Tuesday, August 19, 2014

Revolusi Mental Bagi Bangsa Indonesia



Revolusi Mental Bagi Bangsa Indonesia
Oleh David Raja Marpaung[1] 

            Tanggal 9 Juli 2014 merupakan sebuah momentum besar bagi Bangsa Indonesia. Setelah dua periode yang sangat mengecewakan, terutama di bidang kepemimpinan dan penghapusan korupsi, maka pemilihan Presiden dan Wakil Presiden mendatang merupakan kesempatan untuk bangkitnya Bangsa dan Negara Indonesia.
            Indonesia di masa yang datang harus siap menghadapi ancaman yang dapat mengoyak kesatuan bangsa baik sebagai entitas, maupun sebagai sebuah struktur kenegaraan. Krisis kepemimpinan menjadi masalah yang begitu parah. Hampir tidak ada lagi elit politik yang dapat dipercaya masyarakat. Para elit politik baik di pusat maupun di daerah sudah diidentikan dengan korupsi dan rendahnya moralitas. Menteri Pemuda dan Olahraga dan Menteri Agama sudah ditetapkan terkait kasus korupsi. Kondisi ini diperparah dengan 325 kepala daerah; dari tingkat gubernur hingga bupati atau walikota yang sudah terjerat hukum, kebanyakan karena kasus korupsi.
            Dengan krisis kepemimpinan ini, maka masa transisi ke depan tidak lah mudah. Pemipin yang nantinya akan terpilih tentu saja akan bertemu dengan para politisi-politisi kotor; yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, serta menghalalkan berbagai cara untuk meraih kekuasaan dan kekayaan.  Untuk menghadapi “kekotoran” dalam berpolitik, maka pemimpin masa depan harus memiliki prinsip atau nilai yang menjadi panutan bagi masyarakat, sehingga kesempatan untuk membangun karakter pemimpin yang baik dan penghapusan korupsi dapat diwujudkan. Tiada kata lain “Revolusi Mental” merupakan suatu hal yang dilakukan, terutama bagi sang pemimpin.

Revolusi Mental bagi Indonesia
            Kebangkutan sebuah bangsa atau negara dimulai dari kebangkrutan moral. Ketika sebuah bangsa sudah kehilangan pegangan nilai, maka hal buruk dapat dimanifestasikan sebagai sesuatu yang baik. Demikian juga, hal yang baik dapat diinterpretasikan sebagai hal buruk yang bersifat mengancam.
            Mentalitas buruk yang paling menonjol dari pemimpin kita adalah memiliki etos kerja yang minim, senang dipuji, senang dilayani, suka dan pamer akan kemewahan, suka jalan pintas untuk mencapai suatu tujuan, dan sifat-sifat buruk lainnya. Akibat dari mentalitas buruk ini adalah korupsi dan inefisiensi. Korupsi merebak di mana-mana, dari tingkat istana pusat hingga abdi masyakat di kelurahan/desa, dan terjadi dari Aceh hingga Papua. Inefisiensi terjadi karena birokrasi yang lamban, suka disuap, dan tidak menyadari tugas sebagai pelayan rakyat.
            Banyak masyarakat yang sudah muak dan jenuh akan kondisi ini. Kebanyakan dari mereka tahu bahwa untuk menjadi hebat di level dunia, maka bangsa ini harus terlebih dahulu memiliki moralitas yang baik. Untuk itu, dibutuhkan suatu revolusi mental yang dapat megikis korupsi dan efisiensi di pemerintahan yang akan datang.
            Konsep revolusi mental pada awalnya didengungkan oleh seorang ahli manajemen Frederick W Taylor pada 1912. Dalam karyanya “Scientific Management”, ia menegaskan perlunya ada revolusi mental dalam era baru manajemen industri. Pada intinya ia menekankan harus adanya perubahan besar dan mendasar antara para pekerja dan manajemen perusahaan untuk mencapai tujuan industri yang baru. Etos kerja harus diubah, mental atau nilai pekerja yang revolusioner , hubungan industrial yang lebih baik, dan lain lain.
            Dalam level nasional, atau berbangsa dan bernegara, hal ini dapat diimplementasikan dalam perubahan etos kerja birokrat yang lebih baik, perubahan mental atau nilai kewarganegaraan yang revolusioner, serta hubungan antara masyarakat yang salaing mendukung.
     Perubahan mendasar pada etos kerja birokrat yang lebih baik ialah mengingatkan dan mengembalikan kembali posisi mereka sebagai abdi atau pelayan masyarakat. Dalam aplikasi sederhana, para pegawai negeri harus masuk kerja dan pulang kerja tepat pada waktunya atau on time. Kedua, proses birokrasi harus disederhanakan atau dibuat dalam satu atap. Ketiga, menghapus adanya pungutan liar atau tidak resmi dalam pengurusan administrasi dan perizinan. Keempat, menghapus korupsi dalam setiap proyek pengadaan dan proyek kerja yang melibatkan aparat pemerintah. Kelima, tranparansi dalam pelaporan keuangan yang dapat diakses oleh masyarakat.
     Revolusi mental dalam kewarganegaraan ialah menanamkan rasa kecintaan dan kebanggan sebagai warga negara, serta kewajiban yang harus dijalankan dalam masyarakat. Apabila warga negara memiliki rasa kecintaan yang besar bagi negaranya, maka tidak dapat diragukan bahwa mereka rela berkorban bagi kepentingan bangsa dan negara. Nilai kewargangeraan berikutnya adalah adanya rasa memiliki, apabila masyarakat merasa memiliki negara Indonesia, maka mereka akan mau dan berinisiatif untuk membela Indonesia.
     Revolusi mental berikutnya ialah membangun hubungan yang baru antara masyarakat dan Pemerintah Indonesia. Untuk ini, dibutuhkan rasa saling menghormati dan percaya di kedua belah pihak. Pemerintah harus tahu bahwa mereka dibiayai oleh dana rakyat, oleh karena itu mereka harus bekerja seoptimal mungkin bagi kesejahteraan rakyat. Pemerintah juga harus rela dan mau dikontrol dan diawasi oleh masyarakat, jangan sampai ada mental bobrok yang suka menyembunyikan kebohongan dan korupsi. Masyarakat juga harus belajar menghargai dan mempercayai masyarakat, sehinga tercipta sinergi dalam setiap rancangan pembangunan yang telah ditetapkan. Masyarakat juga harus berpartisipasi aktif dalam program-program yang memang harus melibatkan masyarakat. Dengan hubungan yang baru antara pemerintah dan masyarakat, maka program-program yang terancang dapat tercapai, dan pada akhirnya tercapai negara kuat dan rakyat sejahtera.
     Tanpa memihak salah satu kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden, maka revolusi mental harus dilaksanakan oleh siapa saja pemimpin yang nanti akan terpilih. Revolusi mental mutlak diperlukan dalam krisis kepemimpinan dan era kebobrokan korupsi yang kian tidak terkendali. Dengan revolusi mental, maka secercah harapan akan Negara dan Bangsa Indonesia yang sejahtera, mandiri, adil, dan bersih dapat tercapai.





[1] Penulis adalah co-leader pada Central for Defense and Security Management. Dapat dihubungi pada email : davidrajamarpaung@gmail.com. Tulisan ini telah  dipublikasikan pada salah satu media cetak nasional

The Urgency of Minimum Essential Force Program

                                          The Urgency of Minimum Essential Force Program
                                                              By David Raja  Marpaung

President Susilo Bambang Yudhoyono has set a revitalization program and military modernization called Minimum Essential Force (MEF) or minimum posture of defense force in 2009. This program runs in three phases. The first phase was in 2009 to 2014 in the second phase from 2015 to 2019, and the last phase in 2020-2024. With the change of government this year, it will be a question and widely reported in both the national and international environment; whether this MEF program will be continued? This becomes very crucial due to the condition of military weapons system that has not been there rejuvenation, as well as the balance of military power with neighboring countries are more distant shot of a military force, coupled with the potential for conflict over the control of the South China Sea region.

