Sunday, February 20, 2011

Filosofi Yin-Yang dan Domain Militer-Sipil dalam Demokrasi

Filosofi Yin-Yang dan Domain Militer-Sipil dalam Demokrasi
Ir. Ade Muhammad, M.Han.
Pemerhati Pertahanan dan Keamanan


Sampai saat ini masih belum duduk sebuah pemahaman atas domain sipil dan domain militer dalam sebuah negara demokrasi. Terjadi sebuah fenomena pro kontra terhadap prinsip dwi domain dalam negara ini. Pihak yang kontra bisanya beragumen seharusnya tidak ada sebuah Dikotomi antara militer dan sipil, itu hanyalah masalah profesi saja. Namun sebaliknya yang pro terhadap pemisahan domain dalam negara berargumen bahwa jika tidak dipisahkan, maka akan terjadi sebuah kondisi yang memungkinkan militerisme kembali berkuasa, melalui politisasi militer ujungnya dan terjadi sebuah kondisi negara yang otoriter.
Kita harus memulai dari pemahaman demokrasi. Seperti yang diketahui demokrasi berasal dari kata demos yang artinya Rakyat dan kratos yang artinya Kekuatan. Dimana dikenal prinsipnya yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari semua embel demokrasi, mana demokrasi yang benar?
Demokrasi yang benar adalah harus mengandung kedaulatan rakyat (people sovereignty). Kedaulatan rakyat adalah rakyat berdaulat melalui empat hal; melalui Pemilu (untuk mencari the best of the best dari rakyat yang pantas jadi pemimpin), Referendum (untuk aspirasi kewilayahan dan aspirasi publik terhadap nasib RUU yang akan berlaku), Konsensus (kesepakatan publik, misalnya Merdeka atau mati, Tritura atau Reformasi) dan Opini Publik (suara rakyat langsung melalui dijaminnya pers yang bebas). Tanpa mekanisme kedaulatan rakyat, atau mekanismenya masih dipelintir, maka rakyat tidak akan berkuasa dan otomatis kondisi demokrasi juga tidak ada.
Dalam demokrasi itu terdapat domain yang spesifik. Domain sendiri artinya wewenang atau wilayah. Kemudian domain domain ini dikenal dengan domain militer  dan domain sipil. Untuk memahami bagaimana keduanya, dalam buku Arsitektur Konstitusi Bernegara tahun 2007 oleh Hendarmin Ranadireksa dengan sangat menarik dijelaskan melalui filsafat cina kuno yaitu filsafat Yin Yang.
Filsafat Yin Yang adalah dua karakter yang saling bertolak belakang namun saling membutuhkan dalam sebuah entitas, saling interkoneksi dalam perbedaan dan harmoni namun dua karakter ini tidak lebur. Yin adalah perlambang dari feminintas, bulan atau gelap dengan sifat kelembutan, deep thinking, lamban, dingin, ketenangan dan basah atau subur. Sementara Yang adalah kebalikannya, dengan perlambangan maskulinitas, terang dengan sifat keras, quick thinking, cepat, panas, bergelora dan kering.
Dalam negara demokrasi Domain militer (Yang) mempunyai pemahaman yang sangat khas berbeda dan spesifik daripada Domain sipil (Yin).
Domain Militer bertentangan dengan Domain Sipil dengan prinsip prinsip Top Down vs Bottom Up, tunduk pada komando vs tunduk pada hukum, seragam vs beragam, butuh kepastian vs butuh perdebatan, bersenjata vs tidak bersenjata, temporer vs permanen, darurat vs aman, orientasi instant vs butuh waktu proses dsb. Namun negara membutuhkan keduanya untuk dapat menjalankan fungsinya tentunya dalam sebuah harmoni. Masalahnya adalah pada saat kapan kita membutuhkan militer dan saat kapan kita membutuhkan sipil.
Militer adalah institusi satu satunya yang didesain untuk menangani kondisi negara yang abnormal. Baik itu karena perang, bencana atau kerusuhan politik dimana institusi sipil sudah tidak efektif lagi. Tujuannya adalah mengambil alih kondisi abnormal untuk sesegera mungkin di pulihkan menjadi kondisi normal, untuk kemudian diambil alih oleh sipil kembali. Institusi militer mempunyai 5 sistem yang mampu digelar seketika untuk menghadapi kondisi abnormal tersebut, sistem persenjataan, logistik, kesehatan, transportasi dan telekomunikasi.
Untuk itu ciri khas dari keluarnya militer bertugas adalah dengan sebuah Maklumat Darurat Militer oleh Kepala Negara, dimana saat itu berlaku sebuah kondisi darurat dalam payung hukum darurat militer. Ciri khas berikutnya adalah Operasi Darurat Militer haruslah dalam tempo yang sangat singkat, cukup dalam hitungan jam atau hari saja. Sebelum dikembalikan ke otoritas sipil kembali. Ini untuk menghindari ekses negatif dari operasi militer.
Dalam konteks ke Indonesiaan, masih banyak semacam kebingungan untuk membedakan domain militer dan sipil dalam sebuah fungsi negara. Meminjam istilah dari ahli hukum lulusan Sorborne, Perancis Tisnaya Kusumah yaitu kondisi yang Imbroglio atau multikhaotik.
Misalnya ketika fungsi sipil dalam suatu negara, seperti penegakan hukum yang institusi institusinya harus tunduk pada hukum, ketika dimasukkan karakter domain militer, maka institusi tersebut tidak akan tunduk pada hukum, melainkan tunduk pada atasannya. Sehingga terjadi abused of power. Sehingga jika terjadi pelanggaran hukum, maka dimungkinkan sang penjahat untuk “cing cay” dengan membayar atasan penegak hukum yang nantinya akan memberikan perintah penghentian penyidikan atau hukuman yang lebih ringan.
Atau sebaliknya, dalam sebuah negara, fungsi domain militer yang terjangkiti “sipilisasi”. Misalnya tidak adanya keseragaman dalam militer, semua berstandar berbeda antara unit bahkan angkatan. Mulai dari seragam loreng, kaliber peluru sampai kendaraan. Ini akan terjadi kekacauan dalam logistik. Kemudian militer malah sibuk berbisnis. Ini tentunya sudah keluar dari karakter domain militer.
Contoh terakhir adalah fenomena protes seorang kolonel TNI AU pada Kepala Negara sekaligus Panglima Tertingginya. Dari prinsip domain militer yang Top Down sudah melanggar prinsip bermiliter. Sehingga harus diambil tindakan yang tegas sesuai hukum militer yang berlaku dalam domain militer.
Etikanya jika seorang personel militer tidak cocok dengan institusi atau atasan, dia harus keluar dulu dari Domain Militer. Setelah masuk Domain Sipil yang Bottom Up, maka personel ini dapat dengan aman menyalurkan apapun aspirasinya. Seperti contoh kasus Letkol (purn) Juanda dari TNI AL.
Demikian tulisan ini semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment