Friday, May 20, 2011

Hubungan Indonesia – Malaysia, Ancaman Ekstenal dan Solusi Menghadapinya

Hubungan Indonesia – Malaysia
Ancaman Ekstenal dan Solusi Menghadapinya

Oleh David Raja Marpaung[1]

           Hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kini tengah mencapai titik kritis, bahkan bisa dikatakan saat ini telah terjadi psywar antara dua bangsa besar di Kawasan Asia Tenggara ini. Masalah perbatasan seperti di Ambalat  yang berakibat hilangnya Pulau Sipdan-Ligitan, persoalan Penyiksaan TKI, dan TKI Ilegal, asap hutan yang mencapai Malaysia, hingga penangkapan tiga orang staf Departemen Kelautan dan Perikanan yang dibarter dengan tujuh nelayan Malaysia,  seolah-olah telah menjadi api dalam sekam, yang sebentar lagi siap membakar seluruh hutan.
Sejarah panjang konflik Indonesia dan Malaysia dimulai pada tahun 1963, ketika Dibawah Pemerintahan Soekarno, Indonesia menyatakan mengambil sikap bermusuhan dengan Malaysia, terkait dengan pembagian Kalimantan yang akhirnya dimiliki tida negara (Indonesia, Malaysia, Brunei). Kasus ini berakhir ketika  1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang menyerang Malaysia. Penyerangan berlangsung hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Setelah dekade ini, hubungan Indonesia dan Malaysia mulai membaik. Malah Malaysia pada era 80 dan 90 an banyak mengirimkan mahasiswa ke Indonesia untuk belajar pada perguruan tinggi ternama seperti UI, ITB, UGM, dan Lainnya. Pada bidang teknologi, di tahun 2002 Indonesia-Malaysia bekerjasama membuat satelit mikro yang akan diluncurkan dengan orbit rendah dekat khatulistiwa. Di bidang ekonomi, Malaysia banyak menanamkan investasi di sector perkebunan, terutama karet dan kelapa sawit.

Namun hubungan Indonesia dan Malaysia diperkeruh pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru di Bawah Soeharto,yang terkenal memiliki tangan besi. Dengan demikian ada sebuah analisis, apakah memang benar pemimpin seperti Soeharto lah yang dibutuhkan agar negara Indonesia ditakuti oleh negara lain?

Setidaknya ada beberapa masalah yang hingga kini belum terselesaikan antara Indonesia dan Mlaysia. Masalah utama yang kerap terjadi adalah Kasus penganiayaan TKI di Malaysia termasuk yang paling sering. Penistaan warga Indonesia di Malaysia, khususnya yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, seringkali berakhir tragis seperti penganiayaan hingga cacat bahkan meninggal dunia. Menurut data KBRI Malaysia, setiap tahun setidaknya 400-700 TKI meninggal tiap tahun di Malaysia.

Hingga 2010, diperkirakan jumlah TKW di Malaysia mencapai sekitar dua juta jiwa. Jumlah pekerja Imgran dari Indonesia merupakan yang terbesar di Malaysia. Berdasarkan survey Departemen Imigrasi Malaysia hingga 2007, jumlah tenaga kerja dari Indonesia mencapai 55 persen dari total pekerja dari negara luar yang berjuang di Malaysia. Selain Indonesia, Nepal, Indoa, dan Vietnam merupakan pppengirim tenaga kerja terbesar ke negeri Jiran Tersebut.


Jumlah Pekerja Imigran di Malaysia (Orang)

Negara Asal
2,006
2,007
Indonesia
1,215,000
1,155,080
Nepal
202,200
223,110
India
139,700
144,150
Vietnam
85,800
115,450
Bangladesh
58,800
266,310
Myanmar
32,000
123,220
Filipina
22,000
25,320
Lainnya
88,900
35,380

Sumber: Departemen Imigrasi Malaysia



Melihat besarnya jumlah TKW di Malaysia, maka pemerintah harus benar-benar serius membuat sitem perlindungan terhadap tenaga kerja di luar negeri.  Berdasarkan Data BNP2TKI, setiap tahun terdapat sekitar 2.000 kasus TKI yang bekerja di Malaysia. Memang jumlah terbeut masih kalah jauh dibandingkan kasus TKI di Arab Saudi yang mencapai 22.000 kasus per tahun. Masalah terbanyak yang banyak dihadapi adalah PHK sepihak, sakit akibat kerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, dan pelecehan sosial.

Jumlah TKI Bermasalah Tahun 2008

Negara Tujuan
Jumlah
Arab Saudi
22.035
Taiwan
4.497
UEA
3.866
Singapura
2.937
Kuwait
2.864
Malaysia
2.476
Hongkong
2.245
Qatar
1.516
Oman
1.146
Bahrain
373
Syria
161
Brunei
84
Korsel
10
Dll
1.416
Total
45.626

Sumber: BPN2TKI, berdasarkanData Pintu Kedatangan TKI di Tanggerang




Masalah kedua yang berpotensi terus terjadi ialah masalah perbatasan,khusunya di wilayah Selat Malaka dimana kawasan perairan tersebut diklaim oleh beberapa negara yaitu Singapura, Malaysia, dan termasuk Indonesia. Kenapa Selat Malaka begitu penting? Karena Selat Malaka merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang menghubungkan antara negara negara baratdengan negara-negara timur, sehingga kawasan ini merupakan kawasan yang strategis bagi jalur perdagangan.Masalah Penangkapan tiga staf DKP dan pengangkapan tujuh nelayan Malaysia ditenggarai karena perbedaan penafsiran perbatasan, terkait dengan ZEE.

Berdasarkan Data Kementerian Pertahanan, dari 67 pulau terluar yang berhadapan langsung dengan negara luar, sebanyak 22 diantaranya berbatasan langsung dengan Malaysia. Berikutnya Asutralia dan Filipina. Dari data ini, masalah perbatasan menjadi sangat potensial terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Sepanjang Kementerian Polhukam mencatat terjadi 21 kali pelanggaran kedaulatan oleh kapal perang Malaysia dan 6 kali oleh kapal polisi maritim Malaysia di sekitar perairan Kalimantan Timur dan Laut Sulawesi. Sedangkan pada 2009, jumlah kasus pelanggaran wilayah setidaknya mencapai 9 kali. Sedangkan pada 2010, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menegaskan telah terjadi pelanggaran wilayah pada kasus penangkapan tiga staff DKP.
Ditinjau dari perspektif keamanan, kondisi daerah perbatasan wilayah Indonesia saat ini berada pada tahap mengkhawatirkan. Hal tersebut ditandai dengan timbulnya berbagai masalah perbatasan seperti kasus Blok Ambalat, kasus Pulau Bidadari dan permasalahan pelintas batas negara. Daerah perbatasan darat merupakan daerah yang terpencil secara geografis dan sosial ekonomi sehingga masyarakat menjadi seolah-olah terpinggirkan







Pulau Indonesia Yang Berhadapan Langsung Dengan Negara Luar
Negara
Jumlah
India
5
Malaysia
22
Singapura
3
Vietnam
3
Filipina
10
Australia
15
Timor Leste
1
Palau
6
Papua Nugini
1
Samudera Pasifik
1

Sumber: Kementerian Pertahanan RI

Masalah asap hutan dari Indonesia juga membawa kejengkelan bagi Pemerintah Malaysia. Selama kebakaran hutan di Indonesia terjadi, indeks standar pencemaran udara di Malaysia mencapai titik yang membahayakan. Kabut asap mengganggu kegiatan sehari-hari penduduk Malaysia seperti jarak pandang yang terbatas dan mereka harus menggunakan masker jika mereka melakukan kegiatan diluar rumah atau melakukan perjalanan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan David Glover, Sekitar 93,2 % rakyat Malaysia tidak puas dengan sikap pemerintahnya terhadap Indonesia dan banyak yang protes turn ke jalan. Rakyat Malaysia menuntut agat pemerintah Malaysia lebih mengupayakan kritik tegas pada Jakarta atas dampak yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan.

Sedangkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA), Malaysia mengalami kerugian mencapai 321 juta dollar akibat asap yang dihasilkan kebakaran hutan di Indonesia.




Kerugian Akibat Asap yang Diderita Malaysia
Keterangan
Juta Dollar (US$)
Biaya Sakit
8.41
Kerugian Produktivitas
157.40
Penurunan Wisatawan
127.42
Pembatalan Penerbangan
0.18
Penurunan Tangkapan Ikan
16.23
Pemadaman Kebakaran
10.00
Penyemaian Awan
0.83
Pengeluaran masker
0.28
Total Kerugian
320.75
Seumber: Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA)

Upaya-Upaya Yang Bisa Dilakukan Indonesia
Melihat besarnya potensi konflik dengan Malaysia maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan Pemerintah dan Rakyat Indonesia. Usaha-usaha berikut bukan dimaksudkan untuk memanasi situasi yang kini berkembang. Namun hal harus dilihat sebagai bentuk pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia dalam melindungi seluruh wilayah, warga negara, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Hal-hal yang bias dilakukan  antara lain:
1. Mengaktifkan Sistem Sishanta
Undang-Undang Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002, mengamanatkan system pertahanan semesta.  Konsekuensi dari Sistem Pertahanan Keamanan Semesta membuat semua komponen terlibat dan terpadu dalam sistem, yang semua subsistem harus berfungsi mendukung sistem. Tidak berfungsinya salah satu subsistem akan mengganggu bekerjanya sistem. Dalam hal ini Sishanta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara. Urgensi penyiapan adalah agar sistem itu dapat berfungsi sewaktu-waktu.
Dengan Sishanta, pemerintah berhak untuk membentuk komponen cadangan pertahanan negara, dalam rangka menghadapi ancaman eksternal yang jelas-jelas nyata sudah di depan mata. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta, maka potensi komponen cadangan apabila hanya sepuluh persen rakyat yang digerkkan, bias mencapai 25 juta personil.
Hal ini tentunya akan membuat efek getar, dan membuat Malaysia berpikir berkali-kali untuk berkonflik dengan Indonesia. Hanya saja, RUU Komcad hingga kini belum disyahkan, hal ini terkait masih adanya usulan beberapa hal didalam draft tersebut, terutama terkait dengan HAM dan Demokrasi, serta apakah nantinya Komcad akan bersifat wajib atau sukarela.
2.  Mengembangkan Detterence atau Penangkalan
Dengan adanya daya tangkal, Indonesia dapat memberikan efek  psikologis terhadap negara-negara yang berencana melakukan ancaman. Salah satu langkah untuk mewujudkan deterrence tersebut yaitu dengan melakukan modernisasi atau pembangunan kekuatan militer Indonesia. Pembaharuan alutsista benarbenar dilakukan, tidak hanya sekedar perawatan persenjataan yang telah ada tetapi kita perlu membeli senjata dan peralatan tempur lainnya yang modern juga memiliki teknologi yang canggih dengan tujuan melindungi seluruh wilayah dan tumpah darah Indonesia.
Modernisasi terutama harus dilakukan pada TNI AL dan TNI AU. Hal ini terutama untuk menangkal agar bila terjadi perang, maka peperangan dapat dicegah hanya di daerah perbatasan, sehingga meminimalisir korban jiwa dan kerusakan materiil. Kemampuan militer armada laut kita sangat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia, kapalkapal Indonesia rata-rata buatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Modernisasi TNI AU juga perlu dilakukan berkaitan dengan pesaat-pesawat yang dimiliki untukmelakukan pengawasan wilayah Indonesia. Indonesia kini telah memiliki pesawat-pesawat tercanggih buatan Rusia, Su-30 dan Su-27. Selain Sukhoi Indonesia juga memiliki F-16 tetapi menghadapi persoalan suku cadang karena yang tersedia kini tinggal 8 buah dari sebelumnya 12 buah.  Dengan kenyataan tersebut, Indonesia harus memuali membangun kekuatan militernya untuk
menjaga wilayah NKRI.

3. Active Diplomacy
Kebijakan luar negeri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan “a thoulsand friends, and zero enemy” tidak dapat diartikan mentah-mentah Indonesia tidak siap untuk berperang atau menghadapi agresi negara luar. Prinsip tersebut juga tidak bias dimengerti untuk mengalah terus asalkan perdamaian bias tercapai.. Sun Tzu, salah seorang filsuf perang ternama berkata kalau engkau menginginkan kedamaian, maka bersiaplah untuk berperang.

Memang benar, bahwa perang harus dijadikan pilihan terakhir, karena hanya akan merugikan kedua belah pihak. Namun, diperlukan ketegasan dari pemerintah untuk menjalankan politik luar negeri yang dianut. Peangkapan tiga staf DKP di wilayah Yuridiksi Indonesia sungguh memprihatinkan dari segi kekuatan politik internasional, dan dampak terhadap penegakan hukum di Indonesia. Hal ini membuat warga Indonesia bias khawatior bila menangkap ikan di daerah perbatasan.

Active Diplomacy terbukti ketika Pemerintah Indonesia mampu meminta Malaysia untuk memperpanjang dan memberikan amnesty bagi TKI Ilegal. Dalam pelaksanaannya, diplomasi yang dilakukan harus diaksanakan oleh orang-orang yang ahli dalam berdiplomasi dan mengerti akan masalah yang tengah dihadapi sehingga kepentingan-kepentingan kitadapat tersampaikan dalam berbagai perundingan menyangkut hubungan Indonesia dengan Malaysia

4. Pengembangan Wilayah Baru di Daerah Perbatasan
Pandangan mengenai perbatasan sebagai wilayah terpencil harus kita ubah. Mulai saat ini kita harus memandang perbatasan sebagai wilayah strategis. Strategis untuk mempertahankan wilayah kita. Dari perspektif eksternal, wilayah atau kota-kota/kabupaten di daerah perbatasan adalah "etalase" NKRI. Artinya, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah tersebut akan menjadi "nilai jual" positif bagi diplomasi internasional Indonesia. Sebaliknya, keterbelakangan atau kelambanan ekonomi di daerah-daerah itu akan menjadi makanan empuk bagi pihak-pihak asing yang berkepentingan untuk melemahkan kredibilitas RI di dunia internasional. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah yang memiliki wilayah perbatasan darat dengan negara tetangga seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Papua harus memprioritaskan pembangunan di sepanjang perbatasan.
Pembangunan untuk perluasan kota yang sudah mapan harus dihambat dan masyarakat dirangsang untuk mengembangkan wilayah baru. Untuk melakukan hal tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menyusun konsep pengembangan wilayah perbatasan secara komprehensif agar wilayah baru yang dibentuk dapat hidup baik secara ekonomi maupun sosial

5. Cooperative Security (Kerjasama Keamanan)
Untuk mencegah konflik, seringkali solusi yang harus diambil adalah kerjasama dengan pihak lawan. Hal ini terkait apabila masalah yang ada justru berasal dari kesalahpahaman, perbedaan informasi, perbedaan pandangan dan penafsiran, serta perbedaan sistem yang dianut.

Kerja sama keamanan bias menjadi langkah bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia, terutama dalam menyelesaikan masalah-masalah perbatasan.Pada masa lampau, di Selat Malaka, cooperative security dilakukan dengan patroli bersama di perairan tersebut dengan begitu Indonesia, Malaysia tidak terlibat dalam peperangan namun penjagaan wilayah yang diklaim masing-masing negara.

Masalah Illegal Fishing, Illegal Logging, Transnational Crime (Kejahatan Lintas Negara), juga dapat diselesaikan dengan kerjasama keamanan. Namun yang terpenting adalah akuntabilitas dan kapabilitas dari aparat penegak hukum. Jangan sampai mereka justru menjadi pelindung terhadap kejahatan-kejahatan yang kerap terjadi di zona perbatasan, baik laut maupun darat.     








[1] Associate Lecture Department of Political Science University of Indonesia, Lecture LaSalle College  and Indonesia Defence and Politic Consultant, email:davidrajamarpaung@gmail.com

No comments:

Post a Comment