MEF is the Minimum Strength

 
From the name alone program called Minimum Essential Force or posture / minimum defense force, this means that the result of the modernization of defense equipment is the minimum force necessary to keep the unity of the Republic of Indonesia. One example is the minimum, to maintain the strength of combat aircraft ideally eastern Indonesia is one kuadron main class fighter, and two squadrons of the first class. In terms; Eastern Indonesia must be guarded by a squadron of Sukhoi SU-30 fighter-class and two squadrons of F-16. But now the focus of the new government would equip a squadron of Sukhoi in Makassar.
Another example is, to protect the sea area of ​​Indonesia that reaches 3.28701 million km2, it is ideally required 12 pieces submarines. But the military now has only two German-made submarines in 1981 namely KRI KRI Cakra Nangalla 401 and 402, and are waiting for a new three-class submarines Changbogo made ​​in Korea. 
For the army, it is common knowledge that concentrated alutsistanya very poor condition. Weapons technology still relies on the ability of first-generation fighter that still rely on human sebgai main strength. Whereas in developed countries and neighbors such as Malaysia and Singapore, Army combat power they have powers that rely on third-generation warfare weapons technology and Information technology. Even for Singapore, they had reached the army for war generation technology keempa, ie, asymmetric warfare and the use of non-linear entire infrastructure and weapons systems, which aimed to destroy the will to fight the enemy
Thus, even if the target is achieved MEF modernization, it can be said of our military forces actually still within the region to secure the rule of course. It is linear with the statement that the President several times stated that the defensive strength of the Indonesian military or defense, and not offensive or attack.

Budget priorities

 
Why is the government declared a minimum? This is due to limited funds and also priorities in the government's development program. Development in the defense sector in the development with very different economic sectors, as well as health. Military construction basically not directly perceived by society, but actually price of a sovereignty and security of the invasion, spying, sabotage, or actual alien invasion is very expensive.
This is very different from the field of economic development that can be directly perceived by the community, for example with employment, increase income, up to the amount of savings that continues to grow. So also in the health sector are highly visible such as the construction of hospitals and health centers, provision of medical equipment is modern, up to the existence of professional doctors to provide maximum health care for Indonesia.
However the real budget development priorities can not be easily simplified. Must be seen that the long-term benefits to be received, as well as recognition as a sovereign state that is not paid.
When viewed from its budget, the Indonesian defense budget is currently at $ 83 trillion is only about 0.8 to 0.9 percent of total gross domestic product. And ideally, the defense budget in developed countries is in the range of 2 percent of GDP. Compare this with Singapore's defense budget, which reached 3.3 percent of GDP.
The low defense budgets led to efforts to achieve MEF increasingly difficult. In fact, if MEF really want to happen then, ideal conditions the development of Indonesia's defense budget in the next five years is expected to range between 3-4 percent of GDP.

 
Benefits of MEF

 
Is ultimately, all Indonesian people will ask; whether the benefits of the modernization program of defense equipment with the funds of such magnitude in a period of 15 years. Is that so much money is just to show off the power only, or are there more benefits to be received.
The first benefit is the empowerment of military modernization and border management, as well as the outermost small islands. Thus there is no longer annexation by neighboring countries, theft of marine resources by foreign fishermen, as well as the existence of sovereignty in outer lines of our oceans.
Both benefits are independence of defense equipment. Some types of defense equipment procurement obligates the transfer of technology (Transfer of Technology / ToT), or also a joint production (Join Productions). The Government through the Ministry of Defense to encourage the growth of domestic industry, especially the defense industry, in collaboration with several developed countries are planning to make submarines, surface ships, and certain modern fighter aircraft. Thus in the future, Indonesia can maintain and produce the defense equipment by self. This has been done by several defense industry companies, including PT Pindad, PT Air Indonesia, and PT PAL
Third is the economic development benefits of defense. Another goal of the program is Indonesian MEF not only be consumers of the tools of war, but it will be the producers of these weapons. With the development of strategic industries in the country, then this will provide employment and generate income for the country. Indoenesia also be known as a producer of technology, rather than simply as a recipient of foreign technology alone.
Looking at the existing benefits, it turns out in the end with a good management of the defense budget, will drive the wheels The real economy of Indonesia. Reflecting the developed countries like USA and UK, they actually get a huge foreign exchange from selling weapons and defense technology to other countries.

Pentingnya Kelanjutan MEF di Masa Mendatang



Pentingnya Kelanjutan MEF di Masa Mendatang
Oleh David Raja Marpaung[1]

            Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah menetapkan program revitalisasi dan modenisasi TNI yang bernama Minimum Essential Force (MEF) atau postur atau kekuatan pertahanan mimimum pada tahun 2009. Program ini berjalan pada tiga fase. Fase pertama ialah pada tahun 2009 hingga 2014. Fase kedua pada 2015-2019, dan fase terakhir pada 2020-2024. Dengan pergantian pemerintahan pada tahun ini, maka akan menjadi pertanyaan dan sorotan banyak pihak baik di lingkungan nasional maupun internasional; apakah program MEF ini akan dilanjutkan? Hal ini menjadi sangat krusial mengingat kondisi alutsista TNI yang sudah lama tidak ada peremajaan, serta perimbangan dengan kekuatan militer negara-negara tetangga yang semakin jauh melesat dari kekuatan TNI, ditambah dengan potensi konflik atas penguasaan wilayah Laut Cina Selatan.

MEF adalah Kekuatan Minimum
            Dari nama programnya saja yang bernama Minimum Essential Force atau Postur/kekuatan pertahanan minimum, ini berarti bahwa hasil dari modernisasi alutsista tersebut ialah kekuatan minimum yang diperlukan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Salah satu contoh minimum ialah, kekuatan pesawat tempur untuk menjaga wilayah Indonesia Timur idealnya adalah satu kuadron pesawat tempur kelas utama, dan dua skuadron kelas pertama. Dalam artian; Indonesia Timur harus dijaga oleh satu skuadron pesawat tempur kelas Sukhoi SU 30 dan dua skuadron F-16. Namun fokus pemerintah kini baru akan melengkapi satu skuadron sukhoi di Makassar.
            Contoh lainnya adalah, untuk melindungi luas wilayah laut Indonesia yang mencapai 3.287.010 km2, maka idealnya diperlukan 12 buah kapal selam. Namun kini TNI hanya memilki dua kapal selam buatan jerman tahun 1981 yakni KRI Cakra 401 dan KRI Nangalla 402 , dan tengah menanti tiga kapal selam baru kelas Changbogo buatan Korea.
            Untuk angkatan darat, sudah mnjadi rahasia umum bahwa kondisi alutsistanya sangat memprihatinkan. Teknologi senjatanya masih mengandalkan kemampuan tempur generasi pertama yang masih mengandalkan manusia sebgai kekuatan utama. Padahal di negara maju dan tetangga seperti Malaysia dan Singapura, kekuatan tempur Angkatan Darat mereka sudah kekuatan peperangan generasi ketiga yang mengandalkan teknologi senjata dan teknologi Informatika. Bahkan khusus untuk Singapura, tentara mereka sudah mencapai teknologi untuk peperangan generasi keempa, yakni  peperangan asimetris dan non-linier yang menggunakan seluruh sarana prasarana dan sistem senjata, yang ditujukan untuk menghancurkan kemauan bertempur musuh
            Dengan demikian, walaupun target modernisasi MEF tercapai, dapat dikatakan kekuatan militer kita sesungguhnya masih dalam batas untuk mengamankan kedaulatan wilayah saja. Hal ini linear dengan pernyataan Presiden SBY yang beberapa kali menyatakan bahwa kekuatan militer Indonesia bersifat defensive atau bertahan, dan bukannya offensive atau menyerang.

Prioritas Anggaran
            Mengapa pemerintah menyatakan minimum? Hal ini dikarenakan keterbatasan dana dan juga prioritas dalam program pembangunan pemerintah. Pembangunan di sector pertahanan sangat berbeda denagn pembangunan di sektor ekonomi, dan juga kesehatan. Pembangunan TNI pada dasarnya tidak dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat, namun seungguhnya harga dari sebuah kedaulatan dan rasa aman dari invasi, siponase, sabotase, atau invasi asing sesungguhnya sangatlah mahal.
            Hal ini sangat berbeda dengan pembangunan pada bidang ekonomi yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, misalnya dengan penyerapan tenaga kerja, peningkatan penghasilan, hingga jumlah tabungan yang terus bertambah. Begitu juga di sektor kesehatan yang sangat kasat mata seperti pembangunan rumah sakit dan puskesmas, penyediaan alat-alat kesehatan yang modern, hingga adanya tenaga dokter yang professional untuk memberikan pelayanan kesehatan maksimum bagi Indonesia.
            Namun sesungguhnya prioritas pembangunan anggaran tidak dapat disederhanakan secara mudah. Harus dapat dilihat bahwa manfaat jangka panjang yang akan diterima, serta pengakuan sebagai sebuah negara yang berdaulat yang tidak terbayarkan.
            Bila dilihat dari anggarannya, maka anggaran pertahanan Indonesia saat ini yakni Rp 83 triliun hanyalah sekitar 0,8 hingga 0,9 persen dari total produk domestik bruto. Padahal idealnya, anggaran pertahanan  di negara-negara maju ialah pada kisaran 2 persen dari PDB. Bandingkan dengan anggaran pertahan Singapura yang mencapai 3,3 persen dari PDB.
            Rendahnya anggaran pertahanan menyebabkan upaya pencapaian MEF semakin sulit. Bahkan sesungguhnya apabila MEF benar-benar mau terwujud maka, kondisi ideal anggaran pembangunan pertahanan Indonesia dalam periode lima tahun kedepan diharapkan berkisar antara 3–4 persen dari PDB.

Manfaat MEF
            Pada akhinya, semua rakyat Indonesia akan bertanya; apakah manfaat dari program modernisasi alutsista dengan dana yang sedemikian besarnya dalam kurun waktu 15 tahun. Apakah dana yang sedemikian besar tersebut hanya untuk pamer kekuatan saja, atau adakah manfaat lebih yang akan diterima.
            Manfaat pertama dari modernisasi TNI ialah pemberdayaan dan pengelolaan perbatasan, serta pulau-pulau kecil  terluar. Dengan demikian tidak ada lagi pencaplokan wilayah oleh negara tetangga, pencurian kekayaan laut oleh nelayan asing, serta eksistensi kedaulatan di garis-garis terluar laut kita.
            Manfaat Kedua ialah kemandirian alutsista. Pengadaan beberapa jenis alutsista mewajibakan adanya alih teknologi (Transfer of Technology/ToT), atau juga produksi bersama (Join Production).  Pemerintah melalui Kemhan mendorong tumbuhnya industri dalam negeri, terutama industri pertahanan, bekerjasama dengan beberapa negara maju berencana membuat kapal selam, kapal permukaan tertentu dan pesawat tempur modern. Dengan demikian di masa depan, Indonesia dapat merawat dan memproduksi alutsisnya sendiri. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan industry pertahanan, antara lain PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL
            Manfaat Ketiga ialah pembangunan ekonomi pertahanan. Tujuan lain dari program MEF adalah Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dari alat-alat perang, namun akan menjadi produsen dari senjata-senjata tersebut.  Dengan pembangunan industri strategis dalam negeri, maka hal ini akan menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa bagi negara. Indoenesia juga akan dikenal sebagai negara penghasil teknologi, dan bukannya hanya sebagai penerima teknologi asing saja.
            Melihat manfaat yang ada, ternyata pada akhirnya pengeloaan anggaran pertahanan dengan baik, sesunggunya akan menggerakkan roda ekonomi Indonesia. Berkaca dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, mereka justru mendapatkan devisa yang besar dari menjual senjata dan teknologi pertahanan pada negara lainnya.



[1] Penulis adalah Co-Leader pada Center for Defense and Security Management, juga pengajar pada Lasalle College International. Dapat dihubungi di email:davidrajamarpaung@gmail.com