolaan, dan perlindungan rahasia negara. Hal ini menjadi penting ketika melihat tingkata masa retensi yang memerlukan biaya dalam sistem penanganan rahasia negara. Tak hanya itu, penggunaan teknologi dalam pengelolaan rahasia negara dapat dipastikan memerlukan biaya besar. Untuk itu, sangat mengherankan ketika anggaran atau alokasi dana perahasian tidak dicantumkan, karena akan menimbulkan kecurigaan yang tinggi tentang asal biaya yang dikeluarkan ketika rancangan ini dilaksanakan dalam level operasional.

Kesembilan, yakni terkait dengan belum adanya bahasan tentang pengecualian terhadap objek kerahasian ketika diperhadapkan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Ini menjadi penting karena rahasia negara ditempatkan tidak hanya pada kutub (kepentingan keamanan nasional), melainkan konteks demokrasi menjadi penting untuk dikedepankan dalam rancangan tersebut. Terlebih, ketika terkait dengan upaya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, suatu objek rahasia negara tidak dapat ditempatkan sebagai alat bukti dalam persidangan umum. Ini menjadikan kelemahan tersendiri, bagaimana ketika dalam pelaksanaan rahasia negara terbentur atau terkait dengan kasus-kasus hukum pidana.

Kesepuluh, terkait dengan dimensi pengawasan yang diatur dalam rancangan ini telah dipaparkan tentang pengawasan dua arah, yakni eksekutif (lewat presiden), dan legislatif (lewat sub komisi atau komisi khusus). Bahasan ini tidak menjadikan cukup dalam suatu dimensi pengawasan yang ideal. Terlebih dalam prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan perihal checks and balances yang menuntut untuk pengawasan yang berlapis dan bertingkat mulai dari tiga pilar negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif), hingga pada upaya-upaya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil atau aktor yang memiliki sifat independen.

Kesepuluh paparan yang terkait dengan peramasalahan yang terkandung dalam sisi substansi tersebut mengindikasikan bahwa RUU Rahasia Negara masih berada dalam level perdebatan substansi yang terkai dengan prinsip-prinsip demokrasi dengan kepentingan keamanan nasional. Jika melihat rancangan tersebut menjadi wajar ketika masyarakat sipil perlu merefleksikan secara kritis pokok-pokok bahasan yang nantinya akan menciptakan kerawanan terhadap sistem dan suasanan demokrasi yang telah dibangun kurang lebih satu dasawarsa ini.

Rekomendasi Reflektif
Ketika masih bervariasinya jenis dan karakter permasalahan dalam substansi RUU Rahasia Negara, menjadi penting untuk memberikan rekomendasi (awal) terhadap refleksi kritis yang telah dipaparkan tersebut. Rekomendasi ini juga akan ditempatkan pada dua kutub, yakni demokrasi dan keamanan nasional. Untuk itu, terdapat beberapa rekomendasi yang coba disajikan dalam uraian selanjutnya.
           
Pertama, RUU Rahasia negara haruslah ditempatkan dalam tujuan dan kepentingan keamanan nasional sebagai bingkai utama. Ini diharapkan untuk tidak menciptakan suatu rejim ketertutupan yang coba menutup segala akses informasi dalam terhadap masyarakat. Implikasinya jelas yang kemudian akan diatur dalam pasal, ayat, dan butir pada rancangan ini akan selalu terbatas dan hanya pada kepentingan keamana nasional. Kedua, yakni terkait dengan rincian kategori atau ruang lingkup yang tertera dalam rancangan ini dimana ketika perincian tersebut diperlukan maka implikasinya jelas, yakni rincian tersebut tidak menimbulkan mulit-interpretasi yang akan menimbulkan perdebatan tajam antar aktor negara dan masyarakat sipil.
           
Rekomendasi ketiga, yakni terkait mekanisme (cara) untuk menentukan kerahasian. Ketika RUU ini diperlukan dalam pengendalian resiko (risk control), maka perincian secara jelas tentang bagaimana suatu cara dalam menentukan kerahasian menjadi keharusan yang ditampilan dalam uraian RUU Rahasia Negara. Reformulasi tentang mekanisme penentuan yang kemudian dikaitkan dengan upaya klasifikasi dan deklasifikasi menjadi penting dan harus dipaparakan dalam RUU ini. Keempat, yakni penggunaan tingkatan masa retensi tersebut dimana RUU ini harus memformulasikan tentang masa retensi yang dihubungkan dengan jenis rahasia negara. Dan bagaimana masa retensi ini berakhir ketika telah selesai dan tidak menimbulkan ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara dan sebulum waktu yang ditentukan. Hal ini perlu diatur melihat konteks ancaman yang cepat eskalasi dan penanganannya. Hal ini juga diperlukan untuk menghindari pembiaran suatu objek yang telah tidak memiliki nilai strategis dalam kurun waktu yang lama.
           
Rekomendasi kelima, yakni penentuan secara eksplisit, jelas, dan rinci terhadap aktor negara (pemerintah) yang menjadi penyelenggara, penentu, pengelola, dan pelindung objek yang dirahasikan. Ini dapat dilakukan dengan menunjukan secara langsung satu atau lebih lembaga negara baik itu kementerian atau non-kementerian yang memiliki kompetensi dan instrumen dalam pelaksanaan rahasia negara. Atau dapat dengan membentuk suatu komite atau lembaga baru yang diakomdasi dari aparatur negara yang menjadi penyelenggara, penentu, pengelola, dan pelindung objek yang dirahasikan. Keenam, yakni tentang standar prosedur yang dibutuhkan ketika pejabat negara yang berdasarkan jabatan dan kepentingannya membutuhkan dan memiliki objek yang dirahasiakan. Tidak hanya melalui “hak untuk mengetahui”, namun standar prosedur ini menjadi penting untuk diperinci dan diperjelas bagiamana cara atau tata kelola dan merujuk pula pada dampak dan kebutuhan ketika terjadi pemindahan tangan dalam kepemilikan suatu objek yang dirahasian.
           
Ketujuh, yakni sehaursnya secara ideal dan memenuhi prinsip demokrasi, yaitu partisipasi aktif masyarakat, maka ruang untuk masyarakat (sipil) untuk mengakses dan memiliki objek yang dirahasikan menjadi penting untuk diberikan. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan security clearence yang menjadi jembatan untuk masyarakat dapat mengakses objek yang dirahasiakan. Hak ini juga dengan melihat dampak dan implikasi yang terkait dengan tujuan dan kepentingan keamanan nasional. Rekomendasi selanjutnya, kedelapan, yakni terkait dengan pemenuhan anggaran terhadap pelaksanaan rahasia negara. Pemenuhan tersebut dapat didapat lewat sumber-sumber resmi dan legal yang dimiliki negara. Untuk itu, rekomendasi menuntut untuk memberikan suatu bahasan tentang anggaran dalam pelaksaan rahasia negara.
           
Kesembilan, yakni terkait dengan bahasan pengecualian dimana pokok-pokok objek yang dirahasikan dapat luntur atau gugur seiring dengan kasus-kasus, seperti HAM dan Korupsi yang melekat dalam upaya-upaya perahasian negara. Ini menjadi penting untuk memberikan klausul tentang upaya pengecualian yang diperhadapkan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Rekomendasi kesepuluh, yakni tentang pengawasan berlapis dimana pada RUU ini hanya memberikan dua arah pengawasan belum cukup, diperlukan pengawasan berlapis, seperti ekskutif (presiden dan jajaran), legislatif (komisi khusus), yudikatif (polri, kejaksaan, kehakiman), yang ditambahkan dengan KPK sebagai pengawas dalam semangat anti korupsi, Komnas HAM (dalam pencegahaan pelanggaran hak dasar masyarakat), dan lembaga independen (masyarakat sipil) untuk kontrol eksternal terhadap perahasian negara.

Standing Point
Dalam melihat dan merefleksikan rancangan undang-undang yang kembali digulirkan pada Prolegnas 2010-2014, terdapat dua poin penting dalam penempatan posisi dalam merespon draf tersebut. Pertama, rancangan ini memiliki intisari yang menjadi alat pengendali resiko terhadap ancaman bagi keutuhan bangsa (terutama dalam kerawanan terhadap gangguan yang akan merusak secara fisik). Hal ini menjadi penting dalam konteks tujuan dan kepentingan keamanan nasional. Kedua, namun ketika konteks keamanan nasional tidak memenuhi prinsip demokrasi yang tertuang dalam rancangan undang-undang rahasia ini (terutama dalam sisi substansi), maka kecenderungan untuk kembali pada budaya kerahasian (rejim ketertutupan) dan penyelewengan terhadap kekuasaan memiliki potensi yang kuat dan tinggi. Untuk itu, ketika tujuan dan kepentingan keamanan nasional yang dituangkan dalam RUU Rahasia Negara masih memiliki masalah substantif yang mana memungkinkan untuk terjadinya penyelewengan, maka upaya resistensi menjadi penting untuk dikedepankan.                 
            Kedepan diharapkan, dalam konteks rahasia negara, maka UU Rahasia Negara harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. Pengaturan rahasia negara harus berlandaskan pada paradigma bahwa semua informasi hakikatnya terbuka. Hanya terdapat pengaturan-pengaturan yang membedakan pejabat mana yang memiliki security clearance kewenangan untukmembuka sebuah informasi.
  2.  Penetapan mengenai security clearance harus berdasarkan pada prinsip-prinsipkebebasan informasi di mana pengaturan mengenai wewenang membukainformasi tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan informasi.
  3.  Pengaturan mengenai rahasia negara harus menganut prinsip sunset. Artinya ada jangka waktu yang jelas mengenai berlakunya peraturan tersebut.
  4. Penetapan akses terhadap sebuah harus informasi harus memenuhi kaidah balancing on public interest test dimana sesuatu yang dianggap rahasia apabila kepentingan publik menghendaki untuk membukanya maka ia harus tetap bias dibuka dan consequential harm test yaitu uji konsekuensi terhadap suatu ketentuan rahasia. Apabila setelah diuji ketentuan rahasia tersebut lebih besar manfaatnya apabila dibuka maka ketentuan tersebut harus dibuka.
  5. Harus ada jangka waktu kadaluwarsa bagi suatu ketentuan kerahasiaan. Dalam jangka waktu tertentu suatu informasi yang tadinya hanya bisa diakses oleh sekelompok orang, dan kemudian harus bisa dibuka dan diumumkan kepada publik
i be! u o = �e> ara terhadap unsure-unsur pemerintah dan institusi di bawahnya. Termasuk aktor-aktor yang bertugas mengurus pertahanan negara.


Bagi negara-negara yang memiliki peraturan tentang adanya wajib militer, maka PBB merekomendasikan untuk memberikan bagi warga yang menggunakan Conscentius Objection dengan berbagai dinas pengganti seperti ikut melayani kepentingan public, kerja sosial, dan lainnya.


D. Langkah Apa yang dapat Diambil?

Rencana Pemerintah untuk membentuk Komponen Cadangan pertahanan dapat diterima, akan tetapi harus ada penjelasan dari pemerintah tentang tujuan serta “blueprint” dalam pengelolaannya.

Harus dipikirkan kembali efek dari komcad terhadap komponen utama. Apakah nantinya bias berakibat positif atau negatif. Perlu juga dilihat efek dari penyatuan tugas dari Komponen utama dan komponen cadangan.

Secara prinsipil, sebuah kebijakan pemerintah tidak hanya memikirkan kepentingan negara, namun kepentingan hak-hak dasar warga negara juga harus terpenuhi. Oleh karena itu perlu dibuat mekanisme concentious objection dan alternatif  bagi warga yang tidak mengikuti komcad, seperti kerja sosial, magang di instansi pemerintah, dsb

RUU Komponen Cadangan juga membuka peluang terjadinya penyalah gunaan wewenang terkait penguasaan sumber daya non manusia mengatasnamakan pembentukan komponen cadangan. Dikhawatirkan pula pembentukan Komcad akan memperkuat kembali komando territorial, hal ini bertentangan dengan UU No. 34 tahun 2004 yang memandatkan restrukturisasi komando territorial.

Hal-hal yang dapat dilakukan aktor negara dalam memperbaiki RUU Komcad:
1.     Pengadopsian nilai-nilai HAM, dan kejelasan status concentious objection
2.     Penekanan bahwa penggunaan Komcad sebagai last resort
3.     Sebelum Undang-Undang ini disyahkan, sebaiknya pemerintah menyelesaikan reformulasi doktrin dan postur pertahanan, membuat UU keamanan nasional sebagai referensi operasional Komcad